Alhasil, hingga tahun 2022, total akan ada 60 smelter IUP OPK yang beroperasi. Dengan 34 smelter nikel dan 8 smelter bauksit.
Menurut pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handoyo, relaksasi tersebut melanggar UU Minerba dan merupakan bentuk inkonsistensi dari pemerintah.
Dengan adanya relaksasi ekspor mineral mentah itu, pengusaha smelter dalam negeri dirugikan. Hal itu lantaran pasokan ke pasar ekspor lebih dominan sehingga smelter kesulitan untuk mencukupi bahan baku. “Ini (relaksasi ekspor) sudah pasti menyulitkan bahan baku. Apalagi sejak kemarin harga nikel dunia sudah di atas US$ 15.000, kan sayang kalau hanya dijual (diekspor) hanya dalam bentuk tanah (bukan hasil pengolahan),” tandasnya.
Syarat Ekspor Berubah Terus
Ekspor bijih mentah sejatinya sudah harus disetop pada tahun 2014. Penyetopan itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Setelah lima tahun terbit pemerintah mesti membuat aturan untuk mengehntikan ekspor ore.
Artinya UU no 4 tahun 2009 tersebut mengamanatkan, per 12 januari 2014 baik pemegang IUP maupun kontrak karya yang sudah berproduksi dilarang mengeskpor mineral mentah (ore).
Namun, berbagai perubahan terjadi dan maju-mundur. Drama penyetopan pernah dilakukan pada awal pemerintahan Joko Widodo. Namun, kembali dibuka karena urusan pendapatan negara. Setelah itu, dibuka terbatas atau relaksasi dengan syarat. Sampai akhirnya saat itu Menteri ESDM masih mempertahankan Permen ESDM No 25/2018.
Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perngusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Pasal 55 ayat 5 aturan tersebut menyebutkan, kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian harus mencapai paling sedikit 90% dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dihitung secara kumulatif sampai satu bulan terakhir oleh verifikator independen.
Lebih lanjut, ayat 7 disebutkan bahwa dalam setiap enam bulan, persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian tidak mencapai 90%, maka Kementerian ESDM (Dirjen atas nama Menteri), menerbitkan rekomendasi kepada Dirjen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang sudah diberikan.
Kini Menteri ESDM akan menyetop seluruh kegiatan tambang yang mengekspor ore atau bijih mentah. Bagaimana nasib smelter yang saat ini dibangun perusahaan?
Seperti diketahui, Kementerian ESDM saat ini terus mengejar target hilirisasi mineral melalui pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Seiring dengan berakhirnya masa relaksasi ekspor komoditas mineral mentah, ditargetkan akan ada 57 smelter yang sudah beroperasi pada tahun 2022.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, 57 smelter yang ditargetkan tersebut adalah yang berlisensi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. “Harusnya 60 ya, 57 khusus dari ESDM, 3 izin IUI (Izin Usaha Industri dari Kementerian Perindustrian),” kata Yunus kepada Kontan.co.id, Jum’at (10/5).
Namun, hingga tahun 2018, smelter yang sudah bisa beroperasi baru separuh dari target tersebut. Sampai dengan tahun lalu, baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi.
Sehingga, direncanakan ada tambahan 30 smelter dalam empat tahun ke depan. Rincinya, ditargetkan akan ada tambahan 3 smelter tembaga, 16 smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2 smelter besi dan 4 smelter timbal dan seng.