Tata Kelola Pertambangan, BPSDM ESDM Gelar Uji Kompetensi Inspektur Tambang

Tata Kelola Pertambangan, BPSDM ESDM Gelar Uji Kompetensi Inspektur TambangBadan Pengembangan Sumber Daya Manusia Energi dan Sumber Daya Mineral (BPSDM ESDM) bersama dengan Direktorat Jenderal Minerba melaksanakan Uji Kompetensi Inpassing Jabatan Fungsional Inspektur Tambang, Senin (27/8/2018).

“Uji kompetensi ini merupakan tanggungjawab BPSDM ESDM sesuai dengan amanat Permen Nomor 56 Tahun 2017. Kegiatan hari ini diantaranya ujian inpassing online dan wawancara, selamat mengikuti rangkaian acara yang sudah disusun semoga dapat berjalan dengan baik dan lancar,” ujar Zainal Arifin, Sekretaris BPSDM ESDM saat pembukaan.

Uji kompetensi inpassing ini tidak hanya dilakukan di Jakarta, tapi juga di seluruh Indonesia.

Untuk Jakarta, peserta berjumlah 25 orang dan 3 penguji berasal dari Direktorat Teknik dan Lingkungan, Direktorat Jendral Minerba yaitu Supriyanto, S.T., M.T., Dr. Lana Saria, S.Si., M.Si., dan Ahmad Syauqi, S.T., M.Ak.

Selain Jakarta, pada tanggal 27 sampai 28 Agustus 2018, ujian kompetensi juga dilakukan di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau dan Riau.

Daerah lain seperti Jambi, Sumatera Selatan, Lampung dan daerah lain di Indonesia rencananya akan melakukan ujian kompetensi pada tanggal 30 Agustus sampai 28 September 2018.

Perkiraan total akhir peserta berjumlah 344 orang yang tersebar di 32 propinsi.

Penyesuaian (Inpassing) Jabatan Fungsional bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) salah satunya bertujuan untuk pengembangan karir dan profesionalisme inspektur tambang profesional Inspektur Tambang guna peningkatan pengawasan dan tata-kelola pertambangan secara baik dan benar. (*)

Sumber – http://www.tribunnews.com

 

Pengamat: Ketidakpastian sektor tambang & energi jadi penghambat realisasi investasi

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Pertama di Indonesia Senin (2/5) Presiden Jokowi meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) I di Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, yang berkapasitas 75 MW. Pengembang energi terbarukan ini, patungan UPC Renewable Asia dan PT Binatek Energi Terbarukan, menanamkan investasi US$ 150 juta. Setelah PLTB Sidrap I, mereka berencana mengembangkan PLTB Sidrap II, Tanah Laut, dan Ciletuh, Sukabumi.foto/KONTAN/Ardian Taufik Gesuri

Realisasi investasi di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) sepanjang semester I-2018 dinilai masih minim. Untuk itu, Kementerian ESDM perlu ekstra kerja keras untuk mendorong realisasi investasi di semester II tahun ini.

Menurut Eva A. Djauhari, pengamat energi dan pertambangan dari Armila & Rako, salah satu sebabnya ialah soal ketidakpastian di sektor pertambangan dan energi. Misalnya saja, perpanjangan kontrak dan perubahan dari sistem Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) atau Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) juga menjadi alasan berinvestasi di sektor pertambangan.

“Banyak ketidakpastian, membuat pelaku usaha ragu-ragu. Kami mengharapkan ada perbaikan kebijakan, kepastian hukum, dan efisiensi. Mengingat industri ini sangat capital intensive, maka mesti ada jaminan bahwa bisnis bisa berjalan dalam jangka waktu ke depan,” kata Eva, Rabu (22/8).

Berdasar data dari Kementerian ESDM, realisasi investasi sektor ESDM semester I-2018 baru mencapai US$ 9,48 miliar. Dengan realisasi sebesar US$ 9,48 miliar, berarti baru mencapai sekitar 25,4% dari nilai yang ditargetkan.

Rincinya, realisasi investasi migas sebesar US$ 5,11 miliar, realisasi investasi kelistrikan US$ 2,83 miliar, realisasi investasi minerba US$ 790 juta, dan realisasi investasi energi baru terbarukan dan konservasi energi US$ 750 juta. Padahal target investasi sektor ESDM pada tahun ini sebesar US$ 37,2 miliar. Angka ini pun lebih rendah dari target awal yang semula dipatok US$ 50,12 miliar.

Target investasi sebesar US$ 37,2 miliar terdiri dari investasi migas US$ 16,8 miliar, investasi ketenagalistrikan sebesar US$ 12,2 miliar, investasi mineral dan batubara (minerba) sebesar US$ 6,2 miliar, dan investasi energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) sebesar US$ 2 miliar.

Eva mengingatkan, investasi di bidang energi khususnya migas tak hanya terus meleset dari target, tapi juga keseluruhan investasi secara year on year juga terus mengalami penurunan sejak 2015. Masih banyaknya keraguan investor terhadap regulasi, lanjut Eva, membuat pembiayaan proyek oleh lembaga-lembaga keuangan semakin tidak menarik.

Tak jauh beda dengan pertambangan, iklim investasi di energi, utamanya kelistrikan juga sulit menarik investasi. Hal ini disebabkan masih banyaknya regulasi yang kurang sesuai namun belum direvisi secara tuntas.

Misalnya, kata Eva, Permen (Peraturan Menteri) No.10 Tahun 2017 tentang pokok-pokok dalam perjanjian jual-beli tenaga listrik (PJBL) yang kemudian diubah dengan Permen Np.49 Tahun 2017. Selain itu ada pula Permen No.48 Tahun 2017 tentang pengawasan pengusahaan sektor energi dan sumber daya mineral. Utamanya, pasal 11 ayat 1 sampai 3 terkait pengalihan saham sebelum commercial operation date. Terakhir ialah Permen No.50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.

Sumber – https://industri.kontan.co.id

ESDM: Penghentian sementara izin ekspor tergantung komitmen perusahaan

Smelter Nikel Sulawesi Mining Investement (SMI) yang baru diresmikan oleh Presiden Jokowi di Morowali, Sulewesi Tenggara, Jumat (29/5/2015). Selain memperbesar tenaga kerja dimana SMI aakan menyedot sekitar 12 ribu tenaga kerja juga negara mendapat pemasukan besar dari pengolahan biji Nikel menjadi barang setengah jadi atau melarang ekport produk bukan biji mentah. WARTA KOTA/HENRY LOPULALAN

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menindak tegas perusahaan tambang yang dinilai lamban dalam merealisasikan pembangunan smelter. Dari informasi yang didapatkan Kontan.co.id, ada empat perusahan tambang yang izin ekspornya diberhentikan sementara. Sedangkan satu perusahaan mendapatkan peringatan terakhir.

Empat perusahaan ini, terdiri dari tiga perusahaan tambang nikel dan satu perusahaan bauksit. Ketiga perusahaan tambang nikel tersebut ialah PT Surya Saga Utama yang berlokasi di Bombana-Sulawesi Tenggara, PT Modern Cahaya Makmur berlokasi di Konawe-Sulawesi Tenggara, dan PT Integra Mining Nusantara di Konawe Selatan-Sulawesi Tenggara.

Satu perusahaan lagi yang dikenai penghentian sementara adalah perusahaan tambang bauksit, PT Lobindo Nusa Persada di Bintan, Kepulauan Riau. Sedangkan perusahaan yang mendapatkan peringatan terakhir adalah PT Toshida Indonesia, yang merupakan perusahaan tambang nikel.

Dari sumber tersebut, tertulis rincian bahwa progres kemajuan fisik di awal dari PT Surya Saga Utama sebesar 39,44%, direncanakan dalam 6/12 bulan ke depan akan ada progres 40,71% atau 45,7%. Namun, realisasi dalam 6/12 bulan masih 39,44%.

PT Modern Cahaya Makmur, kemajuan fisik di awal sebesar 76,38%, rencana 6/12 bulan sebesar 86,58% atau 99,75%, namun realisasi 6/12 bulan kemudian belum ada progres. PT Integra Mining Nusantara, kemajuan fisik di awal sebesar 20%, namun realiasi pada 6/12 bulan masih belum beranjak dari angka awal.

Sedangkan smelter bauksit PT Lobindo Nusa Persada dihentikan karena kemajuan fisik awal 0%, memiliki rencana 6/12 bulan sebesar 1,07% atau 5,84%, namun realisasi pada 6/12 bulan masih tetap diangka yang sama, 0%.

Saat dikonfirmasi, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Susigit, tak menampik hal di atas. “Benar, izinnya dicabut kan karena mereka tidak menyampaikan laporan,” ungkap Bambang saat dihubungi Kontan.co.id pada Minggu (19/8).

Ia menuturkan, tak ada jangka waktu untuk mengubah status tersebut. Sehingga, semuanya bergantung pada komitmen masing-masing perusahaan untuk memenuhi aturan dalam pembangunan smelter dan pelaporan progresnya.

“Pokoknya tergantung dia (perusahaan). Kalau laporannya masuk, nanti kita klarifikasi, kita review. Betul nggak laporannya, valid nggak datanya. Kalau sudah valid ya kita berikan lagi, kalau tidak ya stop. Kalau yang peringatan terakhir kita kasih 45 hari,” imbuh Bambang.

Apabila merujuk pada aturan, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perngusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat dijadikan rujukan. Pada Pasal 55 ayat 5 menyebutkan, kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian harus mencapai paling sedikit 90% dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dihitung secara kumulatif sampai satu bulan terakhir oleh verifikator independen.

Sementara pada Ayat 7 disebutkan bahwa dalam setiap enam bulan, persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian tidak mencapai 90%, maka Kementerian ESDM (Dirjen atas nama Menteri), menerbitkan rekomendasi kepada Dirjen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang sudah diberikan.

“Penghentian sementara dan permanen itu kan sebenarnya sama, itu sama dengan tidak ada kegiatan ekspor. Kalau masih berkegiatan, itu pelanggaran tidak sesuai dengan izin, itu bisa pidana. Untuk sementara cuma itu, belum ada lagi. yang lain sesuai dengan kewajiban,” terang Bambang.

Di sisi yang lain, menurut salah satu pendiri Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I), Jonatan Handojo, pihak Kementerian ESDM seharusnya bisa lebih tegas dalam melakukan pengawasan dan penindakan. Jonatan menyebut, kontrol yang dilakukan secara konsisten dan kontinuitas semestinya bisa meminimalisasi pelanggaran semacam ini.

“Kesalahan ESDM tidak terus dikontrol. Jadi kurang ada monitoring yang mengiringi peraturan yang dibuat. Harusnya ada konsistensi buat kontrol periodik,” ujar Jonatan.

Menurut Jonathan, dengan kurangnya komitmen perusahaan untuk mematuhi pembangunan smelter, hal itu dapat merugikan perusahaan yang telah taat. Apalagi, jika perusahaan tidak patuh terhadap produksi dengan mengangkut barang tambang tanpa mempedulikan kuantitasnya.

“Jelas merugikan dong. Rugi bagi perusahaan yang serius membangun smelter, yang sudah betul betul investasi. Apalagi itu kan nggak renewable, terus diambil ya habis, jadi ini nanti bisa merepotkan Indonesia sendiri karena bahan bakunya diobral,” terang Jonatan.

Karenanya, Jonatan menganjurkan agar berhati-hati dengan perusahaan-perusahaan yang tak serius membuat smelter atau yang tak menaati peraturan. Jonathan kembali menekankan pentingnya penegakkan aturan dan komitmen dalam melakukan pengawasan.

“Kalau asosiasi mengingatkan, mereka bilang, perusahaan kan berbisnis. Kalau ada celah, dikasih izin, ya bodoh kalau tak menggunakan. Jadi, tutup saja pintunya, dengan kontrol,” imbuhnya.

Namun, Bambang Susugit menolak bila dibilang pihaknya tidak optimal dalam menjalankan pengawasan. Menurut Bambang, perlu jelas dulu persepsi dan kriteria mengenai kritikan tersebut.

“Ukurannya harus sama dulu, yang dimaksud kurang itu apa, tidak konsistennya itu apa. Kita samakan dulu kriterianya. Jadi setiap perusahaan itu minimal 6 kali diawasi. Setiap 3 bulan, setiap 6 bulan, setiap mengajukan,” tandas Bambang.

Sumber – http://industri.kontan.co.id

ESDM setop ekspor lima produsen mineral mentah

smelter pertambangan mineral nikel nickel PT Vale Indonesia Tbk INCO di Sorowako, Sulawesi Selatan. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai beringas. Yakni dengan menindak tegas perusahaan tambang yang lamban dalam merealisasikan pembangunan pengolahan tambang atau smelter. Ada lima perusahan tambang yang izin ekspornya distop.

Dari lima perusahaan itu, satu perusahaan bauksit dan empat perusahaan nikel. Mereka antara lain: PT Toshida Indonesia, PT Surya Saga Utama, Modem Cahaya Makmur, Intergra Mining dan Lobindo. (lihat tabel). Kelima perusahaan itu sudah mendapat rekomendasi ekspor mineral sejak setahun lalu tapi hingga kini belum membangun smelter. Alhasil, pemerintah mencabut izin ekspor mereka.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Bambang Susigit mengaku sudah mengirimkan tabel rincian perusahaan yang izin ekspornya dicabut. “Benar, izinnya dicabut karena mereka tak menyampaikan laporan,” tandas Bambang kepada KONTAN, Minggu (19/8).

Ia menuturkan, tak ada jangka waktu untuk mengubah status tersebut. Walhasil, kini semuanya bergantung komitmen masing-masing perusahaan untuk memenuhi aturan dalam pembangunan smelter dan pelaporan perkembangan proyeknya.

“Pokoknya tergantung dia (perusahaan). Kalau laporannya masuk, kita klarifikasi dan review. Yakni betul atau tidaknya laporan mereka. Jika valid, izin ekspor akan kami berikan. Jika tidak, ya stop. Kalau peringatan terakhir kita kasih 45 hari, jelas Bambang panjang lebar.

Merujuk Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perngusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Pasal 55 ayat 5 aturan tersebut menyebutkan, kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian harus mencapai paling sedikit 90% dari rencana kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian yang dihitung secara kumulatif sampai satu bulan terakhir oleh verifikator independen.

Lebih lanjut, ayat 7 disebutkan bahwa dalam setiap enam bulan, persentase kemajuan fisik pembangunan fasilitas pemurnian tidak mencapai 90%, maka Kementerian ESDM (Dirjen atas nama Menteri), menerbitkan rekomendasi kepada Dirjen yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan luar negeri untuk mencabut persetujuan ekspor yang sudah diberikan.

Penghentian sementara dan permanen sebenarnya sama. Yakni tak ada kegiatan ekspor. Kalau masih ada, itu pelanggaran dengan sanksi pidana,” ujarnya.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I), Jonatan Handojo menyatakan, Kementerian ESDM seharusnya bisa lebih tegas dalam melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran aturan.

Salah satunya, kata Jonatan adalah kontrol yang konsisten dan kontinuitas sehingga bisa meminimalisasi pelanggaran. “Kesalahan ESDM tidak terus dikontrol. Jadi kurang ada monitoring yang mengiringi peraturan yang dibuat. Harusnya ada konsistensi buat kontrol periodik,” ujar Jonatan.

Dampaknya, kata Jonathan adalah kurangnya komitmen perusahaan untuk mematuhi pembangunan smelter. Ini merugikan perusahaan yang taat dalam kewajiban membangun smelter. Apalagi, jika perusahaan tidak patuh terhadap produksi dengan mengangkut barang tambang tanpa mempedulikan kuantitasnya.

“Rugi bagi perusahaan yang serius membangun smeltel. Mereka betul betul investasi. Apalagi itu kan nggak reneweble, terus diambil ya habis, jadi ini bisa merepotkan ikita sendiri karena bahan bakunya diobral,” terang Jonatan.

Untuk itu, Pemerintah harus berhati-hati dengan perusahaan-perusahaan yang tak serius membuat smelter atau yang tak menaati peraturan.

Menurutnya, penegakkan hukum penting untuk menjamin kepastian investasi. Jika pemerintah teledor, pebisnis akan terus menerus memanfaatkan celah. “Jika terus dikasih izin, bodoh jika tak menggunakan,” ujarnya.

Adapun Bambang Susugit menolak bila dibilang pihaknya tidak optimal dalam menjalankan pengawasan. Menurut Bambang, perlu jelas persepsi dan kriteria mengenai kritikan itu. “Ukurannya harus sama dulu, yang dimaksud kurang itu apa, tidak konsistennya itu apa. Kita samakan dulu kriterianya. Jadi setiap perusahaan itu minimal 6 kali diawasi. Setiap tiga bulan, setiap enam bulan, setiap mengajukan, tandas Bambang.

Sumber – http://industri.kontan.co.id

United Tractors mengakuisisi tambang Martabe

Aktivitas pesiapan lokasi dan pembangunan pabrik pengolahan emas-perak G-Resources Martabe di Aek Pining, Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (14/1/2012). Proyek Martabe yang telah memasuki tahap 75 persen penyelesaian ini akan mulai beroperasi pada akhir Maret 2012 dengan target produksi 250.000 ounces emas dan 2,5 juta ounces perak per tahun. KOMPAS/PRIYOMBODO

Kabar rencana PT United Tractors Tbk (UNTR) mengakuisisi tambang Martabe akhirnya jelas. UNTR akan mengakuisisi 95% saham PT Agincourt Resources, pemilik tambang emas Martabe di Sumatra Utara.

Akuisisi itu dilakukan melalui anak usaha UNTR, PT Danusa Tambang Nusantara. Nilai transaksi tersebut mencapai US$ 917,9 juta, yang dihitung berdasarkan nilai perusahaan alias enterprise value sebesar US$ 1,2 miliar.
Sebagai bagian dari transaksi, UNTR dan anaknya, PT Pama Persada Nusantara, bakal memberikan pinjaman kepada Agincourt maksimum sebesar US$ 325 juta. Dana tersebut akan digunakan Agincourt untuk membayar pinjaman perusahaan (refinancing).

Sara Loebis, Sekretaris Perusahaan UNTR, mengatakan, akuisisi ini merupakan upaya diversifikasi UNTR ke bisnis pertambangan lainnya, di luar batubara. “Tujuan investasi ini untuk mengembangkan unit bisnis pertambangan UNTR yang di dalamnya sudah ada tambang batubara dan tambang emas,” ujar Sara pada Kontan.co.id, Kamis (9/8).

Dana akuisisi akan dirogoh dari kocek internal UNTR dan pinjaman bank. Sayangnya, Sara enggan menjelaskan berapa porsi pinjaman yang akan dibutuhkan untuk akuisisi tersebut.

Pasca akusisi, 95% saham Agincourt akan dimiliki oleh PT Danusa Tambang Nusantara dan 5% sisanya dimiliki PT Artha Nugraha Agung. Danusa merupakan anak usaha yang dibentuk UNTR dan Pama. Transaksi ini berpotensi meningkatkan jumlah aset UNTR sebesar 5% dari sebelumnya Rp 84 triliun per Maret 2018, jadi Rp 88,66 triliun.

Prospek menarik

William Hartanto, analis Panin Sekuritas, mengatakan, akuisisi ini memberikan potensi bagi UNTR untuk menjala pemasukan dari lini bisnis selain sektor alat berat dan tambang batubara. “Efeknya bakal positif untuk jangka panjang,” ujar William. Saat ini UNTR sudah memiliki konsesi tambang emas lewat PT Sumbawa Jutaraya (SJR) yang diakuisisi pada 2015.

Stefanus Darmagiri, analis Danareksa Sekuritas, dalam risetnya kemarin, mengatakan, berdasarkan laporan keuangan Agincourt tahun lalu, transaksi ini mencerminkan EV/EBITDA 3,7 kali dan price earning ratio (PER) 6,4 kali.

Menurut dia, nilai akuisisi tambang Martabe cukup menguntungkan UNTR. Apalagi, sebelumnya perusahaan asal Tiongkok, China’s Pengxin International Mining Co Ltd, sempat menawar tambang ini senilai US$ 1,5 miliar.

Stefanus mengatakan, akuisisi ini bakal meningkatkan laba bersih UNTR. Apalagi, tambang Martabe memiliki cadangan cukup besar. Hingga akhir 2017, basis cadangan tambang emas Martabe tercatat sebesar 4,7 juta ons emas dan 36 juta onsperak.

Dengan pertimbangan itu, Stefanus dan William merekomendasikan beli saham UNTR. Target harga dari Stefanus Rp 39.000. William memberi target Rp 37.000–Rp 40.000 hingga akhir tahun.

Sumber : https://investasi.kontan.co.id

Freeport kembali mendapat perpanjangan izin usaha pertambangan khusus

Ilustrasi Opini - Hajat Memerdekan Freeport

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diberlakukan sementara kepada PT Freeport Indonesia selama satu bulan kedepan.

Dengan begitu, otomatis kegiatan ekspor konsentrat Freeport Indonesia masih bisa berlangsung. IUPK sementara Freeport Indonesia tersebut seharusnya sudah kadaluarsa pada 04 Juli kemarin. 

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono merevisi Surat Keputusan 413 dengan memeperpanjang waktunya sampai 31 Juli ini. Dengan alasan, menunggu penyelesaian empat poin negosiasi dengan Freeport Indonesia.

Tapi, sampai sejauh ini, empat poin negosiasi yang harus diselesaikan, seperti divestasi saham 51%, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), stabilitas investasi dan perpanjangan izin usaha sampai tahun 2041 itu, belum juga selesai.

Lantaran empat poin itu belum selesai. Maka, IUPK permanent belum bisa diberikan kepada Freeport Indonesia. Bambang bilang, Freeport Indonesia sudah mengajukan perpanjangan IUPK sementaranya. Saat ini, pihaknya tengah mengkaji perpanjangan IUPK sementara tersebut.

“Mungkin perpanjangannya sebulan. Tapi, terserah pak Menteri (Ignasius Jonan). Kami masih evaluasi,” terangnya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (30/7).

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam acara Head of Agreement (HoA) dengan Freeport Indonesia, mengatakan bahwa pihaknya baru akan mengeluarkan IUPK kepada Freeport apabila negosiasi empat poin itu sudah selesai. Khususnya berkenaan dengan pengambilan divestasi saham 51%.

Sementara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) selaku holding industri pertambangan yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengambil divestasi saham 51%, sampai saat ini belum juga berhasil memperolehnya. “Kita minta dua bulan (selesai empat poin negosiasi) di HoA, makanya ini kan dua bulan perpanjangnya,” tandasnya.

Sumber – www.kontan.co.id

Melihat Teknologi Tambang Timah Ramah Lingkungan di Bangka

Melihat Teknologi Tambang Timah Ramah Lingkungan di BangkaPerspektif pertambangan yang merusak lingkungan sedikit demi sedikit diluruskan oleh PT Timah (TINS) Tbk. Salah satu upayanya adalah dengan inovasi teknologi.

Selain memperbarui alat-alat produksinya, dengan teknologi juga bertujuan memaksimalkan target produksi. Salah satu inovasi alat tambang yang dilakukan adalah tambang kecil terintegrasi (TKT). 

TKT merupakan teknologi yang digunakan dalam pola penambangan bawah permukaan atau biasa disebut sub surface mining, yakni penambangan semprot yang dilakukan di bawah tanah.

 Sub surface ini teknologi yang sudah dirancang sejak 2012 penelitian dan uji coba, dan kita coba operasional tahun ini,” kata Kepala Divisi Pengkajian dan Pengembangan PT Timah Ichwan Azwardi Lubis di kantor pusat Timah, Pangkalpinang, Bangka, Selasa (31/7/2018).

Ichwan menjelaskan, penggunaan teknologi baru ini juga menjadi solusi untuk menyudahi tindakan penambangan ilegal yang marak terjadi di Bangka. Di mana, masyarakat lokal menggunakan istilah ‘kolong’ untuk mengeruk timah dari perut bumi.

Kolong yang dimaksud adalah mengeruk timah dengan jumlah yang tidak ditentukan. Timah yang didapatkan pun masih tercampur dengan tanah, pasir, dan batu. Praktik kolong ini jauh dari perlengkapan keselamatan.

Melihat Teknologi Tambang Timah Ramah Lingkungan di Bangka 2“Kenapa teknologi ini diperlukan, dinamika pertambangan timah ini dinamis, berubah-berubah, dari tahun 2000 dari sentral ke otonomi itu banyak perubahan regulasi, begitu ada otonomi maka daerah bikin aturan sendiri-sendiri, itu yang membuat kita sulit kendalikan proses bisnis,” ujar dia.

Pada saat daerah memiliki aturan masing-masing soal penambangan timah, maka banyak masyarakat yang mengeruk dengan bebas. Padahal, jika mengacu aturan yang lama atau masih diatur oleh pusat, timah itu barang strategis alias hanya diproduksi oleh perusahaan pelat merah.

“Jadi teknologi yang dibuat harus bisa selesaikan konflik dengan masyarakat,” papar dia.

Sumber – www.finance.detik.com

Indonesia Perlu Merapikan Regulasi Investasi Energi

Indonesia Perlu Merapikan Regulasi Investasi EnergiInternasional Energi Assocition (IEA) mengungkapkan pemerintah harus menjaga kepastian investasi di sektor energi. Hal tersebut agar semakin banyak investor yang berinvestasi di Indonesia.

Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol menjelaskan regulasi yang lebih pasti membuat investor lebih yakin. Pasalnya investasi energi menjadi isu krusial di negeri ini dengan melihat kebutuhan masyarakat.

“Investasi di Indonesia menjadi penting untuk menjawab kebutuhan dan juga masalah keberlanjutan,” ujarnya di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Senin, 16 Juli 2018.

Ia menambahkan Indonesia dengan populasi hampir 10 persen dari global dapat juga unggul dalam invetasi energi. “Yang diperlukan di daerah ini invetasi. Indonesia mencangkul 10 persen populasi global, tetapi kurang dari 10 persen investasi global,” tambahnya.

Selain itu, Energi Baru Terbarukan (EBT) juga menjadi investasi yang cukup menarik untuk dikembangkan. Terlebih langkah yang diambil pemerintah Indonesia dengan target elektrifikasi menjadi langkah yang baik untuk bisa mengembangkan teknologi bersih.

“EBT semakin murah di dunia, ini bisa mengurangi polusi dan berat fosil impor, tetapi butuh kebijakan yang sudah terbukti untuk mengunci pengurangan ongkos,” pungkasnya.

Sumber – http://ekonomi.metrotvnews.com

Walau harga batubara naik, Adaro Energy memilih tidak meningkatkan produksi

FILE PHOTO: The logo of PT Adaro Energy as seen at PT Adaro Energy headquarters in Jakarta, Indonesia, October 20, 2017. REUTERS/Beawiharta/File Photo

Harga batubara yang menggeliat tidak membuat PT Adaro Energy (ADRO) berencana untuk meningkatkan produksi. Head of Corporate Communication PT Adaro Energy, Febriati Nadira mengatakan, pihaknya fokus untuk menjaga cadangan batubara dalam jangka panjang guna pengembangan bisnis pembangkit listrik ke depan.

Adaro Energy masih memasang target produksi sebanyak 54 juta ton hingga 56 juta ton tahun ini. “Hingga saat ini target produksi tetap, sesuai panduan 2018 yaitu sebesar 54 juta ton hingga 56 juta ton,” kata Febriati kepada Kontan.co.id, Minggu (15/7).

Tercatat, hingga kuartal I-2018, Adaro Energy memproduksi sebanyak 10,95 juta ton batubara. Jumlah ini turun dari produksi batubara pada kuartal IV-2017 sebesar 12,43 juta ton. Kondisi disebabkan karena kondisi cuaca yang buruk.

Untuk penjualannya, di tiga bulan pertama tahun ini Adaro Energy memasarkan sebanyak 22% batubara ke pasar domestik. Sedangkan untuk pasar ekspor ke Jepang porsinya mencapai 15%. 

Jepang menjadi pelanggan terbesar kedua selama kuartal I-2018 lantaran ada peningkatan permintaan dari PLTU selama musim dingin. Selain itu, Adaro Energy juga menjual batubara ke Korea, China, Malaysia, India, Hong Kong, Taiwan, Spanyol, Filipina, serta Thailand.

Hingga kuartal I-2018, Adaro Energy membukukan pendapatan sebesar US$ 763,96 juta atau naik 5,14% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 726,55 juta.

Seiring naiknya pendapatan, beban pokok pendapatan juga meningkat 5,62% menjadi US$ 537,58 juta. Untuk laba bersih, terpantau menurun 23,37% menjadi US$ 74,43 juta.

Sumber – https://industri.kontan.co.id

Perusahaan batubara siap menggenjot produksi

Kapal tongkang pengangkut batu bara saat melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (7/3). Kementerian ESDM mengatakan Harga Batu Bara Acuan (HBA) Maret 2018 mengalami kenaikan 1,16 persen, dari US$100,69 per ton pada bulan Februari 2018 menjadi US$101,86 per ton dan menjadi HBA tertinggi sejak Mei 2012. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc/18.

Harga Batubara Acuan (HBA) pada Juli tahun ini kembali naik 8,3% menjadi US$ 104,65 per ton. Pada bulan sebelumnya, HBA di level US$ 96,61 per ton. Kondisi ini membuat beberapa perusahaan batubara menaikkan produksi sesuai harapan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Juru Bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Agung Pribadi mengatakan kenaikan harga batubara domestik karena harga batubara di Tiongkok meningkat. Membaiknya harga batubara juga didorong kenaikan harga minyak mentah. “Di saat yang sama, ada kenaikan permintaan batubara di Eropa Utara dan China,” ungkap dia kepada Kontan.co.id, Kamis (5/7).

Selain itu, kata Agung, meningkatnya volume permintaan dibandingkan ketersediaan stok batubara dunia pada Juni 2018 disebabkan produsen di Australia tidak mampu meningkatkan produksi. Misalnya, ekspor batubara dari tiga ekportir utama ke Asia cenderung datar pada periode Januari- Juni 2018.

Kenaikan harga batubara tentunya menjadi berkah bagi perusahaan pertambangan. Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Arviyan Arifin menyebutkan PTBA siap menambah produksi sebesar 10% pada semester kedua tahun ini.

Adapun angka 10% itu merupakan insentif yang ditetapkan oleh pemerintah yang tercantum dalam Keputusan Menteri (Kepmen) No. 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batubara Untuk Penyediaan Tenaga listrik Untuk Kepentingan Umum.

Perusahaan pertambangan bisa mendapatkan insentif itu apabila memenuhi kewajiban dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sebanyak 25% kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). “Ya betul kami akan tingkatkan,” tandas Arviyan, Kamis (5/7).

PTBA menargetkan produksi batubara pada tahun ini sebesar 25,54 juta ton. Target produksi tahun ini naik sekitar 17% dibandingkan rencana produksi batubara tahun lalu yang sebesar 21,92 juta ton.

PT Arutmin Indonesia pun demikian. Perusahaan ini tengah mengevaluasi untuk menaikkan produksi 10%. CEO Arutmin Indonesia, Ido Hotna Hutabarat menyatakan, sesuai RKAB tahun 2018, produksi batubara ditargetkan mencapai 29 juta ton.

Hanya saja, peningkatan produksi itu dilihat dari kesiapan alat-alat konstruksi yang dimiliki. “Ada kemungkinan peningkatan 10% tahun ini. Kami akan lihat kesiapan alatnya dulu, karena problem kita itu alat-alatnya,” terang dia.

Jika kesedian alat tidak terpenuhi, Arutmin akan memesan alat yang sedianya baru bisa diberikan enam bulan setelah pemesanan. Sementara kebutuhan alat untuk penambahan produksi 10% itu akan menambah dua unit dengan kapasitas 2 juta ton.

Sementara Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk, Febriati Nadira, mengatakan hingga saat ini target produksi tetap, sesuai panduan 2018 yaitu sebesar 54 juta – 56 juta ton.

Membaiknya harga batubara tidak mendorong Adaro untuk menaikkan produksi. “Karena Adaro fokus untuk menjaga cadangan batubara dalam jangka panjang demi pengembangan bisnis pembangkit listrik ke depan,” pungkas dia kepada Kontan.co.id, Kamis (5/7).

 

Sumber – https://industri.kontan.co.id/