indexSejatinya, tak perlu menunggu terjadinya kecelakaan untuk memperhatikan faktor kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Baik pemerintah, pengusaha, serta para pekerja sendiri punya peran penting yang harus dimainkan.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Said Iqbal, mengatakan upah pekerja Freeport Indonesia sangat jauh lebih rendah daripada pekerja Freeport di Chili. Demikian juga dengan tingkat keselamatan kerjanya yang sangat memprihatinkan, sedangkan pekerja tambang di Chili terjamin hak-haknya atas keselamatan kerja yang tinggi.

Ironisnya, menurut Iqbal, pemerintah justru memperparah nasib buruh tambang, dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 15 Tahun 2005 tentang jam kerja pekerja tambang. Dalam regulasi itu disebutkan, pekerja tambang bisa bekerja selama 12 jam per hari selama 10 minggu berturut-turut.

“Ini sangat membahayakan K3 pekerja tambang yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang K3 dan konvensi ILO Nomor 176/1995 tentang keselamatan pekerja tambang,” ujar Iqbal.

Iqbal menuding pemerintah melindungi perusahaan pertambangan `nakal` dengan tidak diratifikasinya Konvensi ILO Nomor 176. ”Faktanya, konvensi ILO nomor 176 tidak pernah diratifikasi, padahal resiko pekerja tambang ini sangat besar. Konvensi mensyaratkan adanya jalur evakuasi alternatif. Karena begitu ratifikasi, berarti perusahaan tersebut harus keluar biaya,” tambah Iqbal.

Untuk perusahaan tambang sekelas Freeport yang mencapai kedalaman hingga 4.000 Km, biaya untuk membuat jalur evakuasi tersebut bisa menghabiskan dana hingga triliunan rupiah. Padahal adanya jalur evakuasi sangat penting utamanya jika terjadi kondisi yang tidak diinginkan.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) bulan Oktober ini menjadi perhatian dunia internasional bersamaan dengan berlangsungnya konfrensi Asia Pacific Occupational Safety and Healt Organization (APOSHO). Indonesia kebetulan didaulat menjadi tuan rumah dalam acara yang rutin diselenggarakan tiap tahun itu.

Institution of Occupational Safety and Health (IOSH), yang merupakan organisasi profesional dalam bidang kesehatan dan keselamatan kerja terbesar di dunia, sangat mendukung konferensi ini serta berbagai upaya yang dilakukan Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), yang secara aktif berusaha menekan tingkat kecelakaan, gangguan kesehatan, dan kematian yang diakibatkan pekerjaan.

Presiden IOSH, Gerard Hand mengatakan, ancaman kecelakaan kerja di negara berkembang seperti Indonesia masih sangat tinggi. Pekerja, pengusaha, dan pemerintah harus bekerja bersama untuk mengurangi tingkat kecelakaan, gangguan kesehatan, dan kematian akibat kerja, khususnya di industri-industri beresiko tinggi seperti konstruksi dan manufaktur.

Organisasi Tenaga Kerja Internasional (ILO) melaporkan setiap tahunnya rata-rata terjadi 317 juta kecelakaan kerja di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 321 ribu diantaranya merupakan kecelakaan kerja yang bersifat fatal. Bahkan, setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta orang meninggal dunia akibat penyakit yang terkait dengan pekerjaan. Padahal, masalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3) ini juga berkaitan dengan efisiensi bisnis.

Gerard mengingatkan kepada para pengusaha agar memberi perhatian lebih seksama pada penerapan K3 di lingkungan perusahaan mereka. “Pengetahuan dan kecakapan para pengusaha sangat penting untuk memastikan kesehatan dan keselamatan para pekerjasebagai yang paling utama dan tidak dapat ditawar. Hal ini tidak saja menyelamatkan nyawa manusia, tetapi juga menjadikan bisnis lebih efisien,” kata Gerard.

Data ILO menunjukkan setiap tahun Indonesia menderita kerugian hingga 4% dari pendapatan domestik bruto (PDB) atau senilai Rp 280 triliun akibat kecelakaan kerja. Namun penanganan aspek K3, kesadaran maupun perilaku K3 masih sangat lemah.

Terkait kecelakaan yang sering menimpa pekerja tambang, Gerard pun berkomentar bahwa ada batasan dimana kemungkinan terjadinya sebuah kecelakaan dapat diterima. Namun yang paling penting adalah mengakui secara jujur resiko apa saja yang mungkin terjadi sehingga dapat mengelolanya sebaik mungkin.

Menurutnya, kejujuran merupakan bagian penting dari pengelolaan K3 karena tanpa itu hanya akan bersembunyi di balik kertas-kertas dokumen belaka. “Harus dibedakan antara organisasi yang benar-benar baik dalam pengelolaan K3-nya, dengan organisasi yang hanya di atas kertas dinyatakan baik,” tegasnya.

Ia juga melanjutkan bahwa masih ada budaya untuk menyalahkan faktor ‘human error’ atau kesalahan pekerja, tanpa adanya kesadaran untuk secara terbuka mengakui akar permasalahan mulanya. Misalnya ketika seseorang jatuh saat hendak membuka jendela yang letaknya tinggi, pasti orang itu akan disalahkan karena memanjat tanpa menggunakan tangga yang aman.

Padahal, jika jujur diakui, mungkin akar permasalahan awalnya ada pada kondisi ruangan yang sirkulasi udaranya kurang baik sehingga memaksa orang itu untuk membuka jendela. Oleh karena itu, pemahaman akan resiko K3 yang sebenarnya dan bagaimana mengelolanya menjadi hal yang amat penting.