Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menindak tegas perusahaan tambang yang dinilai lamban dalam merealisasikan pembangunan smelter. Dari informasi yang didapatkan Kontan.co.id, ada empat perusahan tambang yang izin ekspornya diberhentikan sementara. Sedangkan satu perusahaan mendapatkan peringatan terakhir.
Empat perusahaan ini, terdiri dari tiga perusahaan tambang nikel dan satu perusahaan bauksit. Ketiga perusahaan tambang nikel tersebut ialah PT Surya Saga Utama yang berlokasi di Bombana-Sulawesi Tenggara, PT Modern Cahaya Makmur berlokasi di Konawe-Sulawesi Tenggara, dan PT Integra Mining Nusantara di Konawe Selatan-Sulawesi Tenggara.
Satu perusahaan lagi yang dikenai penghentian sementara adalah perusahaan tambang bauksit, PT Lobindo Nusa Persada di Bintan, Kepulauan Riau. Sedangkan perusahaan yang mendapatkan peringatan terakhir adalah PT Toshida Indonesia, yang merupakan perusahaan tambang nikel.
Dari sumber tersebut, tertulis rincian bahwa progres kemajuan fisik di awal dari PT Surya Saga Utama sebesar 39,44%, direncanakan dalam 6/12 bulan ke depan akan ada progres 40,71% atau 45,7%. Namun, realisasi dalam 6/12 bulan masih 39,44%.
PT Modern Cahaya Makmur, kemajuan fisik di awal sebesar 76,38%, rencana 6/12 bulan sebesar 86,58% atau 99,75%, namun realisasi 6/12 bulan kemudian belum ada progres. PT Integra Mining Nusantara, kemajuan fisik di awal sebesar 20%, namun realiasi pada 6/12 bulan masih belum beranjak dari angka awal.
Sedangkan smelter bauksit PT Lobindo Nusa Persada dihentikan karena kemajuan fisik awal 0%, memiliki rencana 6/12 bulan sebesar 1,07% atau 5,84%, namun realisasi pada 6/12 bulan masih tetap diangka yang sama, 0%.
Saat dikonfirmasi, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Susigit, tak menampik hal di atas. “Benar, izinnya dicabut kan karena mereka tidak menyampaikan laporan,” ungkap Bambang saat dihubungi Kontan.co.id pada Minggu (19/8).
Ia menuturkan, tak ada jangka waktu untuk mengubah status tersebut. Sehingga, semuanya bergantung pada komitmen masing-masing perusahaan untuk memenuhi aturan dalam pembangunan smelter dan pelaporan progresnya.
“Pokoknya tergantung dia (perusahaan). Kalau laporannya masuk, nanti kita klarifikasi, kita review. Betul nggak laporannya, valid nggak datanya. Kalau sudah valid ya kita berikan lagi, kalau tidak ya stop. Kalau yang peringatan terakhir kita kasih 45 hari,” imbuh Bambang.
Apabila merujuk pada aturan, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perngusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat dijadikan rujukan. Pada Pasal 55 ayat 5 menyebutkan, kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian harus mencapai paling sedikit 90% dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dihitung secara kumulatif sampai satu bulan terakhir oleh verifikator independen.
Sementara pada Ayat 7 disebutkan bahwa dalam setiap enam bulan, persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian tidak mencapai 90%, maka Kementerian ESDM (Dirjen atas nama Menteri), menerbitkan rekomendasi kepada Dirjen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang sudah diberikan.
“Penghentian sementara dan permanen itu kan sebenarnya sama, itu sama dengan tidak ada kegiatan ekspor. Kalau masih berkegiatan, itu pelanggaran tidak sesuai dengan izin, itu bisa pidana. Untuk sementara cuma itu, belum ada lagi. yang lain sesuai dengan kewajiban,” terang Bambang.
Di sisi yang lain, menurut salah satu pendiri Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I), Jonatan Handojo, pihak Kementerian ESDM seharusnya bisa lebih tegas dalam melakukan pengawasan dan penindakan. Jonatan menyebut, kontrol yang dilakukan secara konsisten dan kontinuitas semestinya bisa meminimalisasi pelanggaran semacam ini.
“Kesalahan ESDM tidak terus dikontrol. Jadi kurang ada monitoring yang mengiringi peraturan yang dibuat. Harusnya ada konsistensi buat kontrol periodik,” ujar Jonatan.
Menurut Jonathan, dengan kurangnya komitmen perusahaan untuk mematuhi pembangunan smelter, hal itu dapat merugikan perusahaan yang telah taat. Apalagi, jika perusahaan tidak patuh terhadap produksi dengan mengangkut barang tambang tanpa mempedulikan kuantitasnya.
“Jelas merugikan dong. Rugi bagi perusahaan yang serius membangun smelter, yang sudah betul betul investasi. Apalagi itu kan nggak renewable, terus diambil ya habis, jadi ini nanti bisa merepotkan Indonesia sendiri karena bahan bakunya diobral,” terang Jonatan.
Karenanya, Jonatan menganjurkan agar berhati-hati dengan perusahaan-perusahaan yang tak serius membuat smelter atau yang tak menaati peraturan. Jonathan kembali menekankan pentingnya penegakkan aturan dan komitmen dalam melakukan pengawasan.
“Kalau asosiasi mengingatkan, mereka bilang, perusahaan kan berbisnis. Kalau ada celah, dikasih izin, ya bodoh kalau tak menggunakan. Jadi, tutup saja pintunya, dengan kontrol,” imbuhnya.
Namun, Bambang Susugit menolak bila dibilang pihaknya tidak optimal dalam menjalankan pengawasan. Menurut Bambang, perlu jelas dulu persepsi dan kriteria mengenai kritikan tersebut.
“Ukurannya harus sama dulu, yang dimaksud kurang itu apa, tidak konsistennya itu apa. Kita samakan dulu kriterianya. Jadi setiap perusahaan itu minimal 6 kali diawasi. Setiap 3 bulan, setiap 6 bulan, setiap mengajukan,” tandas Bambang.
Sumber –Â http://industri.kontan.co.id