Sejumlah alat berat melakukan aktivitas penambangan di lubang tambang Batu Hijau milik PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Sekongkang, Taliwang, Sumbawa Barat, NTB, Rabu (12/11). Saat ini produksi konsentrat tambang PT. NNT mencapai 800 ribu ton hingga 900 ribu ton per hari yang diekspor ke Korea, Hongkong, Jepang, Cina dan India. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/Rei/Spt/14.

Wacana pengalihan kewenangan pemerintah daerah (Pemda) ke pemerintah pusat dalam perizinan dan pengelolaan tambang menjadi sorotan. Wacana itu tertuang dalam revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Mineral dan Batubara (Minerba) di dalam Rancangan UU Cipta Kerja (omnibus law).

Asosiasi perusahaan tambang atau Indonesia Mining Association (IMA) dan Asosiasi Pertambangan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) ikut menanggapi wacana ini. Menurut Pelaksana Harian Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno, pengalihan perizinan dan pengelolaan tambang ke pemerintah pusat bukan lah ide yang buruk.

Djoko mengatakan, tata kelola dan perizinan usaha tambang di Indonesia saat ini memang butuh perbaikan. Menurutnya, jika kewenangan beralih ke pemerintah pusat, maka pertumbuhan izin usaha baru dan tingkat produksi tambang bisa lebih terkendali.

“Diharapkan akan dilakukan pembatasan bertahap, supaya produksi terkendali, juga bisa lebih transparan dan akuntable. Karena kalau di daerah, sementara ini masih macem-macem pemikirannya,” kata Djoko kepada Kontan.co.id, Selasa (18/2).

Kendati begitu, Djoko mengatakan bahwa kewenangan di tingkat daerah tidak bisa seluruhnya dilepas. Hanya saja, Djoko menyoroti, saat ini supervisi pengawasan dan pembinaan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah harus dievaluasi.

“Cuman kontrol harus diperketat. Saat ini supervisi pemerintah pusat belum baik, harus ditingkatkan secara bertahap. Sementara itu, kendali (tata kelola pertambangan) dipusatkan,” terang Djoko.

Dengan demikian, terang Djoko, diharapkan produksi mineral dan batubara dapat lebih terkontrol. Termasuk mengenai kesesuaian data produksi dan penjualan barang tambang antara realitas dan di atas kertas.

“Sekarang masih suka didapati perbedaan ekspor dan yang dilaporkan. Jadi hal-hal semacam itu harus ditutup supaya lebih terkendali,” sebutnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengungkapkan, sebelum era UU Minerba, tata kelola dan perizinan tambang masih berada di pemerintah pusat. Namun seiring dengan berkembangnya aspirasi otonomi daerah, maka perizinan pun bergeser ke tangan pemerintah kabupaten, lalu pemerintah provinsi.

Menurut Hendra, pengalihan kewenangan kembali ke tangan pemerintah pusat perlu mempertimbangkan banyak aspek supaya tidak mengganjal produksi dan investasi di sektor tambang, khususnya batubara. Sebab, katanya, emas hitam ini merupakan komoditas strategis dan vital baik dari sisi energi maupun perekonomian nasional.

Sayangnya, Hendra enggan berkomentar banyak mengenai pengalihan kewenangan ini. “Kita tidak membuat dikotomi antara pusat dan daerah. Pengusaha menyerahkan pengalihan kewenangan ini kepada pemerintah sebagai regulator,” kata Hendra.

kendati nantinya izin berada di pemerintah pusat, sambung Hendra, peran pemerintah daerah tidak bisa tereliminasi. Sebab, operasional tambang berada di daerah, sehingga fungsi pengawasan dan pembinaan tetap melekat. “Karenanya, dalam UU (omnibus law) ini masalah pengawasan dan pembinaan perlu diperjelas,” ungkap Hendra.

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

Berikan Komentar