Memasuki kuartal akhir 2019, harga batubara acuan (HBA) masih tertekan. HBA bulan Oktober merosot ke angka US$ 64,8 per ton atau turun 1,5% dibandingkan HBA bulan September lalu yang dipatok sebesar US$ 65,79 per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengungkapkan, pergerakan HBA pada Oktober ini masih dipengaruhi oleh sentimen yang sama di bulan lalu. Faktor yang paling signifikan, kata Agung, lantaran masih berlarutnya efek perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China.Â
“Faktornya masih sama seperti bulan lalu. Masih ada efek perang dagang antara Amerika dan China,” kata Agung saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (7/10).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menambahkan, penurunan harga tersebut disebabkan adanya sentimen negatif terhadap pasar batubara. Pemicunya, kata Hendra, ialah isu impor kuota Tiongkok serta penurunan permintaan di Eropa dan Asia timur laut yang disebabkan kenaikan penggunaan LNG, nuklir dan energi terbarukan. “Selain itu, 75% komponen pembentuk HBA mengalami penurunan setidaknya 2%,” ungkap Hendra.
Hendra merinci, Indonesia Coal Index (ICI) turun sekitar 2% dibandingkan bulan lalu. Sementara Platss 5900 GAR turun 2,4%, dan Newcastle Export Index (NEX) tertekan sebesar 2%. Adapun, kenaikan hanya terjadi di Global Coal Newcastle Index (GCNC) yang merangkak 1%.
Seperti diketahui, ada empat variabel yang membentuk HBA, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 GAR dengan bobot masing-masing 25%. HBA diperoleh dari rata-rata keempat indeks tersebut pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR.
Kendati begitu, Agung memprediksi HBA bisa merangkak naik pada bulan depan. Hal itu dipengaruhi oleh kondisi permintaan di India sebagai dampak dari bencana banjir yang terjadi di sana. “Karena banjir di India, bulan depan kemungkinan naik ya,” ujar Agung.
Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif memprediksi, harga batubara akan bertahan di level US$ 60-an per ton hingga akhir tahun ini. Jika pun ada kenaikan atau perubahan harga, hal itu tidak akan signifikan.
Irwandy sependapat. Adanya banjir di India bisa membuat harga merangkak naik seiring dengan adanya permintaan impor batubara yang lebih banyak. “Harapannya harga batubara di kuartal IV naik sedikit dibandingkan di kuartal III. Kemungkinan India akan mengimpor batubara lebih banyak daripada kuartal III karena banjir lalu,” terangnya.
Sebagai informasi, HBA bulan Oktober yang sudah menyentuh US$ 64,8 per ton ini menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Asal tahu saja, sejak September 2018, tren batubara terus menurun dan hanya sekai mencatatkan kenaikan tipis secara bulanan pada Agustus 2019 lalu.
Secara merata, HBA dari Januari-Oktober tahun ini tercatat sebesar US$ 80,21 per ton, menukik dari rerata HBA pada periode yang sama tahun lalu yang masih berada di angka US$ 99,72 per ton.
Di tengah kondisi tersebut, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa realisasi produksi batubara pada tahun ini akan lebih susah diprediksi. Hal itu lantaran tren penurunan harga yang terus terjadi.
Menurut Bambang, kondisi tersebut membuat produsen batubara, khususnya yang berskala kecil akan mempertimbangkan ulang jika ingin menggenjot produksi. “Produksi ini juga susah ditebak karena harga turun, yang kecil-kecil susah produksi,” kata Bambang.
Walau pun begitu, Bambang memproyeksikan produksi batubara tahun ini bisa menyentuh 530 juta ton. Meski lebih rendah dibandingkan realisasi produksi tahun lalu yang mencapai 557 juta ton, proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan target produksi batubara nasional pada Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) awal tahun 2019 yang sebesar 489,12 juta ton.
Bambang mengakui, penurunan HBA ini berdampak terhadap realiasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sulit untuk mencapai target. Asal tahu saja, angka 530 juta ton itu setara dengan asumsi PNBP pada tahun ini.
“Mungkin sekitar 530-an juta, sesuai dengan asumsi PNBP. Harga ini pengaruh ke PNBP yang turun, tapi masih ada tiga bulan lagi, semoga tercapai,” tandas Bambang.