Menghadapi rencana pemerintah menghentikan ekspor mineral mentah, satu hal yang pasti terjadi adalah akan adanya penutupan pada sebagian tambang yang sekarang sedang beroperasi. Baik itu penutupan selamanya, maupun penghentian sementara hingga batas waktu yang tidak diketahui. Ini adalah argumen yang paling umum, tapi sebenarnya merupakan realitas yang tidak terlalu mengejutkan.
Dari seluruh kasus penutupan tambang di dunia, hanya sekitar 25% yang tutup secara terencana dan prosedural karena cadangannya telah habis. Sementara mayoritas 75% lainnya tutup secara prematur, tanpa terencana dan bahkan secara mendadak. Di Indonesia, kasus penutupan tambang tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang semestinya mungkin lebih banyak lagi.
Kalau tambang yang tutup karena cadangannya habis biasanya lebih mudah mengurusnya. Karena sifatnya terencana, penutupan bisa dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Para karyawan, pemerintah daerah (pemda), masyarakat setempat, semuanya bisa mempersiapkan diri hingga pada hari penutupan yang telah direncanakan. Walaupun dengan catatan ada saja alasan dari para pemangku kepentingan untuk menjustifikasi persiapan yang sering tidak maksimal.
Sebaliknya, tambang yang berhenti secara prematur, tidak terencana dan secara mendadak bisa membuat gejolak sosial-ekonomi yang tidak terduga.
Penyebab tambang tutup secara prematur dan tanpa terencana utamanya adalah faktor ekonomi (perubahan harga komoditi, kebangkrutan perusahaan dan lain-lain) dan kebijakan pemerintah (pemangkasan produksi, pelarangan ekspor dan lain-lain). Indonesia sedang menghadapi dua hal ini di depan mata, tantangan fluktuasi harga komoditi dunia dan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.
Untuk dinamika harga komoditas itu tidak ada faktor tunggal yang bisa mengendalikan. Tetapi kebijakan bisa ditentukan oleh pemerintah. Namun Indonesia tampaknya akan bertahan dengan rencana penghentian ekspor mineral mentah karena dipertimbangkan akan memberi harapan baik bagi negeri ini di masa depan. Selain alasan kedaulatan, pemerintah pasti sudah punya hitung-hitungan sendiri terkait bagaimana efek pertumbuhan jika hilirisasi berhasil dilakukan.
Tapi dalam jangka pendek, kebijakan tersebut akan memberi efek negatif. Tambang yang berhenti secara prematur dan tidak terencana, bahkan mendadak akan menyebabkan pengangguran, resesi ekonomi lokal, dan kerusakan lingkungan karena tambang akan terbengkalai begitu saja. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang industrinya relatif mapan seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia dan China. Selain itu, hal ini juga tidak hanya terjadi pada komoditas nikel, tetapi semua komoditas pertambangan seperti emas, tembaga, phospat, batubara, potash, dan sebagainya.
Dalam beberapa kasus dampak lainnya dari penutupan tambang secara prematur adalah munculnya aksi penjarahan terhadap aset infrastruktur dan barang tambang itu sendiri seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
Indonesia sebenarnya pernah mengalami hal serupa, walaupun tidak sama persis. Bahkan lebih dari satu kali. Republik ini pernah mengalami bagaimana industri timah jatuh pada akhir 1980-an dan menyebabkan kerusakan sosial-ekonomi-lingkungan.
Lahan-lahan bekas tambang timah di Bangka-Belitung dan Kepulauan Riau ditinggalkan begitu saja. Masyarakat serta merta kehilangan pekerjaan. Sektor-sektor ekonomi lain yang menggantungkan hidupnya di belanja industri tambang secara langsung juga berjatuhan. Beberapa orang bahkan harus menjadi pelacur untuk menyambung hidup, aset perusahaan dijarah oleh karyawan.
Kita juga pernah menyaksikan kejatuhan industri batubara pada awal 2000-an dan sekitar tahun 2011-2014. Ketika itu, daerah-daerah penghasil batubara di Kalimantan dan Sumatera mengalami stagnasi. Kabupaten Kutai Kartanegara misalnya mencatat pertumbuhan ekonomi 5,33% pada 2001 namun menurun menjadi 4,8% pada 2002 dan 4,68% pada 2003. Pada tahun 2009-2013, Kabupaten yang struktur ekonominya mengandalkan sektor pertambangan dan penggalian lebih dari 60% ini hanya tumbuh rata-rata 1%-3% per tahun. Angka ini jauh di bawah pertumbuhan nasional yang selalu di atas 5%-6%.
Akibatnya, perencanaan pembangunan daerah harus direvisi, ekonomi lesu dan pengangguran meningkat. Pada periode ini, kampus-kampus yang menyediakan jurusan pertambangan di seluruh Indonesia diliputi kegalauan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setiap lulusan baru hampir pasti akan menjadi pengangguran baru.
Efek “shock”
Efek terbesar nanti terjadi di level sub-nasional (kabupaten dan provinsi penghasil), yakni akan terjadi shock. Hal ini tidak bisa dihindari, dan hanya bisa dihindari. Perlu juga diketahui bahwa mitigasi atau pencegahan sosial-ekonomi ini tidak pernah instan dan harus melibatkan banyak pemangku kepentingan. Namun, negara tetap menjadi leading sector nya.
Sementara itu, kebijakan hilirisasi harus terus didukung sepenuhnya. Progres pembangunan smelter nikel tampaknya cukup progresif namun tetap harus didorong untuk mencapai titik optimal melalui penciptaan lingkungan bisnis yang kondusif.
Pemberian insentif pajak mungkin bisa jadi salah satu opsi untuk menarik investasi, tetapi tetap harus ada kajian secara rinci untuk menghasilkan efek yang maksimal. Tantangan lain adalah bagaimana membangun sistem yang mendukung link and match antara smelter dengan sumber material. Karena boleh jadi kebijakan larangan ekspor mineral justru hanya membunuh penambang kecil dan menengah dengan akses modal dan pasar yang terbatas.
Tanpa ada mekanisme link and match yang jelas, harga ore atau mineral mentah akan secara de facto ditentukan sepihak oleh, dan hanya akan menguntungkan, oligarki pemilik smelter. Pada posisi ini peran kementerian yang mengurusi pertambangan dan pengolahan mineral harus menerapkan kebijakan ketat dan gigih, khususnya dalam mengontrol isu smelter dan tata niaga mineral domestik.
Lebih dari itu, para pemangku kepentingan harus memahami benar bahwa hilirisasi membutuhkan dukungan lingkungan yang kondusif terkait regulasi dan kapasitas sumberdaya manusia (SDM). Kita tidak bisa hanya mengandalkan ketersediaan cadangan dan pemaksaan aturan larangan ekspor saja.
Membangun lingkungan bisnis yang kondusif dan penyediaan SDM yang mumpuni itu juga sangat penting. Dua hal terakhir ini bahkan sebenarnya jauh lebih penting dalam membentuk keunggulan komparatif Indonesia di industri mineral dunia.
Kita sepertinya masih harus banyak belajar dalam mengelola secara bijak dan tepat akan sumber daya pertambangan kita yang diakui sebagai salah satu yang terbesar di dunia.
Penulis : Jannus TH Siahaan
Pemerhati Masalah Pertambangan dan Doktor Sosiologi Universitas Padjajaran