Melimpahnya sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia akan dimanfaatkan oleh pemerintah. Salah satunya dengan mengambil kebijakan menjadikan lahan bekas tambang sebagai sumber listrik baru berbasis energi panas matahari atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
“Ke depannya, pemerintah akan membangun sumber listrik di tempat-tempat bekas tambang batu bara sehingga polusinya bisa dinetralisir,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif, kemarin. Peluang ini, jelas Arifin, sebagai jawaban atas tantangan semakin menipisnya sumber energi berbasis fosil dan keterbatasan bantuan global atas pendanaan finansial untuk proyek-proyek yang menggunakan energi fosil. “Kita menuju transformasi dari energi fosil ke EBT kendati butuh waktu,” ungkapnya. Sebelumnya, Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM F.X. Sutijastoto menjelaskan detail rencana tersebut. Pemerintah sudah melakukan evaluasi awal terhadap 200 hektare lahan bekas tambang yang siap digarap untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). “Ini akan selaras dengan pembangunan transmisi listrik,” ujar Toto. Menurut Sutijastoto, pembangunan PLTS pada bekas lahan tambang membutuhkan rentang waktu yang lebih singkat dibandingkan pembangkit yang lain. Setidaknya, pembangunan PLTS dinilai bisa dilakukan dalam satu tahun saja. Rencananya, penggunaan lahan bekas tambang untuk lokasi pembangkitan tidak hanya bisa dilakukan oleh penambang, namun terbuka untuk pelaku bisnis lainnya. “Kalau cukup Business to Business (B to B) ya cukup di situ tidak harus yang punya tambang,” jelas Sutijastoto. Pemerintah memiliki komitmen kuat untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT sekaligus memenuhi target investasi EBT pada 2020 sebesar USD2,3 milar. Optimalisasi dimanfaatkan guna mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil. “Kita akan memanfaatkan sumber-sumber kita untuk meredukusi kebutuhan BBM. Kita tidak bergantung pada sumber-sumber fosil. Dengan begitu, beberapa dekade ke depan bisa menjadi negara yang berdaulat energi,” tegas Arifin.
Sumber – https://industri.kontan.co.id/ |
Mining Industry Indonesia (MIND ID) sebagai holding pertambangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah kepemimpinan Orias Petrus Moedak mematok sejumlah target dan menyiapkan sejumlah strategi untuk mengembangkan tambang di sektor hulu dan hilir. Di sektor hulu, MIND ID fokus menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah salah satunya berkaitan dengan penyelesaian divestasi 20% saham PT Vale Indonesia Tbk. Divestasi 20% saham Vale tersebut sedang memasuki tahap persetujuan terkait pemegang saham atau Shareholder Agreement. Perjanjian tersebut dijadwalkan dapat selesai pada semester I 2020 ini. Selain itu, dalam rangka mengembangkan tambang di sektor hulu, MIND ID masih membuka opsi untuk melakukan akuisisi lahan tambang yang bernilai strategis dan menjanjikan. MIND ID juga tengah gencar merampungkan sejumlah proyek hilirisasi tambang agar dapat selesai sesuai dengan target yang sudah dipatok. Bahkan Orias menegaskan bahwa jika proyek berjalan lamban, jajaran direksi bisa saja kembali dirombak. Orias juga mengatakan bahwa penyelesaian sejumlah proyek hilirisasi menjadi salah satu standar penilaian kinerja masing-masing direktur utama anak usaha MIND ID. Sejumlah anak usaha MIND ID masing-masing memang sedang menggarap proyek hilirisasi seperti proyek smelter feronikel PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) di Halmahera Timur dan Smelter Bauksit di Kalimantan Barat, PT Bukit Asam Tbk memiliki proyek gasifikasi batubara dan PLTU, smelter tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur, PT Timah Tbk yang sedang mengembangkan proyek tanah jarang dan proyek smelter ausmelt. Pengembangan tambang di sektor hulu dan hilir akan dijadikan prioritas bagi MIND ID dengan harapan dapat membawa pertambangan Indonesia kian eksis dan mendunia. Sumber – https://duniatambang.co.id/ |
Percepatan larangan ekspor bijih mentah (ore) nikel kadar rendah di bawah 1,7% telah resmi berlaku sejak 1 Januari 2020. Penambang nikel melalui Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) pun menagih pengaturan tentang tata niaga dan harga bijih nikel domestik antara penambang dan smelter.
Pasalnya, sejak larangan ekspor ore nikel diberlakukan, banyak penambang yang memilih untuk tidak melakukan aktivitas penambangan. Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan, langkah itu diambil lantaran kondisi tata niaga dan harga nikel domestik saat ini dinilai masih membebani penambang.
Apalagi, sambung Meidy, smelter lokal lebih memilih untuk menyerap ore nikel dengan kadar tinggi. “Jadi susah buat kita (penambang), yang diminta smelter lokal kadar tinggi, sedangkan harga jual untuk (nikel kadar rendah) tidak sesuai,” katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (16/1).
Meidy menjelaskan, mekanisme harga yang berlaku sekarang ini diatur berdasarkan kesepakatan business to business (B to B) antara penambang dengan smelter. Seharusnya, harga berpatok pada Harga Patokan Mineral (HPM) yang diatur setiap bulan.
Namun, pada praktiknya daya tawar smelter dalam menentukan harga lebih besar dibanding penambang. Sehingga, harga nikel kadar rendah yang dipatok ke smelter berada di bawah standar HPM.
Adapun, harga domestik yang pernah dianjurkan Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) yakni dalam rentang US$ 27 – US$ 30 per metrik ton, pada praktiknya juga tidak terlaksana.
Oleh sebab itu, Meidy meminta supaya pemerintah mempertegas aturan terkait tata niaga dan harga domestik ke dalam bentuk regulasi khusus, supaya keekonomian penambang lebih terjamin.
“Tata niaga harus diterbitkan satu aturan, regulasi. Kalau hanya B to B tidak bisa, mesti ada penekanan dari pemerintah,” sebut Meidy.
Meidy bilang, untuk penambang yang sudah berkontrak, produksi masih tetap berjalan. Namun, bagi yang belum berkontrak, Meidy menyebut bahwa banyak penambang yang memilih untuk tidak melakukan produksi. “Yang sudah ada kontrak ya lanjut (produksi). Untuk kontrak baru nggak mau supply, diam dulu,” sambungnya.
Sayangnya, Meidy tidak menyebut berapa jumlah penambang yang kini memilih untuk tidak berproduksi. Yang jelas, kata Meidy, para penambang itu tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Menurut Meidy, kondisi ini bisa jadi hanya berlangsung sementara. Jika sudah ada pengaturan tata niaga dan harga, Meidy memprediksi para penambang akan kembali berproduksi. “Sementara ya, menunggu (pengaturan) tata niaga,” ungkap Meidy.
Lebih lanjut, ia juga menekankan bahwa beban bagi penambang lebih berat sejak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam beleid ini, tarif royalti untuk bijih mentah (ore) dikenakan tarif lebih mahal, sedangkan produk tambang yang sudah diolah atau dimurnikan diberikan tarif yang lebih murah.
Sebagai contoh, di PP ini, tarif royalti untuk bijih nikel dikenakan sebesar 10% dari harga jual per ton. Naik dua kali lipat dari tarif sebelumnya yang hanya sebesar 5%, sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 2012.
“Kewajiban kita bayar berpatokan ke HPM, harga tidak. Ditambah lagi kewajiban naik dari 5% jadi 10%,” tegas Meidy.
Oleh sebab itu, Meidy merasa pengaturan harga dan tata niaga ini mendesak diterbitkan. Adapun, Meidy meminta supaya mekanismenya masih bersandar pada HPM, namun dengan batas bawah yang harus ditaati dalam praktek di lapangan.
“Tinggal kita atur, harga terendahnya dimana. Misal HPM US$ 30, nanti mentok harganya di US$ 20 atau US$ 25,” jelasnya.
Sumber – https://industri.kontan.co.id/
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, menetapkan bulan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Nasional Tahun 2020 sekaligus peringatan 50 tahun K3 di Silang Monumen Nasional (Monas) Jakarta, Minggu (12/1/2020).
Pencanangan Bulan K3 Nasional Tahun 2020 ini ditandai dengan jalan sehat K3 (fun walk) yang diikuti 2.000 peserta.
Menaker mengatakan, pada 2019 telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan K3 secara nasional.
Setidaknya ada 5 hal yang dilakukan Kemenaker, beberapa diantaranya menyempurnakan peraturan perundang-undangan, serta standar di bidang K3 dan meningkatkan peran pengawas bidang K3 dalam pembinaan dan pemeriksaan serta penegakan hukum di bidang K3.
Selain itu Kemenaker juga melakukan peningkatkan kesadaran akan K3 baik dari sisi pengusaha atau pengurus, maupun tenaga kerja dan masyarakat sehingga memiliki kompetensi dan kewenangan bidang K3.
“Karena ketenagakerjaan adalah bidang yang diotonomikan sehingga pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan dan mengontrol atas pelaksanaannya. Ini adalah soal kerja sama, koordinasi, saling mengawasi dan saling mengingatkan, ” kata Menaker Ida.
Menteri Ida juga menjelaskan pentingnya meningkatkan peran serta masyarakat, lembaga K3 dan pemeduli K3 serta peningkatkan peran asosiasi-asosiasi profesi K3 maupun perguruan tinggi yang memiliki program K3.
Hal tersebut ia jelaskan agar jangan sampai setelah terjadi permasalahan, K3 baru menjadi perhatian banyak pihak.
“Jangan sampai problem K3 baru mendapat perhatian saat korban berjatuhan. Jangan sampai kita baru peduli soal K3 ketika ada gugatan dari masyarakat atau keluarga korban,” kata Menteri Ida.
Ida juga menjelaskan pentingnya peningkatkan peran serta Indonesia dalam forum-forum regional dan internasional dalam bidang K3, serta menyempurnakan informasi dan layanan K3 berbasis digitalisasi kedepannya.
“Kita perlu melakukan lompatan dan terobosan dengan inovasi-inovasi baru agar pelaksanaan K3 dapat terus diperkuat di tengah gerak perubahan masyarakat dan revolusi industri yang kian melesat, ” kata Menteri Ida.
Sumber: Tribunnews.com
Editor: Sanusi
Setelah sempat mangkrak di tahun lalu, pemerintah akhirnya memutuskan kembali melanjutkan revisi keenam atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba).
Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi membenarkan, kelanjutan revisi PP 23/2010 itu telah dibahas dalam rapat di Sekretariat Negara (Setneg). Menurut Hufron, rancangan revisi PP (RPP) tersebut sudah selesai melalui proses pembahasan, harmonisasi dan juga klarifikasi bersama kementerian terkait.
“Sudah selesai pembahasan,” kata Hufron saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (12/1).
Menurut informasi yang diterima Kontan.co.id, rapat klarifikasi untuk menindaklanjuti revisi PP 23/2010 itu digelar pada Jumat (10/1) lalu bertempat di Kantor Kementerian Sekretariat Negara.
Rapat yang dipimpin oleh Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan itu melibatkan sejumlah kementerian dan lembagai terkait, yakni Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kemenko Bidang Perekonomian, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian Hukum dan HAM, dan Sekretariat Kabinet.
Sebagai informasi, revisi keenam PP Nomor 23 tahun 2010 ini pada pokoknya disiapkan untuk mengatur perizinan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), khususnya dalam perpanjangan kontrak dan perubahan statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Revisi regulasi tersebut sudah mencuat sejak November 2018 lalu. Pemerintah awalnya menargetkan revisi PP Nomor 23/2010 bisa rampung pada akhir tahun 2018, namun penyelesaiannya terus molor hingga 2019.
Kontan.co.id mencatat, pada Januari 2019, tepat setahun lalu, RPP Nomor 23/2010 sebenarnya sudah disetujui dan diparaf oleh menteri terkait, yakni Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Menko Perekonomian. Namun, revisi PP 23/2010 ini terganjal surat dari Rini Soemarno, Menteri BUMN saat itu.
Dalam surat yang disampaikan ke Menteri Setneg pada 1 Maret 2019 itu, Rini meminta supaya BUMN diberikan porsi pengelolaan terhadap tambang PKP2B yang akan habis kontrak.
Polemik perpanjangan kontrak PKP2B pun berlanjut. Sejak pertengahan hingga akhir tahun 2019 lalu, polemik tidak lagi pada revisi PP 23/2010, namun beralih ke revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Minerba. Revisi UU Minerba saat ini tengah bergulir. Komisi VII DPR RI menargetkan, revisi tersebut bisa rampung pada Agustus tahun ini.
Kendati begitu, Hufron Asrofi mengklaim, revisi PP 23/2010 dibutuhkan lantaran dinilai paling memungkinkan untuk segera diterbitkan, sehingga bisa memberikan kepastian hukum dan investasi. Dibandingkan harus menunggu penyelesaian revisi UU Minerba yang masih harus dibahas di DPR.
“Mungkin RPP ini dianggap yang paling siap agar ada landasan hukum dan kepastian investasi, serta menjamin penerimaan negara,” ungkapnya.
Menurut Hufron, karena pada saat itu keberatan datang dari Kementerian BUMN, maka klarifikasi pun telah diberikan. Hufron bilang, saat ini revisi PP 23/2010 ini tinggal menunggu paraf dan persetujuan dari Menteri BUMN, Erick Thohir. Setelah itu, proses berlanjut dengan penyerahan RPP 23/2010 ke Presiden Joko Widodo disahkan.
“Tinggal menunggu paraf Menteri BUMN dan pengesahan presiden,” kata Hufron.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa pelaku usaha tengah menunggu kepastian dari pemerintah. Menurutnya, kepastian hukum dan investasi penting diberikan, baik dalam bentuk revisi PP maupun revisi UU.
“Kami ikut saja opsi yang mana yang akan diambil pemerintah. Kami yakin pemerintah akan memahami urgensinya dan dampaknya terhadap perekonomian nasional,” kata Hendra kepada Kontan.co.id, Minggu (12/1).
Pengamat hukum pertambangan Ahmad Redi bilang, dilanjutkannya revisi PP nomor 23/2010 ini terkesan dipaksakan. Apalagi, selain pembahasan revisi UU Minerba, saat ini tengah disusun omnibus law tentang Cipta Lapangan Kerja, yang di dalamnya juga memuat substansi mengenai pengelolaan minerba.
“Ada duplikasi law making process yang tidak efektif. ekonomisasi kekuasaan seperti terjadi dalam pembuatan regulasi,” kata Redi.
Senada, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengungkapkan, pemerintah semestinya tetap fokus untuk menyelesaikan revisi UU Minerba bersama DPR. Jika perlu, kata Bisman, substansi dalam revisi PP Nomor 23/2010 dimasukan ke dalam revisi UU Minerba yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi.
“Kalau saat ini pemerintah menggulirkan lagi revisi PP 23/2010, pasti ada tumpang tindih karena PP merupakan turunan dari UU, jangan sampai (revisi PP) hanya untuk melegitimasi kepentingan pihak-pihak tertentu,” tandas Bisman.
Sebagai informasi, ada tujuh PKP2B yang akan habis kontrak di tahun ini dan beberapa tahun ke depan, yakni PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Adapun, satu PKP2B, yakni PT Tanito Harum sudah terminasi dengan pembatalan perpanjangan kontrak, lantaran dinilai tidak memiliki landasan hukum untuk perpanjangan kontrak dan peralihan status menjadi IUPK.
Sumber – https://industri.kontan.co.id/
Menghadapi rencana pemerintah menghentikan ekspor mineral mentah, satu hal yang pasti terjadi adalah akan adanya penutupan pada sebagian tambang yang sekarang sedang beroperasi. Baik itu penutupan selamanya, maupun penghentian sementara hingga batas waktu yang tidak diketahui. Ini adalah argumen yang paling umum, tapi sebenarnya merupakan realitas yang tidak terlalu mengejutkan.
Dari seluruh kasus penutupan tambang di dunia, hanya sekitar 25% yang tutup secara terencana dan prosedural karena cadangannya telah habis. Sementara mayoritas 75% lainnya tutup secara prematur, tanpa terencana dan bahkan secara mendadak. Di Indonesia, kasus penutupan tambang tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang semestinya mungkin lebih banyak lagi.
Kalau tambang yang tutup karena cadangannya habis biasanya lebih mudah mengurusnya. Karena sifatnya terencana, penutupan bisa dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Para karyawan, pemerintah daerah (pemda), masyarakat setempat, semuanya bisa mempersiapkan diri hingga pada hari penutupan yang telah direncanakan. Walaupun dengan catatan ada saja alasan dari para pemangku kepentingan untuk menjustifikasi persiapan yang sering tidak maksimal.
Sebaliknya, tambang yang berhenti secara prematur, tidak terencana dan secara mendadak bisa membuat gejolak sosial-ekonomi yang tidak terduga.
Penyebab tambang tutup secara prematur dan tanpa terencana utamanya adalah faktor ekonomi (perubahan harga komoditi, kebangkrutan perusahaan dan lain-lain) dan kebijakan pemerintah (pemangkasan produksi, pelarangan ekspor dan lain-lain). Indonesia sedang menghadapi dua hal ini di depan mata, tantangan fluktuasi harga komoditi dunia dan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.
Untuk dinamika harga komoditas itu tidak ada faktor tunggal yang bisa mengendalikan. Tetapi kebijakan bisa ditentukan oleh pemerintah. Namun Indonesia tampaknya akan bertahan dengan rencana penghentian ekspor mineral mentah karena dipertimbangkan akan memberi harapan baik bagi negeri ini di masa depan. Selain alasan kedaulatan, pemerintah pasti sudah punya hitung-hitungan sendiri terkait bagaimana efek pertumbuhan jika hilirisasi berhasil dilakukan.
Tapi dalam jangka pendek, kebijakan tersebut akan memberi efek negatif. Tambang yang berhenti secara prematur dan tidak terencana, bahkan mendadak akan menyebabkan pengangguran, resesi ekonomi lokal, dan kerusakan lingkungan karena tambang akan terbengkalai begitu saja. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang industrinya relatif mapan seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia dan China. Selain itu, hal ini juga tidak hanya terjadi pada komoditas nikel, tetapi semua komoditas pertambangan seperti emas, tembaga, phospat, batubara, potash, dan sebagainya.
Dalam beberapa kasus dampak lainnya dari penutupan tambang secara prematur adalah munculnya aksi penjarahan terhadap aset infrastruktur dan barang tambang itu sendiri seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
Indonesia sebenarnya pernah mengalami hal serupa, walaupun tidak sama persis. Bahkan lebih dari satu kali. Republik ini pernah mengalami bagaimana industri timah jatuh pada akhir 1980-an dan menyebabkan kerusakan sosial-ekonomi-lingkungan.
Lahan-lahan bekas tambang timah di Bangka-Belitung dan Kepulauan Riau ditinggalkan begitu saja. Masyarakat serta merta kehilangan pekerjaan. Sektor-sektor ekonomi lain yang menggantungkan hidupnya di belanja industri tambang secara langsung juga berjatuhan. Beberapa orang bahkan harus menjadi pelacur untuk menyambung hidup, aset perusahaan dijarah oleh karyawan.
Kita juga pernah menyaksikan kejatuhan industri batubara pada awal 2000-an dan sekitar tahun 2011-2014. Ketika itu, daerah-daerah penghasil batubara di Kalimantan dan Sumatera mengalami stagnasi. Kabupaten Kutai Kartanegara misalnya mencatat pertumbuhan ekonomi 5,33% pada 2001 namun menurun menjadi 4,8% pada 2002 dan 4,68% pada 2003. Pada tahun 2009-2013, Kabupaten yang struktur ekonominya mengandalkan sektor pertambangan dan penggalian lebih dari 60% ini hanya tumbuh rata-rata 1%-3% per tahun. Angka ini jauh di bawah pertumbuhan nasional yang selalu di atas 5%-6%.
Akibatnya, perencanaan pembangunan daerah harus direvisi, ekonomi lesu dan pengangguran meningkat. Pada periode ini, kampus-kampus yang menyediakan jurusan pertambangan di seluruh Indonesia diliputi kegalauan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setiap lulusan baru hampir pasti akan menjadi pengangguran baru.
Efek “shock”
Efek terbesar nanti terjadi di level sub-nasional (kabupaten dan provinsi penghasil), yakni akan terjadi shock. Hal ini tidak bisa dihindari, dan hanya bisa dihindari. Perlu juga diketahui bahwa mitigasi atau pencegahan sosial-ekonomi ini tidak pernah instan dan harus melibatkan banyak pemangku kepentingan. Namun, negara tetap menjadi leading sector nya.
Sementara itu, kebijakan hilirisasi harus terus didukung sepenuhnya. Progres pembangunan smelter nikel tampaknya cukup progresif namun tetap harus didorong untuk mencapai titik optimal melalui penciptaan lingkungan bisnis yang kondusif.
Pemberian insentif pajak mungkin bisa jadi salah satu opsi untuk menarik investasi, tetapi tetap harus ada kajian secara rinci untuk menghasilkan efek yang maksimal. Tantangan lain adalah bagaimana membangun sistem yang mendukung link and match antara smelter dengan sumber material. Karena boleh jadi kebijakan larangan ekspor mineral justru hanya membunuh penambang kecil dan menengah dengan akses modal dan pasar yang terbatas.
Tanpa ada mekanisme link and match yang jelas, harga ore atau mineral mentah akan secara de facto ditentukan sepihak oleh, dan hanya akan menguntungkan, oligarki pemilik smelter. Pada posisi ini peran kementerian yang mengurusi pertambangan dan pengolahan mineral harus menerapkan kebijakan ketat dan gigih, khususnya dalam mengontrol isu smelter dan tata niaga mineral domestik.
Lebih dari itu, para pemangku kepentingan harus memahami benar bahwa hilirisasi membutuhkan dukungan lingkungan yang kondusif terkait regulasi dan kapasitas sumberdaya manusia (SDM). Kita tidak bisa hanya mengandalkan ketersediaan cadangan dan pemaksaan aturan larangan ekspor saja.
Membangun lingkungan bisnis yang kondusif dan penyediaan SDM yang mumpuni itu juga sangat penting. Dua hal terakhir ini bahkan sebenarnya jauh lebih penting dalam membentuk keunggulan komparatif Indonesia di industri mineral dunia.
Kita sepertinya masih harus banyak belajar dalam mengelola secara bijak dan tepat akan sumber daya pertambangan kita yang diakui sebagai salah satu yang terbesar di dunia.
Penulis : Jannus TH Siahaan
Pemerhati Masalah Pertambangan dan Doktor Sosiologi Universitas Padjajaran
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak lagi bergeming. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) bakal merevisi nilai Kompensasi Data Informasi (KDI) dalam lelang blok tambang.
Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung mengatakan, revisi nilai KDI tersebut berdasarkan masukan dari stakeholders terkait. Revisi itu menyangkut KDI untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan WIUP Khusus (WIUPK).
“Banyak masukan terkait harga KDI. Pada dasarnya seluruh KDI yang sudah di Kepmen-kan akan direvisi,” kata dia kepada Kontan.co.id, Rabu (8/1). Lebih lanjut Wafid bilang, revisi tersebut akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM.
Sayangnya, Wafid masih enggan memberikan penjelasan yang lebih detail terkait dengan revisi nilai KDI di dalam Kepmen ESDM yang dimaksud.
Asal tahu saja, sejumlah kalangan mengkritisi harga KDI yang dinilai terlalu mahal. Alhasil, proses lelang tambang pun menjadi tidak menarik secara keekonomian.
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno berpendapat, nilai KDI memang mesti direvisi. Menurut dia, selain untuk membuat lelang tambang menjadi menarik, mahalnya harga KDI juga menimbulkan ketidakpastian dalam penguasaan wilayah usaha pertambangan.
Sebab, karena blok tambang yang ditawarkan masih dalam tahap eksplorasi, maka perusahaan yang bersangkutan masih harus melalui tahapan studi dan evaluasi hingga nantinya bisa mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Jika izin tidak diberikan, berarti investasi perusahaan untuk KDI bisa menjadi sia-sia.
Apalagi, jamak ditemui bahwa wilayah tambang yang dilelang masih terganjal masalah administrasi atau tersandung kasus hukum, khususnya terkait tumpang tindih wilayah. Sehingga, Djoko menekankan bahwa KDI ini juga terkait dengan kepastian hukum dan investasi.
“Kalau izin tidak diberikan, berarti sudah kehilangan uang untuk pembayaran KDI. Sehingga perlu ada perbaikan peraturannya agar ada kepastian hukum dan jaminan atas investasi,” kata Djoko.
Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko bilang, KDI yang ada saat ini terlalu mahal, mengingat wilayah tambang yang ditawarkan baru pada tahap eksplorasi. “KDI belum reasonable, nilainya tinggi,” kata dia.
Menurut Sukmandaru, KDI harus dikaji ulang agar bisa kompetitif dan menarik bagi investor. Ia berpandangan, hasil dari penawaran prioritas dan lelang tambang yang tidak memuaskan terjadi lantaran KDI yang terlalu mahal.
“Apalagi untuk blok eksplorasi yang notabene peluang gagalnya masih tinggi sekali,” lanjut Sukmandaru.
Saat ini, basis harga KDI bisa mengacu ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM. “Tarif-tarif yang disebutkan (dalam PP) bisa dipakai untuk basis perhitungan KDI,” sambungnya.
Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif juga sepakat bahwa nilai KDI sudah seharusnya dievaluasi. Menurut dia, nilai KDI seharusnya tidak mahal, namun dapat menyeleksi dan memilih investor yg kompeten secara teknis dan finansial.
“Sehingga mampu menarik investor untuk berinvestasi. Sebaiknya ada evaluasi (KDI),” sebutnya.
Sebagai informasi, untuk kewenangan pemerintah pusat dalam WIUPK, saat ini masih ada empat WIUPK yang menunggu untuk dilelang secara terbuka. Keempat WIUPK tersebut merupakan hasil penetapan Kementerian ESDM pada tahun 2018.
Empat WIUPK tersebut adalah WIUPK Suasua (nikel/KDI: Rp 984,85 miliar), WIUPK Latao (nikel/KDI: Rp 414,8 miliar). WIUPK Kolonodale (nikel/KDI: Rp 209 miliar), dan WIUPK Rantau Pandan (batubara/KDI: Rp 352,6 miliar).
KDI dari keempat WIUPK tersebut diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1805.K/30/MEM/2018 tentang Harga KDI dan informasi penggunaan lahan WIUP dan WIUPK periode tahun 2018.
Sementara itu, ada juga tiga WIUPK baru yang ditetapkan pada tahun 2019. Ketiga WIUPK tersebut masih harus melalui proses penawaran prioritas terlebih dulu kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Ketiga WIUPK itu adalah tambang nikel yang terletak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Yakni WIUPK Pongkeru (nilai KDI: Rp 485,2 miliar), WIUPK Lingke Utara (KDI: Rp 78,86 miliar), serta WIUPK Bulubalang (KDI: Rp 143,3 miliar). Pengaturan tersebut berada dalam Kepmen ESDM Nomor 181 K/30/MEM/2019 tentang WIUP dan WIUPK periode tahun 2019.
Pada tahun 2019 lalu, tidak ada satu pun blok tambang WIUPK yang berhasil dilelang. Wafid mengatakan, hal itu terjadi lantaran lelang terganjal masalah administrasi dan kasus hukum, khususnya terkait tumpang tindih wilayah dan perizinan.
“Pada tahun 2019 tidak ada WIUPK yang dilelang dikarenakan terdapat permasalahan hukum yang masih harus diselesaikan terlebih dulu,” tandas Wafid
Sumber – https://industri.kontan.co.id/
Awal tahun biasanya menjadi pertanda musim hujan telah tiba di Indonesia. Sejumlah perusahaan batubara menyiapkan strategi agar kelangsungan produksinya tetap berjalan lancar saat memasuki musim hujan. Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira mengatakan, di atas kertas curah hujan tinggi dapat memengaruhi jam kerja operasional tambang perusahaan. Namun, kondisi seperti ini sudah biasa terjadi di tiap tahun sehingga ADRO dipastikan akan tetap melaksanakan kegiatan operasional. “Kami tetap beroperasi dengan memerhatikan standar keselamatan dan menajemen lingkungan yang tinggi,” ujar dia, Selasa (31/12). Untuk meminimalisir dampak selama musim hujan, ADRO akan memperbaiki drainase di sekitar area tambang sekaligus mengatur daerah tangkapan hujan. Selain itu, perusahaan melakukan penguatan kondisi jalan tambang untuk mendukung kelancaran operasional agar target produksi batubara tetap bisa tercapai. ADRO belum mengumumkan proyeksi produksi batubara di tahun 2020. Sedangkan hingga kuartal tiga tahun lalu, emiten ini sudah memproduksi batubara sebanyak 44,13 juta ton. Sementara itu, PT ABM Investama Tbk (ABMM) akan tetap mengoperasikan tambang batubaranya selama 24 jam kendati musim hujan tiba. Perusahaan ini sudah memiliki prosedur tersendiri untuk menangkal risiko kegiatan produksi batubara manakala hujan terus menerus terjadi. Salah satu upaya ABMM adakah menyediakan banyak pompa air di wilayah operasional tambang. Kemudian, pemeliharaan stockpile atau tempat penampungan batubara saat musim hujan juga ditingkatkan. “Kami juga menyiapkan penambahan lapisan pada jalan tambang untuk meminimalisir dampak hujan,” terang Direktur ABMM Adrian Erlangga, Selasa (31/12). PT United Tractor Tbk (UNTR) yang memiliki lini bisnis pertambangan dan kontraktor tambang batubara memilih untuk menghentikan produksi untuk sementara waktu ketika curah hujan tinggi. Hal ini mengingat kondisi jalan tergolong licin dan area tambang rawan banjir serta longsor. “Produksi akan dioptimalkan saat cuaca kering,” ujar Sekretaris Perusahaan UNTR Sara K. Loebis kepada Kontan, kemarin. Walau demikian, UNTR sebenarnya memiliki jalur khusus tambang yang menggunakan konsep all weather road sejak lama, sehingga jalan tersebut memungkinkan untuk dapat dilintasi di segala kondisi cuaca. Sebelumnya, kontraktor tambang batubara lainnya yakni PT Samindo Resources Tbk (MYOH) juga telah menyiapkan strategi untuk menjaga performa ketika memasuki musim hujan. Kepala Hubungan Investor MYOH Ahmad Zaki Natsir mengatakan, secara historis semester pertama di tiap tahun curah hujan relatif tinggi. Karenanya, MYOH akan memaksimalkan jadwal pemeliharaan alat-alat tambang di paruh pertama tahun 2020. “Harapannya, di semester kedua alat-alat tambang perusahaan dapat beroperasi dengan maksimal,” terang dia saat dihubungi Kontan, 12 Desember lalu. Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli Sumber – https://industri.kontan.co.id/ |
Belakangan ini sudah mulai memasuki musim hujan. Bikers atau pemotor wajib mempersiapkan jas hujan dan sepatu anti air. Dijalan masih banyak ditemui, bikers menggunakan sandal, bukan sepatu, tak sesuai standar keselamatan. Padahal, risiko terjadinya cidera lebih besar ketimbang memakai sepatu, karena kaki tidak semuanya tertutup. Secara aturannya, kata Edo Rusyanto selaku pakar keselamatan berkendara (safety riding), tidak ada yang melarang. Namun, dia ingin menekankan bahwa kesadaran pengguna motor dalam hal keselamatan dan keamanan berkendara harus lebih ditingkatkan. “Tidak ada aturan yang mewajibkan pemakaian sepatu, tetapi juga tidak ada larangan pakai sandal. Hanya soal kesadaran untuk meminimalisir risiko saja,” ujar Edo. Edo juga pernah mengatakan, berkendara motor pakai sepatu atau alas yang menutupi hingga mata kaki akan lebih aman jika terjadi kecelakaan. Lebih tepatnya, kata dia luka atau cidera bisa lebih berkurang, ketimbang menggunakan sandal. “Apalagi kalau hujan, banyak yang menyimpan sepatunya dan mengganti pakai sandal, jelas itu salah.
Sumber – https://www.motorplus-online.com/ |