Usai Bertemu Freeport & BUMI Cs, Ini Evaluasi UU Minerba ESDM

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggelar evaluasi 10 tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.

Memanggil seluruh pelaku dan pengusaha tambang minerba sejak siang tadi, ESDM dan pelaku usaha mengevaluasi permasalahan-permasalahan yang ada dan mencoba mencari solusinya ke peraturan lebih rendah.

Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan hasil dari evaluasi, pihaknya akan memetakan masalah dan akan diselesaikan dalam waktu dekat jika memungkinkan.

“Contoh tumpang tindih kehutanan, kita punya bilateral dengan kehutanan terus misalnya ada yang bisa diselesaikan melalui Permen ya kita selesaikan segera. Kita inventarisasi kalau sifatnya policy ya kita pikirkan policy itu ke depan seperti apa nanti kan ada kesempatan adanya suatu regulasi baru kita bisa,” kata Bambang setelah evaluasi RUU Minerba di kantornya, Rabu, (09/10/2019).

Permasalahan yang akan coba diselesaikan bisa dengan menerbitkan PP, Permen, atau lampiran Permen. Sebagaimana contoh di awal, misalnya masalah Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), akan coba dianalisa mungkinkah segera diselesaikan.

Menurut Bambang pihaknya akan membawa daftar perusahaan-perusahaan yang punya masalah ke Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian KLHK.

“Perusahaan-perusahaan yang masalah bicara dengan dia apa masalahnya bisa nggak kalau bisa syaratnya apa kan gitu jadi membantu perusahaan-perusahaan agar bisa berjalan,” jelas Bambang.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan dalam rapat tersebut setidaknya ditemukan 13 masalah yang menjadi catatan di sektor minerba.

“Tadi dipetakan ada kira-kira 13 permasalahan utama, dan selain pemetaan permasalahan pemerintah juga sampaikan langkah-langkah apa yang telah dilakukan itu sih,” katanya.

Permasalahannya beragam, mulai dari tumpang tindih lahan yang terjadi sejak dulu sampai perizinan. Belum ada kesimpulan dari pertemuan tersebut, menurutnya masing-masing pihak hanya menyampaikan pandangan dari pemetaan masalah tersebut.

Sumber – https://www.cnbcindonesia.com

Harga batubara acuan Oktober turun jadi US$ 64,8 per ton, terendah dalam tiga tahun

Sejumlah alat berat memuat batu bara ke dalam truk di pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, Kamis (13/6/2019).Memasuki kuartal akhir 2019, harga batubara acuan (HBA) masih tertekan. HBA bulan Oktober merosot ke angka US$ 64,8 per ton atau turun 1,5% dibandingkan HBA bulan September lalu yang dipatok sebesar US$ 65,79 per ton.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengungkapkan, pergerakan HBA pada Oktober ini masih dipengaruhi oleh sentimen yang sama di bulan lalu. Faktor yang paling signifikan, kata Agung, lantaran masih berlarutnya efek perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. 

“Faktornya masih sama seperti bulan lalu. Masih ada efek perang dagang antara Amerika dan China,” kata Agung saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (7/10).

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menambahkan, penurunan harga tersebut disebabkan adanya sentimen negatif terhadap pasar batubara. Pemicunya, kata Hendra, ialah isu impor kuota Tiongkok serta penurunan permintaan di Eropa dan Asia timur laut yang disebabkan kenaikan penggunaan LNG, nuklir dan energi terbarukan. “Selain itu, 75% komponen pembentuk HBA mengalami penurunan setidaknya 2%,” ungkap Hendra.

Hendra merinci, Indonesia Coal Index (ICI) turun sekitar 2% dibandingkan bulan lalu. Sementara Platss 5900 GAR turun 2,4%, dan Newcastle Export Index (NEX) tertekan sebesar 2%. Adapun, kenaikan hanya terjadi di Global Coal Newcastle Index (GCNC) yang merangkak 1%.

Seperti diketahui, ada empat variabel yang membentuk HBA, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Global Coal Newcastle Index (GCNC), dan Platss 5900 GAR dengan bobot masing-masing 25%. HBA diperoleh dari rata-rata keempat indeks tersebut pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR.

Kendati begitu, Agung memprediksi HBA bisa merangkak naik pada bulan depan. Hal itu dipengaruhi oleh kondisi permintaan di India sebagai dampak dari bencana banjir yang terjadi di sana. “Karena banjir di India, bulan depan kemungkinan naik ya,” ujar Agung.

Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif memprediksi, harga batubara akan bertahan di level US$ 60-an per ton hingga akhir tahun ini. Jika pun ada kenaikan atau perubahan harga, hal itu tidak akan signifikan.

Irwandy sependapat. Adanya banjir di India bisa membuat harga merangkak naik seiring dengan adanya permintaan impor batubara yang lebih banyak. “Harapannya harga batubara di kuartal IV naik sedikit dibandingkan di kuartal III. Kemungkinan India akan mengimpor batubara lebih banyak daripada kuartal III karena banjir lalu,” terangnya.

Sebagai informasi, HBA bulan Oktober yang sudah menyentuh US$ 64,8 per ton ini menjadi yang terendah dalam tiga tahun terakhir. Asal tahu saja, sejak September 2018, tren batubara terus menurun dan hanya sekai mencatatkan kenaikan tipis secara bulanan pada Agustus 2019 lalu.

Secara merata, HBA dari Januari-Oktober tahun ini tercatat sebesar US$ 80,21 per ton, menukik dari rerata HBA pada periode yang sama tahun lalu yang masih berada di angka US$ 99,72 per ton.

Di tengah kondisi tersebut, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa realisasi produksi batubara pada tahun ini akan lebih susah diprediksi. Hal itu lantaran tren penurunan harga yang terus terjadi.

Menurut Bambang, kondisi tersebut membuat produsen batubara, khususnya yang berskala kecil akan mempertimbangkan ulang jika ingin menggenjot produksi. “Produksi ini juga susah ditebak karena harga turun, yang kecil-kecil susah produksi,” kata Bambang.

Walau pun begitu, Bambang memproyeksikan produksi batubara tahun ini bisa menyentuh 530 juta ton. Meski lebih rendah dibandingkan realisasi produksi tahun lalu yang mencapai 557 juta ton, proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan target produksi batubara nasional pada Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) awal tahun 2019 yang sebesar 489,12 juta ton.

Bambang mengakui, penurunan HBA ini berdampak terhadap realiasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sulit untuk mencapai target. Asal tahu saja, angka 530 juta ton itu setara dengan asumsi PNBP pada tahun ini.

“Mungkin sekitar 530-an juta, sesuai dengan asumsi PNBP. Harga ini pengaruh ke PNBP yang turun, tapi masih ada tiga bulan lagi, semoga tercapai,” tandas Bambang.

Sumber – https://industri.kontan.co.id

Tertekan harga, produksi batubara tahun ini diprediksi mencapai 530 juta ton

pekerja menunjukan bongkahan batu bara, PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk (E2I) melakukan aktivitas penambangan batubara di Site Bantuas milik PT Mutiara Etam Coal (MEC), Samarinda Timur, Kaltim, Jumat (13/9). Penambangan di lokasi seluas 175 hektar itu untuk diekspor ke China dan India yang saat ini produksi di Tambang Bantuas sebesar 30.000 metrik ton (MT) per bulan dan pada Januari 2014 akan ditingkatkan menjadi 100.000 MT per bulan. Kontan/Panji IndraKementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan realisasi produksi batubara di sepanjang tahun 2019 ini akan lebih rendah dibandingkan tahun lalu.

Meski begitu, produksi emas hitam sepanjang tahun ini dipastikan akan lebih tinggi ketimbang target produksi nasional pada Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) awal tahun 2019 yang ditaksir sebesar 489,12 juta ton.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, sesuai dengan persetujuan revisi RKAB, kuota produksi pada tahun ini bertambah menjadi sekitar 530 juta ton. Jumlah itu masih lebih rendah ketimbang realisasi produksi batubara tahun lalu yang mencapai 557 juta ton.

“Sekitar 530 juta ton. Penurunannya plus minus sekitar sebanyak itu,” kata Bambang di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (8/10).

Menurut Bambang, penurunan produksi tersebut lantaran harga batubara yang terus tertekan sejak September 2018 lalu. Kondisi tersebut menyebabkan produsen batubara, khususnya yang berskala kecil, akan mempertimbangkan ulang jika ingin menggenjot produksi.

“Tapi kan kami belum tahu realisasinya, bisa juga realisasinya lebih turun karena harga turun juga, banyak operasi yang tidak optimal,” terang Bambang.

Yang jelas, Bambang menyebutkan, penurunan harga batubara acuan (HBA) berdampak terhadap realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang pada tahun ini sulit mencapai target.

Seperti yang diberitakan Kontan.co.id, hingga kuartal III tahun 2019, realisasi PNBP minerba baru mencapai Rp 29,74 triliun. Jumlah itu setara dengan 68,76% dari target PNBP tahun 2019 sebesar Rp 43,26 triliun.

Padahal jika dibandingkan tahun lalu, realisasi PNBP minerba per 13 September 2018 saja sudah menyentuh Rp 33,55 triliun atau mencapai 104,5% dari target tahunan kala itu dipatok Rp 32,1 triliun. Hingga penghujung tahun 2018, realisasi PNBP minerba mencapai Rp 50 triliun atau 156% dari target.

Di sisi lain, Ketua Indonesia Mining & Energi Forum (IMEF) Singgih Widagdo sebelumnya mengatakan bahwa pemerintah memang perlu berhati-hati dalam menyetujui tambahan kuota produksi. Sebab, besaran volume produksi yang terlalu tinggi akan berpengaruh terhadap kondisi pasar dan pembentukan harga batubara yang semakin tertekan.

“Total Volume produksi nasional sangat sensitif atas kondisi pasar yang oversupply saat ini,” katanya beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif juga mengatakan, kenaikan jumlah produksi yang signifikan dipastikan akan berpengaruh pada harga batubara. Dengan kondisi saat ini, Irwandy memprediksi harga batubara pada tahun ini hanya akan berada di kisaran US$ 60-US$ 80 per ton.

“Jadi kita lihat nanti bagaimana perimbangan naik turunnya produksi per perusahaan terkait kondisi ini,” tandasnya.

 
Reporter: Ridwan Nanda Mulyana
Editor: Komarul Hidayat

Terkoreksi 39%, APBI Optimis Harga Batu Bara Akan Membaik

APBI Optimis Harga Batu Bara Akan Membaik

Di sepanjang tahun 2019, harga batu bara telah mengalami pelemahan 39% (ytd), dimana kebijakan kuota impor China menjadi sentimen yang mempengaruhi pergerakan harga batu bara saat ini.

Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia menilai perlambatan ekonomi global dan pasokan batu bara yang over supply telah menyebabkan terkoreksinya harga batu bara, tetapi di kuartal IV diharapkan akan ada perbaikan harga mengingat kebutuhan akan sumber energi yang murah masih cukup baik terutama bagi pasar Asia Timur.

Selengkapnya saksikan dialog Erwin Surya Brata dengan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Selasa, 8/10/2019).

Sumber – https://www.cnbcindonesia.com

Pengamat: Pemerintah perlu kajian dan konsistensi soal larangan ekspor bijih nikel

FILE PHOTO: A worker displays nickel ore in a ferronickel smelter owned by state miner Aneka Tambang Tbk at Pomala district in IndonesiaSejumlah pengamat menilai pemerintah perlu melakukan kajian mendalam kepada perusahaan dan konsistensi dalam menerapkan regulasi soal industri nikel.

Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menerbitkan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2019 tentang larangan ekspor bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2020.

Ketua Indonesia Mining Institute (IMI), Irwandi Arif menilai peraturan yang tidak konsisten menjadi salah satu akar permasalahan dalam industri nikel. “Jalan keluarnya ya menjual bijih nikel di dalam negeri kepada yang punya smelter,” jelas Irwandy ketika dihubungi Kontan.co.id, Selasa (2/10).

Namun ia menambahkan, hal tersebut hanya akan menimbulkan masalah baru sebab harga bijih nikel yang dijual akan sangat rendah. Senada, Direktur Ciruss Budi Santoso menilai, pemerintah perlu melakukan kajian perihal persoalan sejumlah perusahaan dalam membangun smelter.

“Dan pelarangan ekspor bijih nikel dapat menjadi (kesempatan) monopoli bagi perusahaan yang memiliki smelter,” ujar Budi, Selasa (2/10).

Menurutnya, pemerintah perlu memberi kesempatan bagi Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang serius dalam mengembangkan smelter.

Adapun, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan, percepatan larangan ekspor perlu dibarengi dengan kesiapan industri hilir dalam negeri. “Ketidaksiapan industri hilir hanya akan menimbulkan stagnasi regulasi,” ujar Ahmad di Jakarta, Selasa (2/10).

Mengutip catatan Kontan.co.id, Nico Kanter, Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk (INCO, anggota indeks Kompas100) menilai, kebijakan larangan ekspor merupakan langkah positif bukan hanya bagi Vale Indonesia namun juga bagi pemerintah Indonesia.

“Vale selalu mendukung hilirisasi mineral di Indonesia, bahkan sejak awal memang kami telah memiliki smelter dan tidak pernah mengekspor ore,” ungkapnya, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk (ANTM, anggota indeks Kompas100) Arie Prabowo Ariotedjo memastikan hal tersebut tak jadi soal bagi rencana pengembangan smelter milik ANTM. “Semuanya masih on schedule saja,” ujar Arie ketika dihubungi Kontan.co.id, awal September lalu.

Asal tahu saja, ANTM memiliki proyek pembangunan smelter nikel yang berlokasi di Papua Barat, mereka mengharapkan dapat memulai proyek itu pada tahun 2020.

Lebih jauh Arie memastikan, ANTM akan terus menggenjot kinerja khususnya pada tahun mendatang. Apalagi kata Arie, pendapatan yang diperoleh lewat bijih nikel dalam setahun hanya sebesar 7% atau sekitar Rp 2 triliun dari total pendapatan.

RUU Minerba akhirnya tidak disahkan tahun ini

NULLRancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batu bara (Minerba) tidak akan disahkan di periode ini. Pembahasan RUU ini akan diteruskan oleh anggora DPR periode berikutnya.

Hari ini seharusnya diadakan rapat kerja (raker) antara pemerintah dengan DPR untuk membahas DIM RUU Minerba, namun rapat tersebut dibatalkan. Anggota Komisi VII DPR Kurtubi mengatakan, rapat yang dibatalkan tersebut dibatalkan atas permintaan Kementerian ESDM atas arahan dari presiden.

“Pembahasan tentang RUU Minerba ini dibatalkan karena waktunya sangat sempit mengingat DPR periode 2014 – 2019 akan berakhir dalam beberapa hari ke depan,” ujar Kurtubi kepada Kontan.co.id, Jumat (27/9).

Anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian pun menolak pembahasan RUU Minerba ini dilakukan pada periode ini. Menurutnya, pembahasan yang dilakukan dalam waktu sangat singkat seakan membuat DPR mengejar target, padahal RUU Minerba sangat strategis.

Lebih lanjut Ramson mengatakan, rencana penetapan RUU Minerba ini tidak sesuai dengan mekanisme pembuatan UU. Ini dilihat dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diberikan pemerintah masih berupa draft atau belum atas kesepakatan atau keputusan dari pemerintah. Karena itu, DIM yang diserahkan tersebut belum sah.

Padahal, bila sesuai dengan mekanisme pembahasan RUU, penyerahan DIM dari pemerintah dianggap sah bila sudah dilakukan raker penyerahan DIM yang diwakilkan oleh menteri. Selanjutnya, diadakan pula rapat kerja antara komisi VII DPR untuk membahas DIM yang telah diajukan.

“Rabu kemarin, belum ada raker resmi dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri yang ditunjuk presiden. Jadi rapat Kamis kemarin, belum bisa membentuk Panja RUU Minerba,” terang Ramson.

Dia melanjutkan, panja RUU Minerba  merupakan gabungan antara fraksi di komisi VII dengan perwakilan pemerintah yakni eselon I. Panja yang dibentuk oleh komisi VII pun hanya berfungsi untuk pengawasan.

Dia juga berpendapat, terdapat upaya-upaya yang ingin memaksakan pengesahan RUU Minerba menjadi UU pada periode yang tinggal 2 hari kerja. Inilah yang menurutnya berpotensi melanggar UU pembentukan UU.

Sementara itu, Kurtubi menyarankan agar substansi isi perubahan RUU Minerba juga menyangkut perubahan menuju sistem yang lebih sederhana dan sesuai konstitusi. Perubahan tersebut adalah merubah dari rezim IUP menjadi model kontrak B2B antara BUMN dan investor tambang agar proses investasi menjadi lebih sederhana.

 
Reporter: Lidya Yuniartha
Editor: Azis Husaini

 
United Tractors (UNTR) akan membagikan dividen interim, ini jadwalnya

NULLSalah satu emiten grup Astra, PT United Tractors Tbk (UNTR) akan membagi delividen interim dengan tahun buku 2019. Emiten ini akan mengucurkan dividen Rp 408 per saham.

“Sebagaimana telah disetujui oleh dewan komisaris perseroan, telah memutuskan dan menyetujui untuk membagi dan membayar dividen interim,” tulis manajemen UNTR dalam keterbukaan informasi, Selasa (01/10).

Adapun jadwal pelaksanaannya sebagai berikut:

  •     Cum dividen interim di pasar reguler dan negosiasi: 07 Oktober 2019
  •     Ex dividen interim di pasar reguler dan negosiasi: 08 Oktober 2019
  •     Cum dividen interim di pasar tunai: 09 Oktober 2019
  •     Ex dividen interim di pasar tunai: di 10 Oktober 2019
  •     Recording date: 09 Oktober 2019
  •     Pelaksanaan pembayaran dividen: 23 Oktober 2019
Reporter: Benedicta Prima
Editor: Wahyu Rahmawati

 

Saham emiten tambang rontok pasca RUU Minerba ditunda, ini rekomendasi analis

Tambang Bawah Tanah Freeport Bakal Membentang 1000 KmIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 8,8 poin atau naik 0,14% ke level 6.146,40, Rabu (25/9). Namun, beberapa sektor saham masih mengalami penurunan, salah satunya sektor pertambangan yang turun 0,15%. Secara year to date, sektor pertambangan melemah 8,79%.

Pada perdagangan, Selasa (24/9) kemarin, saham-saham di sektor tersebut juga kompak anjlok pasca pemerintah mengumumkan menunda pengesahan RUU Minerba.

Sektor pertambangan menjadi kontributor terbesar dengan penurunan mencapai 1,71%. Beberapa saham yang menurun kemarin diantaranya adalah saham PT United Tractors Tbk (UNTR) melemah 4,07%; PT Adaro Energy Tbk (ADRO) turun 5,47%; PT Vale Indonesia Tbk (INCO) 4,71%; dan PTIndika Energy Tbk (INDY) 2,54%.

Sementara di sesi perdagangan hari ini, harga saham UNTR dan INCO, masing-masing masih turun 0,35% dan 1,65%. Sedangkan ADRO naik 1,16%, serta INDY stagnan di harga penutupan kemarin. Lantas apa yang menyebabkan saham emiten tambang turun?

Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony menyatakan penurunan kemarin lebih kepada ketidakpastian pengesahan RUU tersebut. Menurutnya, pengesahan RUU Minerba dapat berdampak positif atau negatif.

“RUU tersebut lebih membahas area konsesi tambang. Sehingga yang terdampak adalah perusahaan yang izinnya akan habis dalam 1-2 tahun ke depan,” ujar Chris kepada Kontan pada Rabu (25/9).

Chris menilai penurunan kemarin itu adalah sentimen jangka pendek. Penundaan RUU Minerba hanya menjadi penambah kondisi pertambangan saat ini.

Sementara, faktor lain yang berperan penting terhadap penurunan hari ini dan kemarin ialah harga komoditas yang tak stabil. Terlebih lagi, hari ini harga komoditas seperti batubara masih terkoreksi.

Hal yang serupa juga dinyatakan oleh analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama. Ia mengatakan sentimen domestik mengenai penundaan pengesahan RUU Minerba menjadi faktor tambahan.

“Walaupun ditunda, tapi ke depannya RUU Minerba harus bisa mengakomodir emiten pertambangan dalam rangka meningkatkan kinerja mereka,” ujar Nafan.

Sementara itu, penurunan sektor pertambangan sendiri dikarenakan komoditas dunia sedang dalam fase koreksi wajar. Pertama karena sentimen over supply. Kedua, perihal kilang minyak Aramco.

Kendati demikian, Nafan menilai kinerja Aramco dalam rangka memperbaiki kilang minyak yang beberapa waktu lalu diserang drone itu berangsur pulih. Aramco mengumumkan proses perbaikan sudah mencapai 75% dan diperkirakan beroperasi normal mulai pekan depan.

Menurut Nafan, itu akan menjadi sentimen positif untuk komoditas. Ketiga, beberapa harga komoditas memang sedang mengalami penurunan. Itu yang menyebabkan terkoreksi.

Sementara itu, walaupun harga komoditas masih tak stabil, Chris menilai saham emiten tambang masih menarik karena cukup murah. Chris merekomendasi membeli saham ADRO dengan target harga Rp 1.600 per saham, INDY di target harga Rp 1.800 per saham, UNTR dengan target harga Rp 25.000, serta beli saham INCO dengan target harga Rp 4.000 per saham.

Nafan juga menilai koreksi yang terjadi hari ini masih wajar. Bahkan, ia menilai secara teknikal saham keempat emiten itu mulai mengalami fase konsolidasi atau harganya cenderung stabil.

Nafan merekomendasi beli UNTR di target harga Rp 25.500 per saham, sedangkan INDY di target harga Rp 1.835 untuk jangka menengah. 

Sumber – https://investasi.kontan.co.id

J-Resources (PSAB) terus melakukan pengembangan tambang
NULLPT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) tengah mengawal beberapa proyek pengembangan tambang pada tahun ini.

“Kami mengembangkan metode untuk mengatasi bijih yang berasosiasi dengan bahan lempung telah diterapkan dalam skala produksi, sehingga recovery rate meningkat, ini juga menjadi salah satu faktor menunjang peningkatan produksi perseroan Semester I 2019,” ujar Edi Permadi, Direktur PT J Resources Asia Pasifik, Jumat (20/9).

Sebagai informasi, pada paruh pertama tahun ini berhasil memproduksi emas sebesar 92,835 oz. Nilai ini naik 26,97% ketimbang realisasi produksi pada semester 1 2018 73,114 oz.

Pengembangan lainnya, perusahaan juga sedang melakukan pengembangan untuk Proyek Doup di Kabupaten Bolaang Mongondow, Timur Provinsi Sulawesi Utara. Sampai saat ini prosesnya dalam tahap pembebasan lahan. Tambang wilayah Doup ditargetkan mulai produksi pada semester 2 2020.

Sembari mengawal pengembangan yang ada, sambungnya, perusahaan juga tengah mengoptimalkan produksi. Mereka optimis mampu mencapai target produksi yang sudah ditentukan pada tahun ini.

Adapun tantangan PSAB pada paruh kedua tahun ini mereka mulai memasuki penambangan dengan grade kadar yang rendah. Hal ini mengakibatkan volume penambangan dan yang diolah meningkat sehingga berdampak terhadap biaya produksi yang relatif lebih tinggi.

Sampai semester 1 2019, mereka telah menggunakan belanja modal sebesar US$ 30 juta yang digunakan untuk mendapatkan sumberdaya dan cadangan yang baru. “Selain itu juga digunakan untuk meningkatkan fasilitas produksi, untuk mengganti alat-alat berat yang sudah tidak produktif dan prasarana lainnya,” ungkapnya.

Adapaun sumber dana belanja modal pada paruh pertama tahun ini merupakan kombinasi pembiayaan dari bank dan lembaga keuangan non bank serta dari hasil usaha perseroan.

 

Sumber – https://industri.kontan.co.id

Delta Dunia (DOID) catat volume OB 267,3 juta BCM sampai Agustus 2019

Kontraktor Pertambangan BatubaraPT Delta Dunia Makmur Tbk melalui PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) mencatat volume overburden removal (OB) atau pemindahan lapisan penutup sebesar 35,3 juta bcm dan produksi batubara 4,5 juta ton pada Agustus 2019.

“Volume OB mengalami penurunan 8% dari periode yang sama tahun lalu OB dan 40% peningkatan untuk produksi batubara,” ujar Regina Korompis, Head of Investor Relations Delta Dunia Makmur, Kamis (19/9).

lebih lanjut ia menerangkan apabila penurunan volume OB lantaran adanya perlambatan sementara produksi dari pelanggan.

Apabila ditotal dari Januari hingga Agustus, emiten berkode saham DOID ini sudah mencatat volume OB mencapai 267,3 juta bcm dan produksi batubara 33,5 juta ton.

“Target tahun ini kan 380 hingga 420 juga BCM dan kita udah mencapai sekitar 70% dari target,” imbuhnya.

Perusahaan juga optimist bakal mendapatkan kontrak perpanjangan dari pelanggan yakni Kideco.

Sumber – https://industri.kontan.co.id