Awas, ini denda bagi perusahaan batubara yang tak memenuhi DMO di tahun depan

Awas ini denda bagi perusahaan batubara yang tak memenuhi DMO di tahun depanPemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi sanksi terkait wajib pasokan batubara dalam negeri alias domestic market obligation (DMO).

Sehingga pada tahun 2020 nanti, sanksi yang dikenakan tidak lagi berupa pemotongan kuota produksi.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko menyampaikan, pihaknya tengah memfinalisasi skema sanksi yang baru.

Bentuknya, kata Sujatmiko, berupa denda atau kompensasi yang dibayarkan oleh pelaku usaha yang tidak memenuhi DMO.

Sujatmiko bilang, detail skema sedang disiapkan. Kementerian ESDM pun tengah membuat mekanisme denda agar bisa sesuai dengan tingkat kalori batubara yang dimiliki perusahaan.

“Untuk kompensasi yang sesuai dengan tingkat kalorinya masing-masing, sedang kita kaji di level teknis,” kata Sujatmiko saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (29/12).

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, skema sanksi kali ini dibuat lebih detail lantaran akan tercantum dalam payung hukum khusus berupa Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM.

“(Kepmen besaran DMO) itu terpisah dengan sanksi. Karena itu masih ada waktu untuk membahasnya. Kesimpulannya seperti apa, tunggu tanggal mainnya nanti” kata Bambang.

Sebab, Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan bahwa pihaknya sudah menyiapkan Kepmen terkait besaran DMO dan juga kelanjutan harga patokan batubara untuk kelistrikan di tahun depan.

Dalam Kepmen tersebut, kata Arifin, persentase DMO dipatok stabil, yakni 25% dari produksi. Sedangkan harga patokan batubara yang seharusnya berakhir di tahun 2019 ini, akan berlanjut dengan harga US$ 70 per ton.

“Sudah ada (Peraturan menteri untuk memperpanjang harga patokan). Tetap lanjut, untuk dalam negeri (DMO batubara) sama seperti biasa, (Harganya) stabil,” kata Arifin saat ditemui di Kantornya, Jum’at (29/12).

Bambang Gatot sebelumnya menjelaskan bahwa pihaknya mengaku kesulitan untuk menerapkan sanksi DMO batubara yang berlaku saat ini. Seperti diketahui, sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi 25% DMO batubara ialah pemotongan kuota produksi di tahun berikutnya.

Hal itu sesuai dengan yang diatur dalam Kepmen ESDM Nomor 78 K/30/MEM/2019 tentang penetapan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri tahun 2019.

Dalam beleid tersebut, persentase minimal DMO ditetapkan sebesar 25%, dan bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban tersebut akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di tahun berikutnya.

Namun, Bambang mengakui bahwa penerapan sanksi pemotongan produksi adalah hal yang sulit dilakukan. Sebab, dalam pemotongan produksi ada pertimbangan terhadap dampak sosial, pengurangan tenaga kerja, pendapatan daerah hingga penerimaan negara.

“Dalam faktanya itu nggak bisa, sulit diterapkan. Kami cari formula baru,” ujar Bambang.

Pada tahun 2018 lalu, ada 34 perusahaan batubara yang tidak memenuhi kewajiban DMO tersebut. Para produsen batubara itu berasal dari pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP).

Kendati begitu, Sujatmiko menegaskan bahwa sanksi berupa pemotongan kuota produksi masih akan tetap berlaku di tahun 2019 ini. “Untuk tahun ini, ketentuan itu masih tetap berlaku, belum berubah,” tegasnya.

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi

Sumber: https://industri.kontan.co.id/

Dorong hilirisasi tambang, Freeport Indonesia akan realisasikan smelter

Dorong hilirisasi tambang, Freeport Indonesia akan realisasikan smelterPT Freeport Indonesia (PTFI) masih terus mengembangkan smelter tambaga di Gresik Jawa Timur sebagai bagian dari program hilirisasi tambang.

Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama mengatakan, saat ini proyek smelter tembaga tersebut sedang berada dalam tahap pemadatan tanah dan pembuatan konsep desain atau front end engineering design (FEED).

PTFI memproyeksikan, smelter ini akan rampung lima tahun sejak penerbitan izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada Desember 2018 lalu. Izin ini keluar beriringan dengan transaksi divestasi oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

PTFI juga telah menginvestasikan US$ 151 juta untuk kelangsungan proyek smelter tersebut.

Riza bilang, smelter tembaga ini bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan kinerja PTFI di masa mendatang. Di sisi lain, proyek tersebut diharapkan dapat mendongkrak kualitas industri logam di dalam negeri. Apalagi, pemerintah juga terus menggalakan program hilirisasi di bidang pertambangan.

“Diharapkan sudah ada industri hilir yang siap menyerap produk dari smelter kami ketika selesai dibangun,” terang dia, Selasa (24/12).

Di luar itu, PTFI juga masih melaksanakan proyek tambang bawah tanah (underground) sebagai bagian dari transisi tambang terbuka yang berakhir masa operasinya di pertengahan tahun depan. Tambang bawah tanah ini ditargetkan beroperasi secara optimal di tahun 2022 mendatang.

Mengutip berita sebelumnya, volume penambangan bawah tanah PTFI diproyeksikan sebesar 96.000 ton bijih per hari pada tahun depan. Bijih tersebut merupakan batuan dengan kandungan tembaga, emas, dan perak.

Lantas, PTFI terus berinvestasi guna menyelesaikan tambang bawah tanah sekaligus meningkatkan produktivitas penambangan. “Biaya yang diperlukan untuk tambang bawah tanah sekitar US$ 2 miliar,” ujar Riza.

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

APBI menagih keputusan perpanjangan kontrak PKP2B

Diskusi Pemanfaatan Batu Bara Kalori RendahAsosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) terus meminta kejelasan soal perpanjangan kontrak beberapa perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)

Perpanjangan kontrak itu sebenarnya sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 sebagai aturan turunan dari UU Minerba, yang menyebutkan bahwa memperbolehkan perusahaan mengajukan permohonan perpanjangan 2 tahun sebelum berakhirnya kontrak atau perjanjian.

Oleh karena itu sudah ada perusahaan yang mengajukan ke pemerintah tanpa harus menunggu RUU Minerba selesai. “Karena pada dasarnya pengajuan perpanjangan kontrak itu juga diatur dalam PKP2B yang masih berlaku hingga berakhirnya perjanjian,” ujar Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (22/12).

Mengenai apa saja yang dipersiapkan oleh PK2B dalam pengajuan perpanjangan Hendra mengatakan, pemegang PKP2B sebagai kontraktor pemerintah tentu menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk kelanjutannya.

Berdasarkan informasi dari APBI, perusahaan yang sudah mengajukan perpanjangan PKP2B yaitu PT Arutmin Indonesia karena akan berakhir kontraknya di tahun 2020. PT Adaro Indonesia yang akan berakhir di 2022 juga kabarnya akan mengajukan permohonan.

Hendra menambahkan mengenai peluang pada masing-masing perusahaan tersebut aturan yang diharapkan tentu bisa menjamin kelangsungan seluruh perusahaan. Peraturannya tentunya untuk semua bukan untuk individual company.

Perusahaan PKP2B generasi I itu semuanya mayoritas sahamnya dimiliki pengusaha Nasional. Kontribusi terhadap produksi lebih dari 40%. “Kontribusi ke Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), mayoritas kontrak dari segi perpajakan dan perekonomian nasional dan regional juga penting,” ujar Hendra.

Hendra juga mengatakan, untuk kelistrikan Nasional, lebih dari separuh dipasok oleh perusahaan-perusahaan tersebut, jadi aspek ketahanan energi Nasional juga patut dipertimbangkan.

 

Sumber: https://industri.kontan.co.id/

Masih kontroversi, luas wilayah PKP2B akan dibahas mendalam di revisi UU Minerba
Coal barges are pictured as they queue to be pull along Mahakam river in Samarinda, East Kalimantan province, Indonesia, August 31, 2019. Picture taken August 31, 2019. REUTERS/Willy Kurniawan

Coal barges are pictured as they queue to be pull along Mahakam river in Samarinda, East Kalimantan province, Indonesia, August 31, 2019. Picture taken August 31, 2019. REUTERS/Willy Kurniawan

Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI segera merampungkan revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Mineral dan Batubara (UU Minerba). Targetnya, revisi UU Minerba selesai paling lambat pada Juli atau Agustus 2020.

Insha Allah UU minerba saya punya target paling lama bulan Juli atau selambatnya bulan Agustus (2020),” ungkap Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto di Jakarta, Rabu (11/12).

Menurut Sugeng, revisi UU minerba ini akan menjadi program legislasi nasional (prolegnas) prioritas yang disahkan di Sidang Paripurna. Setelah itu, pihaknya segera membentuk Panita Kerja (Panja) revisi UU minerba pada akhir bulan ini, dan akan bekerja intensif pada awal Januari 2020.

Sugeng mengatakan, biasanya revisi UU membutuhkan waktu setidaknya tiga kali masa sidang atau satu tahun. Namun, untuk revisi UU minerba, ia yakin bisa selesai dengan dua kali masa sidang saja.

Alasannya, sambung dia, pembahasan revisi UU minerba melanjutkan hasil dari proses yang sudah ditempuh pada Komisi VII DPR RI periode 2014-2019 lalu. “Karena materinya tidak membuang yang lau, toh revisi UU ini pada periode lalu sudah jalan sedemikian rupa,” imbuh Sugeng.

Namun, Sugeng mengakui, ada sejumlah isu yang masih akan dibahas secara intensif antara Komisi VII bersama Pemerintah. Khususnya mengenai perpanjangan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Dua isu yang disoroti dari perpanjangan PKP2B itu ialah terkait dengan luasan wilayah dan juga pengelolaan pasca PKP2B habis kontrak dan beralih menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Sugeng mengatakan, penafsiran soal batasan luas wilayah ini menjadi isu yang krusial. Menurutnya, ada tafsiran bahwa luas PKP2B yang habis kontrak dibatasi hanya 15.000 hektare (ha) saja.

Namun di sisi lain, kata Sugeng, ada juga yang menerjemahkan bahwa laus wilayah itu bisa menyesuaikan Rencana Kegiatan pada Seluruh Wilayah (RKSW) yang sudah disepakati dalam kontrak.

Sayangnya, Sugeng masih enggan dengan gamblang mengemukakan sikap dari Komisi VII terkait dengan luasan wilayah ini. “Ada aspek-aspek lain, di situ lah yang disebut pendalaman. Ini lah perlunya Panja RUU nanti akan mendalami lebih detail, aspek-aspek yang akan masuk pada pasal per pasal,” ungkapnya.

Selain itu, Sugeng mengatakan bahwa isu lain yang akan dibahas dalam revisi UU minerba ialah terkait dengan prioritas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengelola lahan tambang PKP2B yang sudah habis kontrak.

Menurutnya, harus dilihat kembali apakah penerjemahan Pasal 33 UUD 1945 itu berarti harus dimiliki oleh negara melalui BUMN, atau bisa dengan mekanisme lain.

“Kan ada klausul kalau habis kontrak maka sebaiknya diberikan ke BUMN? Nah ini juga menjadi bahasan-basahan yang akan kita tuntaskan. Kita butuh reverensi lebih banyak” ungkapnya.

Sugeng pun mengklaim, kendati banyak menyoroti soal PKP2B, tapi pembahasan revisi UU Minerba ini tidak mendapat desakan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam perpanjangan kontrak PKP2B ini. “Tak ada desakan itu, tetapi bahwa kita punya tanggung jawab moral, kalau bisa cepat kenapa tidak?,” klaimnya.

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

APBI mengkritisi opsi mekanisme kebijakan DMO batubara oleh pemerintah di tahun depan

Penyerapan Batubara dalam negeri meningkat------ Bongkar muat batubara di pelabuhan Marunda, Jakarta, Kamis (5/11). Kementrian Energi dan Sumner Daya Mineral menyatakan konsumsi batubara dalam negeriper Januari-September 2015 menungkat 9,83% dibandingkan periode yang sama tahun lalu lantaran beroperasinya sejumlah pembangkit listrik tenaga uap. KONTAN/Cheppy A. Muhlis/05/11/2015

Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) masih mempertanyakan opsi mekanisme domestic market obligation (DMO) batubara yang diterapkan pemerintah pada tahun depan.

Ketua APBI Hendra Sinadia mengatakan, keputusan pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kembali menetapkan harga DMO sebesar US$ 70 per ton kurang tepat. Ini mengingat harga batubara sedang dalam tren tertekan. Bahkan, harga batubara acuan (HBA) untuk bulan Desember 2019 saja hanya mencapai US$ 66,3 per ton atau di bawah harga DMO.

Kondisi ini membuat setiap pihak yang terlibat dalam kebijakan DMO akan dirugikan. Dalam hal ini, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mesti menanggung biaya pembelian yang lebih tinggi ketimbang harga pasar.

“Pelaku usaha batubara juga tidak bisa menetapkan harga tinggi karena belum tentu terbeli. Pun kalaupun harganya lebih rendah kami juga bisa lebih rugi lagi,” ungkap dia, Rabu (11/12).

Menurutnya, harga patokan DMO semestinya dicabut dan dikembalikan ke harga pasar.

Karena harga patokan DMO yang masih menimbulkan tanda tanya, hal ini bisa mengakibatkan pemerintah kesulitan menerapkan aturan sanksi berupa denda bagi perusahaan batubara yang gagal memenuhi kuota DMO.

Hendra bilang, kebijakan denda ataupun insentif ada baiknya dikaji ulang lantaran belum tentu efektif ketika diterapkan. “Isunya beberapa perusahaan bisa saja memilih untuk bayar denda ketimbang penuhi kuota DMO kalau keuntungan yang diperoleh minim,” papar dia.

Terlepas dari itu, APBI pada dasarnya tetap mendukung adanya kebijakan DMO dari pemerintah yang dirasa akan membuat pasokan batubara bagi pembangkit listrik akan selalu tersedia.

Sebelumnya, Kasubdit Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Batubara Ditjen Minerba Kementerian ESDM Dodik Ariyanto mengatakan, harga jual batubara untuk DMO masih ditetapkan sebesar US$ 70 per ton pada tahun depan.

Pemerintah juga mengubah mekanisme sanksi bagi perusahaan yang gagal memenuhi kewajiban DMO. Selama ini, perusahaan yang tidak mampu memenuhi kuota DMO akan dikenai sanksi berupa pengurangan produksi. Sebaliknya, perusahaan yang melampaui DMO mendapat reward berupa kenaikan produksi.

Namun, untuk tahun depan perusahaan yang mengalami kasus seperti itu akan dikenai sanksi denda. Tak hanya itu, pemerintah juga akan memberikan insentif bagi perusahaan yang bisa melampaui target DMO.

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

PT Meares Soputan Mining Tanam Bibit Jagung di Lahan Tambang

PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN), dua anak perusahaan PT Archi Indonesia menanam bibit Jagung di lahan pertambangan.

Direktur Pembenihan Kementerian Pertanian RI, Mohammad Takdir ikit melakukan penanaman perdana di lokasi Tokatindung Reference Integrated Ecofarming Development (TRIED), akhir pekan lalu.

“Saya kaget sewaktu mengetahui bahwa ada program kemitraan dari perusahaan tambang yang berhasil mengembangkan benih jagung unggulan di area pertambangan. Ini luar biasa. Karena pernah dilakukan program yang sama di Kalimantan, justru gagal,” kata dia.

Ia menghargai usaha ini, karena sesuai instruksi Presiden Jokowi, bahwa semua lini harus meminimalisasikan upaya impor, termasuk impor benih Jagung.

PT Meares Soputan Mining Tanam Bibit Jagung di Lahan TambangKeberhasilan menanam benih di areal pertambangan yang dilakukan PT MSM dan PT TTN, adalah sebuah langkah maju dan akan dijadikan pilot project.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Balai Penelitian Serelia, Moh Azrai, mengapresiasi PT MSM dan PT TTN yang turut mengambil bagian dalam upaya ketahanan pangan nasional.

“Saya sangat berterimakasih kepada kedua perusahaan ini yang turut mengambil bagian dalam pengembangan benih jagung. Hal ini sebagai sebuah upaya mendukung program pemerintah dalam upaya ketahanan pangan nasional,” ujar Aziz.

Ia mengatakan, membangun korporasi pembenihan tidak mudah, terdapat regulasi berlapis, tidak bisa sembarang mengeluarkan sertifikasi benih
Menanam bibit jagung merupakan peluang bisnis menjanjikan.

Direktur PT MSM dan PT MSM, David Sompie memaparkan, kegiatan ini merupakan kali kedua dilakukan.

Pertama jenis NASA 29 yang sudah mengembangkan jagung produksi, serta JH 37 untuk pengembangan benih jagung.

“Selain program pengembangan 30 kelompok Peternak, kegiatan ini merupakan salah satu program unggulan Corporate Social Responsbility (CSR) PT MSM dan PT TTN. Jika sertifIkasi NASA 29 terkendala di regulasi untuk pemasarannya, maka saat ini dengan kerja sama yang semakin lengkap, kiranya harapan itu dapat terwujud,” Kata Sompie.

Kementerian ESDM tidak akan buru-buru bahas RUU Minerba, kenapa?

Kementerian ESDM tidak akan buru-buru bahas RUU MinerbaKementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) enggan buru-buru dalam pembahasan lanjutan Revisi Undang-Undang (RUU) No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang di-carry over dari periode sebelumnya.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI mengungkapkan 13 hal yang menjadi fokus dalam RUU ini.

Adapun, 13 poin ini terdiri dari enam usulan pemerintah dan tujuh usulan DPR. Keenam usulan pemerintah meliputi, penyelesaian permasalahan antar sektor, penguatan konsep wilayah dan pertambangan, memperkuat kebijakan nilai tambah, serta mendorong kegiatan eksplorasi untuk penemuan deposit minerba.

“Pengaturan yang lebih jelas terhadap perubahan KK/PKP2B menjadi IUPK, dan penguatan peran BUMN,” ujar Arifin pekan lalu.

Sementara itu, usulan DPR meliputi, (1) mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, (2) pengaturan kembali izin pertambangan rakyat, (3) penguatan peran pemerintah pusat dalam bimbingan dan pengawasan kepada pemerintah daerah, (4) pengaturan khusus tentang izin pengusahaan batuan,
(5) pengaturan kembali soal jangka waktu Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), (6) pengaturan kembali terkait luas wilayah perizinan pertambangan serta (7) tentang lingkungan hidup.

Kepala Bagian Penelaahan Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM Bambang Sujito mengungkapkan, pihaknya berfokus pada pemenuhan ketentuan hukum terlebih dahulu.

“Pemenuhan materi dibelakang sesudah pemenuhan legal formal,” kata Bambang selepas diskusi publik di Jakarta, Selasa (3/12).

Lebih jauh Bambang menjelaskan, Kementerian ESDM secara aktif melakukan konsultasi publik untuk menjaring isu-isu apa saja yang dibutuhkan dalam RUU. Hal ini diharapkan membuat RUU yang disahkan sudah memenuhi legal formal dan regulasi yang ada.

Sementara itu, Pengamat Hukum Sumber Daya Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengungkapkan, RUU Minerba kurang melibatkan publik secara masif. “Dengan hati yang jernih dan untuk kepentingan bangsa perlu dibahas ulang, tidak ada soal,” kata Redi ditemui dikesempatan yang sama.

Senada, Direktur eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) Bisman Bhaktiar mengusulkan penyusunan ulang RUU Minerba.

“Banyak hal perlu dikaji ulang seperti IUPK, sekarang ini beberapa KK/PKP2B yang sudah selesai mau diberikan IUPK padahal itu tidak ada dasar hukumnya,” kata Bisman.

Selain itu, Bisman menyinggung soal Izin Pertambangan Rakyat. Skala IPR yang berbeda dengan IUP perlu penanganan khusus menurut Bisman.

Mengenai kemungkinan carry over, Bisman mengungkapkan, dalam UU 15/2019 Pasal 71 A, carry over dimungkinkan bagi RUU yang sudah masuk pembahasan untuk kemudian masuk dalam prolegnas DPR periode selanjutnya. “Sementara RUU Minerba belum dibahas, satu DIM pun belum masuk pembahasan,” kata Bisman.

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

Para praktisi menyoroti RUU Minerba yang syarat kepentingan pengusaha tambang

Para praktisi menyoroti RUU Minerba yang syarat kepentingan pengusaha tambangSejumlah praktisi di bidang pertambangan menyoroti pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undangan Mineral Dan Batubara (RUU Minerba). Revisi aturan yang kini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu, diduga sarat isi titipan dari pengusaha tambang.

Mantan Direktur Jenderal Mineral Dan Batubara Kementerian ESDM, Simon Sembiring mengatakan, salah satu titipan itu soal batasan luas wilayah pertambangan.

Disebutkan dalam pasal 169 A (2b) pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Minerba, perusahaan tambang diperkenankan melanjutkan operasi produksi dengan luas wilayah sebagaimana yang sudah disetujui. Tanpa dijelaskan batasan maksimalnya.

Padahal, dalam UU Minerba sebelumnya, dinyatakan maksimal luas area tambang adalah 15.000 hektare.

“Ditetapkan  tidak  dapat  melebihi  perluasan  total  maksimum  15.000 hektare,  draf  yang tercantum  dalam  DIM  secara  tersembunyi  dimungkinkan  melebihi  masimum  tersebut, dan ini dapat disebut sebagai jebakan bagi Pemerintah,” ujarnya dalam siaran pers saat menghadiri diskusi tentang RUU Minerba di Jakarta, Kamis (28/11).

Untuk diketahui, dalam kurun waktu lima tahun mendatang, ada enam perusahaan swasta pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama, yang akan habis masa kontrak. Seluruh PKP2B itu memiliki luas lahan lebih dari 15.000 hektare.

Kemudian dalam pasal 169 A (1) pada DIM tersebut, turut mencantumkan kepastian perpanjangan kontrak bagi PKP2B. Padahal, menurut Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies, Budi Santoso menjelaskan, UU Minerba memberikan peluang bagi Pemerintah untuk mengakhiri kontrak PKP2B. Lalu melalui prosedur lelang, bekas lahan itu diprioritaskan untuk dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Pasal ini, kata Budi, memperlihatkan kalau Pemerintah berpihak kepada swasta dari pada BUMN. “Terkesan Pemerintah ditekan oleh pemilik PKP2B dalam merevisi undang-undang untuk kepentingan pengusaha,” ujar Budi.

Hal senada disampaikan juga oleh Pakar Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara, Ahmad Redy. Menurutnya, UU Minerba mengamatkan agar konsesi milik PKP2B yang habis kontrak, diserahkan kepada BUMN untuk dimanfaatkan sebagai aset negara.

Kata Redy, bila lahan besar batu bara dikelola oleh perusahaan pelat merah, maka BUMN PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan mendapat kepastian pasokan untuk kebutuhan pembangkit listrik. “Kalau PKP2B dipegang BUMN, PLN bisa dijamin pasokannya,” tutur Redy.

Menanggapi RUU yang dinilai sarat pesanan ini, Direktur Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara meminta agar DPR menyusun draf baru, dengan membuang pasal-pasal yang disinyalir mengutamakan kepentingan pengusaha swasta.  “Dianggap perlu untuk dimulai dari awal, bukan dengan carry‐over atas draf yang DIM sudah disusun,” bebernya.

Sumber – https://industri.kontan.co.id