Menjadi Safety Manager yang baik itu tidak mudah.  Semua personel safety pasti bercita-cita ingin menjadi orang nomor satu di bagian safety itu, tapi jarang yang sengaja mempelajari dan menyiapkan diri secara rinci dan terencana sejak sedini mungkin.  Rata-rata mereka yang mendapatkan kesempatan sampai di jenjang itu, baik karena setia meniti karier di satu perusahaan sampai mencapai posisi itu atau direkrut oleh perusahaan lain untuk posisi manager, baru menyadari betapa tidak mudahnya menjadi seorang manager di bidang keselamatan kerja yang baik. 

Pertama, safety adalah bidang yang berurusan dengan manusia.  Makhluk yang mempunyai pikiran, kemauan dan akal, yang perlu cara tersendiri untuk mengelolanya.  Lebih dari itu, manusia di industri pertambangan memiliki tingkat kecerdasan, pembawaan, serta jabatan dan kewenangan yang beragam.  Yang di level bawah, perlu waktu dan tenaga ekstra untuk membuatnya bisa mencapai tingkat pemahaman, keterampilan dan kompetensi tertentu.  Yang di level menengah ke atas memiliki jenjang pendidikan, jabatan dan kewenangan yang lebih tinggi, sehingga perlu strategi pendekatan khusus untuk bisa menerima program safety.  Yang di level bawah karena keterbatasannya maka perlu diawasi oleh posisi pengawas di level atasnya, sedangkan jabatan pengawas itu sendiri juga perlu dipastikan bahwa mereka melakukan fungsi pengawasan sesuai standar perusahaan.  Lebih dari itu mereka yang di level atas memiliki kewenangan memutuskan untuk terus memakai Safety Manager dan setiap personel safety-nya atau akan menggantinya.  Karena safety adalah departemen support yang berperan mendukung departemen core business, mereka tentu saja bisa mengganti Safety Manager kapan saja bila dianggap tidak sesuai.

Kedua, Departemen Safety berbeda dari departemen lain, diantaranya:

  • Target Departemen Safety tidak mudah diukur, dan yang diukurpun sebetulnya kinerja safety orang lain yaitu kinerja semua karyawan di perusahaan dari berbagai departemen. Meski kinerja safety bisa diukur dengan lagging indicator atau leading indicator, cara pengukurannya tidak mudah dibandingkan dengan mengukur target produksi.  Pengukuran kedua indikator tersebut memerlukan penghitungan khusus juga oleh orang yang ditugaskan khusus. Di samping itu, pengukuran leading indicator juga masih belum satu bahasa antara satu perusahaan dengan yang lainnya.
  • Peran Safety Manager dan Safety Personel itu 24/7 on dan off the job. Bahkan disadari atau tidak, profesi safety itu juga profesi yang otomatis menempel kepada seluruh anggota keluarga personel safety.  Bukan hanya sebatas harus mengangkat telepon atau harus berangkat jam berapapun apabila ada keadaan darurat, tapi lebih dari itu, orang safety harus bisa menjadi role model berperilaku safety di dalam dan di luar area kerja. Akan menjadi viral di perusahaan apabila istri atau anak dari seorang personel safety melakukan pelanggaran safety atau menderita kecelakaan akibat kelalaian safety.

Untuk itu, agar sukses berprofesi di bidang safety, seseorang bukan hanya dituntut menguasai skill di bidang keselamatan kerja beserta semua seluk beluknya, tetapi juga harus memiliki soft skill yang di atas rata-rata, seperti interpersonal skill, motivasi, komunikasi, rekognisi safe behavior, mempengaruhi orang lain, memberikan feed back, dan semacamnya. Meski jabatan managerial lain juga membutuhkan soft skill tersebut. Dari penelitian didapati bahwa untuk sukses berkarier di safety, 75% ditentukan dari kepiawaian soft skill-nya dan hanya 25% dari kehandalan teknikal skill-nya.

Hal ini sangat bisa dimengerti, mengingat target safety adalah membangun Safety Behavior manusia untuk menuju Safety Culture, dan untuk  mencapai hal itu lebih banyak membutuhkan peran soft skill dari pada teknikal skill.

Meskipun banyak tantangannya, bukan berarti menjadi Safety Manager yang baik itu tidak bisa dicapai atau kalau gagal kita punya banyak alasan. Uraian ini disampaikan agar tidak kaget dalam memahami ruang lingkup area tanggung jawab posisi itu, sehingga lebih mempersiapkan diri dengan cukup stock upaya ekstra bagi siapapun yang sudah menduduki posisi Safety Manager atau yang sedang bercita-cita ke sana.

Dari pengalaman saya menjabat posisi Safety Manager di PT Freeport Indonesia tahun 1998-2006 serta menjadi konsultan safety selama lebih 12 tahun yang berkesempatan bersilaturahmi dengan berbagai Safety Manager dari berbagai perusahaan dengan skala yang berbeda, setelah puas menertawakan diri saya sendiri mengingat bagaimana saya mengomandani departemen safety PTFI di Tembagapura dulu. Saat ini, saya juga merasa prihatin melihat sahabat-sahabat saya sehabitat, para safety manager yang sekarang sedang aktif menjabat, karena ternyata kita masih banyak bolong-bolong yang perlu perhatian ekstra ke depan.  Di antaranya di bidang-bidang sbb:

  1. Likeability – rendahnya tingkat bisa diterima, dipercaya dan disukainya incumbent oleh jenjang decision maker. Ini adalah masalah soft skill.   Incumbent biasanya belum menyadari, unsur soft skill mana yang menjadi root cause-nya, sehingga tahu-nya manajemen tidak mendukung.  Indikator: banyak proposal program safety yang numpuk di meja manajemen belum di-approve, incumbent banyak mengeluh tentang lemahnya komitmen manajemen, dst.
  2. Values, leadership, visi safety perusahaan – di bagian ini jumlahnya cukup banyak. Mayoritas incumbent belum berbuat banyak tentang atau terhadap safety values, safety leadership, safety key stones dan atau safety vision yang sesungguhnya memiliki peran kritikal ini. Indikator: belum punya Safety Values, belum punya Safety Leadership Standard, program safety belum berbasis kuat pada value perusahaan, perilaku safety pengawas dan manajemen tidak sejalan, perilaku safety antar anggota manajemen berbeda, safety keystone manajemen puncak belum ditindak lanjuti, dsb.
  3. Program-program bersifat fondasi atau infrastruktur – program-program kategori ini yang di antaranya adalah program safety leadership behavior, safety responsibility and accountability struktural maupun fungsional, area ownership, crisis management team, dsb, banyak incumbent yang belum memahami fungsi strategis program-program ini, bahkan tidak sedikit yang belum berhasil mengelola komite keselamatan manajemen menjadi resources kunci untuk suksesnya program pencegahan kecelakaan mereka. Indikator: standar akuntabilitas safety belum ditetapkan atau sudah dibuat tapi belum dijalankan, coverage area penerapan program safety tidak bisa diukur, proses pengembangan dan penerapan program safety belum melibatkan komite, dsb.
  4. Konsep close the loop – kebanyakan program diterapkan seadanya, tidak sampai close the loop atau tuntas sampai mencegah kecelakaan, sehingga keefektifan mencegah kecelakaan dari setiap program baru sampai pada tahap asumption belum assurance. Banyak sekali incumbent yang belum menyentuh barang ini, atau ada yang diperkenalkan dengan konsep ini, merespon spontan “awang-awangan” untuk menjalankannya atau terlalu idealis.  Indikator: program-program safety ada secara dokumen tapi tidak bisa diukur sudah seberapa diterapkan, program safety diterapkan setengah-setengah, sertifikasi-sertifikasi pencapaian safety banyak, tetapi kecelakaan dan pelanggaran safety juga banyak.
  5. Konsep safety behavior – proses membangun safety behavior belum berjalan, incumbent belum bisa menjadi safety role model, belum bisa memberikan rekognisi safety, belum bisa memberi feed back yang positif, dsb. Indikator: orang safety, pengawas atau anggota manajemen sendiri belum menjadi safety role model, inspeksi lebih banyak mencari kesalahan, belum ada program mengapresiasi safe behavior
  6. Program pengembangan sumberdaya manusia – program pelatihan safety sudah ada tapi belum ada program pelatihan safety berjenjang sesuai jenjang jabatan, belum berbentuk master plan pelatihan lengkap, belum terintegrasi dengan Manajemen ke HRD-an, dst. Indikator: pencapaian safety accountability program (SAP) belum menjadi bagian dari perfomance appraisal tahunan pengawas, unsur safety di dalam job description yang diukur dengan PA tahunan berbeda dengan program safety yang berjalan di lapangan, unsur safety di job description terlalu general tidak bisa diukur, dst.
  7. Continual improvement – yaitu program tidak cukup, tidak update, sudah kadaluwarsa atau bahkan sering sudah tidak diperlukan lagi dan kegiatan yang berlangsung di lapangan sudah jauh dari standar tertulis yang dimiliki perusahaan. Banyak incumbent yang menyadari program tidak jalan, tapi belum berbuat apa-apa untuk membenahi. Indikator: isi prosedur banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan, banyak prosedur yang tidak dijalankan sebagian atau keseluruhan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
  8. Employee engagement – tidak memiliki program pelibatan karyawan yang jelas, terukur dan terdokumentasikan sehingga karyawan belum didudukkan sebagai subyek dalam penerapan safety. Banyak incumbent yang belum berbuat apa-apa, juga ada yang belum paham betul apa maksudnya. Indikator: karyawan, pengawas, anggota manajemen tidak mengenal dan familiar terhadap program safety, atau mengenal tapi tidak memahami dan tidak merasa memiliki bahkan tidak dijalankan.

Pertanyaan mendasar berikutnya adalah, apakah semua bidang program di atas telah dirangkai masuk ke dalam framework elemen dan sub elemen sistem manajemen keselamatan perusahaan kita masing-masing, seperti SMKP untuk di tambang, SMK3 untuk di industri atau sistem manajemen keselamatan internasional seperti OHSAS 18001, ISO 45001, NOSA, dsb untuk perusahaan yang memakainya.

Iya, PR kita masih banyak, sebagai Safety Manager kita digaji untuk melakukan binwas terhadap itu semua. Bukan salah perusahaan atau KTT kalau sudah punya Safety Manager tetapi masih banyak program safety yang bolong atau tidak berjalan. Kita yang harus malu belum bisa memenuhi kewajiban kita menjadi tangan kanan mereka sebagaimana seharusnya.

In sha Allah 8 kelemahan di atas akan saya tulis satu per satu menjadi artikel-artikel Indoshe berikutnya.  Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.

Oleh Dwi Pudjiarso

Berikan Komentar