Alhasil, Simon memberikan saran agar draft revisi PP ini bisa ditinjau kembali, lalu dikaji secara komprehensif dan harus mendahulukan kepentingan nasional. Khususnya mengenai buffer stock batubara nasional, yang dpat melindungi PLN dan ketahanan energi. “Jangan sampai energi murah kita ekspor secaar besar ke negara maju seperti China, India dan Jepang, sedangkan energi mahal seperti crude oil kita terus impor,” ungkapnya.
Di samping itu, revisi PP ini pun diikuti dengan pembahasan PP tentang pajak dan PNBP di sektor usaha batubara. Menurut Ahmad Redi, penyusunan PP mengenai penerimaan negara ini merupakan konsekuensi dari perubahan PP mengenai pengusahaan batubara. Hanya saja, Redi menyoroti adanya penurunan PPh badan, yang dalam rancangan PP ini turun menjadi 25%, padahal PPh badan ini sebelumnya 45%.
Ingin Kepastian Hukum dan Investasi
Di lain pihak, dari sisi pelaku usaha batubara, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan bahwa hal mendasar yang diinginkan perusahaan batubara adalah mendapatkan kepastian hukum dan investasi jangka panjang.
Sebab, selain berdampak pada iklim bisnsi dan investasi, adanya kepastian jangka panjang bagi perusahaan batubara, menurut Hendra, justru berpengaruh positif terhadap ketahanan energi nasional.
Dilihat dari RUPTL, lanjut Hendra, kebutuhan terhadap batubara sekitar 60%, dan ia pun mengklaim bahwa PKP2B ini memasok hingga sekitar 80% kebutuhan batubara bagi listrik PLN. Begitu pun dari sisi ekonomi, ketika negara butuh devisa, ujung-ujungnya pemerintah pun meminta menggenjot ekspor batubara. “Dari sisi pelaku usaha kita berharap ada landasan hukum dan investasi. Namun memang seharusnya ini dibahas jauh sebelumnya,” ujar Hendra.
Adapun, saat dihubungi pada akhir pekan lalu, Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan bahwa paket kebijakan pengusahaan batubara, yakni revisi keenam PP No. 23 tahun 2010 dan Rancangan PP penerimaan negara dari batubara sudah selesai proses harmonisasi. Meski tak menyebutkan secara gamblang, namun setelah harmonisasi ini selesai, maka proses selanjutnya masuk ke Sekretariat Negara dan tinggal menunggu tanda tangan dari Presiden. “Ya, satu paket. Masih proses, kayaknya begitu, ini sudah (selesai harmonisasi),” kata Bambang.
Saat ini, tercatat baru PT Tanito Harum yang sudah mengajukan perpanjangan izin. Sebab, perusahaan ini merupakan yang pertama di antara PKP2B generasi pertama yang akan habis masa kontraknya, yakni pada 14 Januari 2019.
Sebagai informasi, dalam periode tahun 2019 hingga 2026 mendatang, tujuh PKP2B Generasi Pertama lainnya yang akan berakhir masa kontraknya ialah PT Arutmin Indonesia (1 November 2020), PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Sumber –Â https://industri.kontan.co.id