Pengusaha batubara kembali meminta supaya revisi keenam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara bisa segera diterbitkan. Revisi PP tersebut akan dibarengi dengan terbitnya PP tentang perpajakan dan penerimaan negara dari bidang usaha batubara. Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir mengatakan, paket regulasi tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat investasi di bidang usaha emas hitam ini. Tak hanya itu, revisi PP 23/2010 juga terkait dengan kepastian hukum dalam kelangsungan sejumlah pelaku usaha raksasa yang tergolong dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama. Sebab, salah satu pokok dalam revisi PP 23/2010 adalah tentang perpanjang izin dan peralihan status dari PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebelumnya, Pemerintah bahkan sempat menargetkan paket kebijakan tentang batubara ini bisa terbit akhir tahun 2018 atau awal 2019. “Ini krusial sekali. Urusan Pemilu sudah selesai, bola balik lagi ke pemerintah, semuanya ingin kepastian,” kata Pandu beberapa hari lalu. Pandu juga menekankan, di tengah tekanan harga dan pasar batubara global, ketidakpastian hukum ini bisa berdampak negatif terhadap investasi di sektor batubara. “Yang terjadi sekarang investasi stuck, lagi pusing gara-gara ini diambangin,” imbuhnya. Ia pun mengatakan, regulasi tentang kejelasan status perizinan ini diperlukan mengingat sudah ada satu pemegang PKP2B yang masa kontraknya sudah berakhir. serta, satu PKP2B lainnya akan segera mengakhir kontrak pada tahun depan. “Nah itu bagaimana? ini nggak bagus, jadi memang harus diperjelas,” tegasnya. Seperti diketahui, ada tujuh PKP2B yang kontaknya akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan. Yakni PT Arutmin Indonesia (1 November 2020), PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025). Sedangkan satu PKP2B, yakni PT Tanito Harum kontraknya sudah berakhir pada 14 Januari 2019 lalu. Luas Wilayah: PKP2B vs BUMNMenurut Pandu, pada paket regulasi tersebut, pelaku usaha tidak lagi mempersoalkan substansi dalam draft PP perpajakan dan penerimaan negara. “Soal pajak aku rasa udah clear, baik buat negara dari sisi pendapatan. Member juga nggak masalah,” akunya. Namun, ada satu persoalan yang mengganjal dalam revisi PP 23/2010. Yakni soal luas wilayah dan penguasaan negara dalam pengelolaan lahan tambang milik PKP2B. Sebagaimana yang pernah Kontan.co.id beritakan sebelumnya, Kementerian BUMN meminta supaya revisi PP tersebut bisa mengakomodasi penguatan peran BUMN. Serta, luas wilayah tambang PKP2B yang memperoleh perpanjangan tidak melebihi 15.000 hektare (ha). “Kan polemiknya jelas, jadi poinnya is it better of private sector or the hand of the state?” ungkap Pandu. Dalam hal ini, Pandu menilai pengelolaan oleh sektor swasta bisa lebih efisien. Sebab, pengelolaan oleh BUMN mesti memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan operasional yang dimiliki untuk tetap menjaga tingkat produksi. Lebih lanjut, Pandu pun membuat perbandingan dengan sejumlah blok migas terminasi yang pengelolaannya diberikan kepada Pertamina. “Kita belajar juga soal pengalihan dari sisi oil and gas, jadi perlu objective,” katanya. Pandu mengingatkan, selain untuk ketersediaan pasokan energi, menjaga tingkat produksi juga perlu karena akan berdampak terhadap kelangsungan ekonomi dan penerimaan negara. “Kalau produksi menurun, royalty menurun, kita lihat economy benefit-nya. Misalnya punya 100% dari 10 atau 40% dari 1.000, pilih mana?” ungkap Pandu. Mengenai luas wilayah dan pengelolaan lahan tambang PKP2B ini, sebelumnya KONTAN juga telah memberitakan keinginan serupa dari tiga bos tambang batubara raksasa. Yakni Chief Executive Officer PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Mochamad Kurnia Ariawan, dan Direktur Utama Adaro Energy Garibaldi Thohir. Ketiganya kompak, berharap supaya setelah ada perpanjangan izin dan perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK, luas lahan tambang yang dikelola bisa sama seperti yang ada saat ini. “Ya keinginan kita bisa perpanjangan eksisting,” kata Ido Hutabarat. Menurut Pandu, saat ini semuanya berpulang pada political will pemerintah. Hanya saja, Pandu meminta kepada Kementerian ESDM sebagai leading sector, bisa menunjukkan sikap yang jelas terhadap revisi PP 23/2010 tersebut. “Ini lebih ke political will saja, mana yang terbaik buat negara. Tapi dari sisi (Kementerian) ESDM harus tegas, rekomendasi dan posisinya,” tandas Pandu. Sumber – https://industri.kontan.co.id |
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mengejar target hilirisasi mineral melalui pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Seiring dengan berakhirnya masa relaksasi ekspor komoditas mineral mentah, ditargetkan akan ada 57 smelter yang sudah beroperasi pada tahun 2022.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, 57 smelter yang ditargetkan tersebut adalah yang berlisensi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. “Harusnya 60 ya, 57 khusus dari ESDM, 3 izin IUI (Izin Usaha Industri dari Kementerian Perindustrian),” kata Yunus kepada Kontan.co.id, Jum’at (10/5).
Namun, hingga tahun 2018, smelter yang sudah bisa beroperasi baru separuh dari target tersebut. Sampai dengan tahun lalu, baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi.
Sehingga, direncanakan ada tambahan 30 smelter dalam empat tahun ke depan. Rincinya, ditargetkan akan ada tambahan 3 smelter tembaga, 16 smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2 smelter besi dan 4 smelter timbal dan seng.
Sementara itu, Yunus mengungkapkan akan ada tiga smelter yang ditargetkan bisa beroperasi pada tahun ini. Yakni smelter nikel PT Aneka Tambang di Tanjung Buli-Halmera, smelter timbal PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah, dan smelter nikel PT Wanatiara Persada di Obi, Halmahera.
Hingga Kuartal I-2019, Yunus mengklaim bahwa secara umum target pembangunan smelter masih sesuai target. “Sementara ini secara umum tercapai. Ketika ada perusahaan yang bandel, ya segera ekspornya dilarang, itu sebagai bentuk pembinaan kita,” kata Yunus.
Meski demikian, tercatat ada enam perusahaan yang progres pembangunan smelternya tidak sesuai target. Lima diantaranya dikenai sanksi penghentian sementara izin ekspor, yakni PT Surya Saga Utama (Nikel), PT Genba Multi Mineral (Nikel), PT Modern Cahaya Makmur (Nikel), PT Integra Mining Nusantara (Nikel) dan PT Lobindo Nusa Persada (Bauksit).
Sementara, satu perusahaan lainnya dikenai sanksi pencabutan izin ekspor, yaitu PT Gunung Bintan Abadi (Bauksit). Yunus bilang, pihaknya akan terus mengevaluasi dan menindak tegas perusahaan yang tidak patuh terhadap ketentuan pembangunan smelter.
Langkah itu, sambung Yunus, justru dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen dalam pembangunan smelter dan hilirisasi mineral. “Jadi mana saja perusahaan yang betul serius membangun smelter, mana yang tidak. Intinya kita akan tegas, harus dimengerti kewajiban membangun smelter jalan terus” tegas Yunus.
Karenanya, Yunus yakin sekalipun target 57 smelter pada tahun 2022 tidak seluruhnya tercapai, roadmap hilirisasi dan penghentian ekspor mineral mentah tidak akan terganggu. Sebab, kewajiban membangun smelter tetap akan terus berlanjut.
Terlebih, kata Yunus, dari sisi keekonomian perusahaan akan tetap menyelesaikan pembangunan smelter yang memakan biaya investasi tinggi. “Kewajiban membangun (smelter) jalan terus, lagi pula kan sudah hampir jadi pasti tanggung kalau nggak selesai. Kan sayang investasinya,” terangnya.
Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menegaskan, pihaknya akan mencabut izin ekspor dari perusahaan yang belum menyelesaikan pembangunan smelter pada tahun 2022. “Jadi kalau nggak tercapai ya dia (perusahaan) nggak bakal bisa ekspor,” kata Bambang saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (9/5) malam.
Sulit Tercapai
Dalam hal ini, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arief menilai perlu upaya ekstra untuk mengakselerasi pembangunan smelter supaya bisa mencapai target tersebut. Sebab, jika menilik data yang ada, sejak diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba), rata-rata hanya ada tiga unit smelter yang bisa beroperasi setiap tahunnya.
Irwandy mencontohkan, pada tahun 2010-2011 hanya tiga smelter yang beroperasi. Rata-rata penambahan dari 2012-2018 adalah tiga smelter per tahun, kecuali pada tahun 2015 yang sebanyak tujuh smelter.
Alhasil, lanjut Irwandy, jika menggunakan angka pertumbuhan smelter tersebut, maka penambahan dalam tiga tahun ke depan hanya 9 smelter. Sehingga, total 27 smelter yang telah beroperasi, ditambah 9 smelter baru, hanya mencapai 36 smelter. “Masih jauh dari target 57 smelter, kecuali ada akselerasi,” kata Irwandy.
Lebih jauh, Irwandy mengatakan bahwa program hilirisasi mineral akan lebih kompleks lagi. Sebab, hal ini terkait dengan keselarasan perizinan dan kesiapan dari sektor hulu mineral, pengolahan setengah jadi, hingga serapan pasar dari produk hasil pengolahan tersebut.
Oleh sebab itu, perlu ada konsistensi dan sinergi antar kementerian dan lembaga terkait. “Masalahnya tidak sederhana kebijakan dari Kementerian ESDM dan Perindustrian akan sangat menentukan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handoyo meminta supaya pembangunan smelter tersebut bisa segera direalisasikan. Sejalan dengan itu, Jonatan pun menekankan pentingnya untuk menutup relaksasi izin ekspor mineral mentah atau ore.
Sebab, sambung Jonatan, kebijakan tersebut merugikan pengusaha yang sudah susah payah membangun smelter dengan investasi yang mahal. “Jadi harus stop ekspor dalam bentuk ore, karena cepat atau lambat smelter yang sudah dibangun akan kesulitan bahan baku, saat ini sudah mulai terjadi. Itu jelas sangat sangat merugikan investor yang sudah bangun smelter,” ujar Jonatan.
Sumber –Â https://industri.kontan.co.id
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengungkapkan, dari keenam perusahaan tersebut, lima diantaranya dijatuhi sanksi penghentian izin ekspor sementara. Kelima perusahaan tersebut adalah PT Surya Saga Utama (Nikel), PT Genba Multi Mineral (Nikel), PT Modern Cahaya Makmur (Nikel), PT Integra Mining Nusantara (Nikel) dan PT Lobindo Nusa Persada (Bauksit). Kelima perusahaan ini, sambung Yunus, bisa kembali mendapatkan izin ekspor asalkan kembali mengajukan permohonan. Hal itu juga harus terlebih dulu disertai laporan pembangunan smelter yang telah diverifikasi oleh verifikator independen dengan progres yang memenuhi target. “Kalau penghentian sementara itu istilahnya bisa evaluasi ulang. Kalau mencapai progres (target pembangunan smelter), dia bisa mengajukan permohonan, tidak lagi dari nol,” jelas Yunus saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (6/5). Berbeda dengan kelima perusahaan di atas yang mendapatkan penghentian izin ekspor sementara, satu perusahaan lainnya dikenai sanksi pencabutan izin ekspor. Yaitu PT Gunung Bintan Abadi (GBA), perusahaan dengan komoditas bauksit yang berlokasi di Bintan, Kepualuan Riau tersebut. Selain tidak memenuhi target progres pembangunan smelter, Yunus mengatakan bahwa GBA juga tidak menjalankan manajemen operasional secara baik. “Misalnya, dia menerima bahan galian bukan dari tambangnya sendiri, yang tidak dikerjasamakan. Sebetulnya boleh, tapi harus dikerjasamakan, dan itu saya kira IUP-nya sudah dicabut oleh daerah,” terangnya. Yunus bilang, pihaknya juga sudah memberikan tiga kali peringatan kepada perusahaan yang memegang rekomendasi ekspor sekitar 1,2 juta wet metrik ton tersebut. Ia pun menegaskan, pihaknya berkomitmen untuk terus mengejar target hilirisasi mineral, dan akan menindak tegas perusahaan yang tidak patuh terhadap ketentuan dengan memberikan teguran, peringatan, penghentian sementara, hingga pencabutan izin ekspor. “Mana saja perusahaan yang betul serius membangun smelter, mana yang tidak. Intinya kita akan tegas, itu yang harus dicatat, harus dimengerti kewajiban membangun smelter jalan terus” tegas Yunus. Seperti diketahui, ketentuan dan sanksi mengenai progres pembangunan smelter ini diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 25 tahun 2018 dan Permen Nomor 50 Tahun 2018. Dalam ketentuan tersebut pengawasan berkala dilakukan setiap enam bulan dan harus mencapai kemajuan paling sedikit 90% dari rencana yang dihitung kumulatif sampai satu bulan terakhir oleh verifikator independen. Jika dalam enam bulan progres pembangunannya tidak mencapai 90%, maka rekomendasi ekspor akan dicabut sementara hingga perusahaan yang bersangkuta melaporkan progres yang telah diverfikasi oleh verifikator independen. Sementara itu, hingga Kuartal I tahun ini, Yunus mengklaim bahwa secara umum target pembangunan smelter masih sesuai target. “Sementara ini secara umum tercapai. Ketika ada perusahaan yang bandel, ya segera ekspornya dilarang, itu sebagai bentuk pembinaan kita,” tandasnya. Seperti diketahui, pemerintah tengah mengejar target pengoperasian 57 smelter pada tahun 2022. Target tersebut sesuai dengan roadmap beralihnya ekspor komoditas mineral mentah ke industri hilirisasi produk mineral dalam negeri. Asal tahu saja, hingga tahun 2018, sudah ada 27 smelter yang telah beroperasi, dimana 17 diantaranya merupakan smelter komoditas nikel. Sedangkan, sampai tahun 2022 direncanakan akan ada tambahan 3 smelter tembaga, 16 smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2 smelter besi dan 4 smelter timbal dan seng. Dalam hal perizinan, smelter-smelter tersebut mayoritas dibangun menggunakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Kementerian ESDM. Namun, ada juga yang memakai Izin Usaha Industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Kepada Kontan.co.id, sebelumnya Yunus mengatakan bahwa akan ada tiga smelter yang akan beroperasi pada tahun 2019 ini. Yakni smelter nikel PT Aneka Tambang di Tanjung Buli-Halmera, smelter timbal PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah, dan smelter nikel PT Wanatiara Persada di Obi, Halmahera. Sumber –Â industri.kontan.co.id |
PT Freeport Indonesia pada tahun ini akan menutup tambang Grasberg. Setelah itu, Freeport akan mulai mengoperasikan penuh tambang bawah tanah yang sudah dibangun sejak tahun 2015 lalu. Saat ini sebagian produksi tembaga, emas, dan perak Freeport dihasilkan dari tambang Deep MLZ. Riza Pratama Vice President Corporate Communication Freeport Indonesia menyatakan bahwa infrastruktur jalan yang ada di underground mine panjangnya mencapai 500 kilometer. “Tidak lurus yah, tetapi bercabang-cabang. Bahkan ada yang memutar ke bawah,” ujar Riza, saat menemani rombongan Menteri ESDM melihat tambangundergorund, Jumat (4/4). Dia mengatakan, udara yang ada di dalam terowongan cukup bersih karena di setiap sudut lubang terowongan ditaruh kipas angin raksasa untuk membuang udara kotor di dalam dan memasukan udara bersih ke dalam terowongan. Riza menjelaskan, lokasi yang dituju saat ini sepanjang 7 kilometer dari titik masuk termasuk lokasi yang sudah stabil karena semua dinding terowongan sudah dicor oleh beton. Sehingga jika ada getaran tidak sampai runtuh. Adapun lebar terowongan tambang bawah tanah Freeport cukup luas sekitar 7 meter-10 meter. “Lokasi ini bisa dibilang sudah stabil. Jadi aman,” ujar Riza. Adapun lampu di dalam terowongan cukup terang. Terlihat beberapa generator yang cukup besar untuk mendukung kelistrikan di dalam terowongan. Alat berat juga terlihat stand by di dalam tambang bawah tanah tersebut. Yang menarik di dalam tambang underground mine ada masjid dan gereja yang letaknya bersebelahan. Pekerja tambang Freeport tak perlu keluar terowongan untuk beribadah. Selain fasilitas masjid dan gereja, ada juga toilet yang bersih di depan kedua fasilitas ibadah itu. Tak hanya itu, ada juga ruang supply chain management DMLZ warehouse. Riza menjelaskan, haul truck dan alat berat untuk menambang di Grasberg tidak akan digunakan lagi lantaran berbeda dengan alat berat untuk di underground mine. “Haul truck dan alat berat untuk Grasberg tidak dipakai lagi,” imbuh dia. Dia bercerita bahwa Freeport McMoran tidak memiliki tambang serumit ini di berbagai negara selain di Indonesia. Saat ini jumlah karyawan langsung Freeport mencapai 7.096 sedangkan jika digabung dengan karyawan kontraktor atau vendor bisa mencapai 30.542 pekerja. Sumber – https://industri.kontan.co.id |
Safety and Health and the future of work – 28 April 2019
Inspired by the ILO centenary anniversary and discussions on the future of work, the world day this year attempts to take stock of a 100 years of work in improving occupational safety and health and looks to the future for continuing these efforts through major changes such as technology, demographics, sustainable development including climate change and changes in work organization. The official World Day on 28 April 2019 will only be the beginning of worldwide events and activities to continue throughout the rest of the year, around the theme of safety and health and the future of work, celebrating and building on the wealth of knowledge and action accumulated over 100 years as we get ready to face and appreciate the changes brought forward by the future of work we want. The ILO will launch a global report to that effect, sharing the story of a 100 years in saving lives and promoting safe and healthy working environments. The report attempts to capture the evolution of safety and health from before the inception of the ILO in 1919 to date, going through the major turning points that have influenced this field and have influenced the way ILO has contributed to improving safety and health at work. More importantly, the global report will touch upon the changes in work arrangements, technology (digitalisation and ICT, platform work, automation and robotics), demographics, globalisation, climate change, and other drivers that are affecting the dynamics of safety and health and the nature of professions in this area, notwithstanding the persistent traditional and re-emerging risks and variations across developing and developed countries. To add further depth to the discussion, the ILO will feature 33 original think pieces from the real faces of the occupational safety and health community from around the world who will share strong messages and testimonials on OSH and the future of work from a variety of expert and practical aspects
Sumber –Â www.ilo.org |
Pengusaha pertambangan batubara ingin supaya revisi keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 bisa segera diterbitkan. Revisi tersebut pada pokoknya berisi perpanjangan dan perubahan status perizinan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Keinginan tersebut antara lain disampaikan oleh tiga bos dari perusahaan batubara raksasa di Indonesia. Chief Executive Officer PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat, menjadi satu diantaranya. Menurut Ido, penerbitan regulasi ini sangat penting karena berkaitan dengan kepastian hukum dan investasi dalam pertambangan batubara. “Ya harapan kita bisa cepat keluar. Biar ada kejelasan, apalagi (sektor bidang usaha batubara) perlu investasi jangka panjang,” ungkap Ido kepada Kontan.co.id, Selasa (30/4). Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Mochamad Kurnia Ariawan memiliki pandangan yang sama. Apalagi, kata Kurnia, sektor usaha pertambangan telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap penerimaan negara, termasuk dalam menghasilkan devisa mengingat emas hitam ini merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia. “Kita sudah investasi jangka panjang, infrastruktur, alat berat, peralatan dan lainnya. Kepastian (hukum dan investasi) kan diinginkan oleh semua sektor bisnis,” kata Kurnia saat ditemui Kontan.co.id di kantornya, belum lama ini. Senada dengan itu, Direktur Utama Adaro Energy Garibaldi Thohir meminta supaya regulasi tersebut segera diterbitkan, mengingat prosesnya yang sudah cukup lama. Terlebih, sambung pria dengan sapaan akrab Boy Thohir itu, hampir seluruh perusahaan pertambangan batubara dimiliki oleh pengusaha Indonesia. Sehingga, Boy berharap melalui regulasi tersebut, pemerintah bisa ikut memberikan dukungan terhadap pengusaha nasional. “Mungkin tidak 100%, tapi 90-an% tambang batubara di Indonesia itu sudah dimiliki oleh perusahaan dan pengusaha Indonesia, saya yakin dan berharap pemerintah akan fair. Kita berharap secepatnya diterbitkan,” kata Boy. Seperti diketahui, ketiga perusahaan batubara tersebut adalah pemegang PKP2B generasi pertama. Adapun, PT Arutmin Indonesia akan berakhir kontraknya pada 1 November 2020, PT Adaro Indonesia pada 1 Oktober 2022, dan PT Kideco Jaya Agung 13 Maret 2023. Ketiga merupakan produsen batubara dengan volume jumbo. Adaro misalnya, merupakan produsen batubara terbesar kedua di Indonesia yang mampu memproduksi sekitar 54 juta ton sepanjang tahun lalu. Disusul dengan PT Kideco Jaya Agung yang memproduksi batubara di angka 34 juta ton pada tahun 2018. Selanjutnya, pada tahun lalu PT Arutmin Indonesia memproduksi sekitar 29 juta ton batubara. Sekadar mengingatkan, penerbitan revisi keenam PP Nomor 23 tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) ini rencananya akan satu paket dengan PP tentang perlakuan perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bidang usaha pertambangan batubara. Hingga kini, regulasi tersebut belum juga terbit. Padahal, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebelumnya menargetkan paket PP tersebut bisa rampung pada akhir tahun 2018 dan sudah bisa diimplementasikan di awal tahun ini. Namun, hingga empat bulan pertama tahun 2019 ini, paket PP tersebut tak kunjung terbit. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono enggan memberikan banyak komentar. Ia pun tak memberikan jawaban, kapan paket PP batubara ini akan diterbitkan. “Belum tahu,” katanya beberapa hari lalu. Sumber – https://industri.kontan.co.id |
Tambang batu bara di Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur, tersebut sudah lebih dikenal dengan nama Tambang Sangatta. Saat ini, tambang yang dimiliki PT Bumi Resources Tbk (BUMI) melalui PT Kaltim Prima Coal (KPC) itu sudah dikenal sebagai tambang batu bara terbesar di Kalimantan. Meskipun demikian, apakah Tambang Sangatta merupakan tambang terbesar di dunia? Berikut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia. Ternyata, dari sisi produksi, meskipun bukan nomor satu, benar adanya bahwa Tambang Sangatta merupakan salah satu tambang batu bara terbesar di dunia. Situs www.sourcewatch.org menunjukkan tambang Sangatta memiliki produksi terbesar keempat terbesar di dunia, yaitu 45,5 juta ton per tahun, berdasarkan data 2013. Posisi Sangatta berada di bawah dua tambang dari Amerika Serikat dan satu tambang lain asal Indonesia. Di daftar tersebut, tambang dengan produksi terbesar dunia adalah Tambang North Antelope Rochelle di Cekungan Sungai Powder (Powder River Basin) di antara Montana-Wyoming milik Peabody Powder River Mining Llc (Peabody Energy). Tambang tersebut memiliki produksi 107 juta ton per tahun, berdasarkan data 2014. Pada posisi selanjutnya diisi oleh Tambang Black Thunder di Campbell County, Wyoming, milik Arch Coal dengan produksi 91,8 juta ton per tahun, berdasarkan data per 2014. Di posisi tepat di atas Tambang Sangatta tersebutlah Tambang Konsesi Batu Bara Tabalong milik PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melalui PT Adaro Indonesia, yang masih satu saudara sesama bursa efek dari BUMI. Setelah Tambang Konsesi Batu Bara Tabalong dan Sangatta barulah muncul negara lain, yaitu Tambang Huolinhe di China, Tambang Bogatyr di Kazakhstan, Tambang Bełchatów di Polandia, Tambang Hambach di Jerman, Tambang Garzweiler di Jerman, dan Tambang Daliuta-Huojitu di China. Meskipun dua tambang Indonesia berada di puncak daftar tambang batu bara dengan produksi terbesar dunia, tetapi sayangnya Indonesia bukanlah negara dengan produksi terbesar. Produksi terbesar masih dipegang China, India, Amerika Serikat, dan Australia. Di posisi kelima barulah muncul nama Indonesia. Pada posisi selanjutnya diisi oleh Tambang Black Thunder di Campbell County, Wyoming, milik Arch Coal dengan produksi 91,8 juta ton per tahun, berdasarkan data per 2014. Di posisi tepat di atas Tambang Sangatta tersebutlah Tambang Konsesi Batu Bara Tabalong milik PT Adaro Energy Tbk (ADRO) melalui PT Adaro Indonesia, yang masih satu saudara sesama bursa efek dari BUMI. Setelah Tambang Konsesi Batu Bara Tabalong dan Sangatta barulah muncul negara lain, yaitu Tambang Huolinhe di China, Tambang Bogatyr di Kazakhstan, Tambang Bełchatów di Polandia, Tambang Hambach di Jerman, Tambang Garzweiler di Jerman, dan Tambang Daliuta-Huojitu di China. Meskipun dua tambang Indonesia berada di puncak daftar tambang batu bara dengan produksi terbesar dunia, tetapi sayangnya Indonesia bukanlah negara dengan produksi terbesar. Produksi terbesar masih dipegang China, India, Amerika Serikat, dan Australia. Di posisi kelima barulah muncul nama Indonesia.
Sumber –Â www.cnbcindonesia.com |
Berlokasi di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, tambang batu bara bernama Kaltim Prima Coal (KPC) membentang seluas 84.938 hektar yang berdiri sejak 1982. Pada 2003, tambang ini diambil alih kepemilikannya oleh PT Bumi Resources Tbk (BUMI) sebanyak 100%. Saat ini, kepemilikan BUMI di KPC 51%, sebanyak 30% dimiliki oleh Tata Power asal India, dan 19% dimiliki oleh China Investment Cooperation (CIC). KPC merupakan perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia. Lokasinya di Sangatta dan Bengalon. Bandara kecil ini berada di dalam kawasan pertambangan KPC. Bila dilihat, kompleks pertambangan ini hampir seperti kota sendiri dengan suasana yang cukup rindang. Fasilitas di dalamnya cukup lengkap, mulai dari perumahan untuk karyawan, sekolah, hingga kawasan berolahraga. “Jumlah karyawan di sini lebih dari 20.000 orang,” kata Wawan Setiawan, GM External Affairs KPC, Jumat (26/4/2019). Rinciannya, lebih dari 4.500 orang karyawan KPC dan lebih dari 20.000 orang karyawan kontraktor KPC. Kontraktor tersebut adalah dari Thiess, Dharma Henwa, dan Pama Persada. Tambang raksasa batu bara ini memiliki pelabuhan sendiri untuk mengirimkan batu bara langsung ke para pembelinya. Untuk listrik, tambang KPC di Sangatta memiliki pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 3×18 MW dan 2×5 MW. PLTU ini sebanyak 18 MW diberikan KPC kepada PLN untuk melistriki warga di Sangatta. Pembangkit ini juga menggerakkan conveyor yang berfungsi mengirim batu bara dari tempat pengolahan batu bara mentah menuju ke pelabuhan. “Operasional kendaraan di sini beserta alat beratnya juga sudah menggunakan bensin B20 yang fasilitas blendingnya ada di sini semua,” ujar Untung Prihardiyanto, GM Mining Support Division KPC. Tahun lalu produksi batu bara KPC sekitar 58 juta ton. Di tahun ini, produksi akan ditingkatkan menjadi sekitar 60-62 juta ton. Di 2018, KPC merajai produksi batu bara secara nasional. Dengan produksi sekitar 58 juta ton, KPC menyumbang sekitar 11% dari produksi batu bara nasional yang pada tahun lalu mencapai 528 juta ton. Direktur Independen BUMI, Dileep Srivastava, mengatakan tahun lalu KPC menyumbang pajak dan royalti ke negara hingga US$ 1,5 miliar. Jumlah sumber daya batu bara KPC mencapai 7,055 miliar ton dengan cadangan 1,178 miliar ton. Dari cadangan tersebut, sebanyak 948 juta ton di Sangatta dan 230 juta ton di Bengalon. Saat berkunjung ke Sangatta, CNBC Indonesia mendapat kesempatan melihat salah satu lokasi tambang KPC bernama Pit Bendili Bintang. Lubang besar tersebut memiliki panjang 2,5 kilometer (km) dan lebar lebih dari 1 km, dengan kedalaman 250 meter dari permukaan laut. Pit atau tambang Bendili ini memproduksi 5,5 juta ton batu bara berkualitas tinggi (high rank coal) tiap tahunnya. Di sepanjang jalan menuju Bendili, terlihat truk-truk besar pengangkut batu bara dengan kapasitas hingga ratusan ton sekali angkut. Mencengangkan lagi, ada ekskavator raksasa merek Liebher yang hanya ada lima di dunia, dan dua di antaranya dimiliki KPC. Ekskavator yang sekali ayun meraup 70 ton batu bara ini harganya US$ 5 juta. Sementara truk-truk raksasa yang ada di tambang itu dibeli seharga sekitar US$ 2 juta. Dileep mengatakan, KPC merupakan penyumbang terbesar pendapatan BUMI. Tahun lalu KPC menelurkan pendapatan US$ 4 miliar dan keuntungan sebelum pajak sekitar US$ 900 juta. Tiap hari, KPC melakukan pengiriman batu bara sekitar 170.000 ton ke para pembelinya. Pembeli batu bara terbesar KPC adalah dari dalam negeri 28,5%, kemudian India 20,5%, China 15%, Jepang 9,5%, Filipina 5,6%, dan sisanya dari negara lain seperti Malaysia, Taiwan, Thailand, Korea, Italia, Brunei Darussalam, dan Pakistan.
Reklamasi Pasca TambangDalam kunjungan ke tambang tersebut, perwakilan media yang hadir diperlihatkan pengelolaan pasca tambang yang dilakukan oleh KPC. Setelah lubang tambang selesai dieksplorasi, reklamasi dilakukan dengan menguruk kembali lubang tambang, dan di atasnya ditutup oleh tanah yang sebelumnya berada di lahan tersebut. Ada satu lokasi bekas tambang yang dipersiapkan KPC untuk wilayah wisata. Nama tempat tersebut adalah Telaga Batu Arang. Namun lokasi ini belum dibuka untuk umum, karena masih memastikan aturan untuk pengelolaan lahan bekas tambang. Bila melihat lokasi tersebut, memang tidak menyangka bahwa lokasi ini bekas tambang. Lubang besar dijadikan danau yang dikelola sedemikian rupa sehingga kadar air menjadi normal dan bisa menjadi tempat bagi ikan. Sumber –Â www.cnbcindonesia.com |