Semangat Pagi…!!!

Pada kesempatan ini, kita akan membahas hal yang selama ini masih jadi bahan pembicaraan yang gak ada habis-habis. Mari kita pendapat cak lontong mengenai ini… ?

Pengujian Peralatan – KESDM atau Kemnaker 2

Peraturan yang menjadi dasar pembahasan kita pada kesempatan ini terkait izin mengemudi dan izin mengoperasikan peralatan pertambangan adalah:

  1. UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang kemudian dicabut dan diyatakan tidak berlaku dengan terbitnya UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  2. UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
  3. PP No. 19 Tahun 1973 Tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja dibidang Pertambangan
  4. Permen ESDM No. 11 Tahun 2018 Tentang Tatacara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
  5. Kep. Dirjen Minerba No. 185.K/37.04/DJB/2019 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keselamatan Pertambangan dan Pelaksanaan, Penilaian, dan Pelaporan SMKP Mineral Dan Batubara, yang selanjutnya pada artikel ini kita sebut sebagai Kepdirjen 185

Pengujian Peralatan – KESDM atau Kemnaker 3

Sebagaimana yang sudah kita bahas pada Seri II – P2H dan Pengujian Peralatan, tujuan dari pengujian ini adalah untuk menilai kelengkapan, kesesuaian, kelaikan, kesiapan dan kehandalan sebuah peralatan, sehingga peralatan dapat dioperasikan dengan aman.

Maka dapat kita simpulkan bahwa kegiatan pengujian peralatan termasuk bagian dari Pengelolaan Keselamatan.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah, sebagai pemegang IUP, Sertifikasi Peralatan sebagai salah satu bentuk dari pengelolaan keselamatan kerja harus dikoordinasi atau diterbitkan oleh siapa? Apakah oleh disnaker atau oleh ESDM sebagai instansi teknis pembina?

Mari kita lihat Ketentuan – ketentuan/ Dasar Hukum berikut:

a. UU No. 11 Tahun 1967 Pasal 29

  1. Tata Usaha, pengawasan pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan dipusatkan kepada Menteri dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
  2. Pengawasan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini terutama meliputi keselamatan kerja, pengawasan produksi dan kegiatan lainnya dalam pertambangan yang menyangkut kepentingan umum

Dan berdasarkan Pasal 2 huruf (j), yang dimaksud dengan Menteri adalah Menteri yang lapangan tugasnya meliputi urusan pertambangan yang saat ini kita kenal sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, atau disingkat Menteri ESDM

Dari ketentuan diatas dapat kita simpulkan bahwa pengawasan pengelolaan keselamatan kerja adalah urusan Menteri ESDM

b. UU No. 1 Tahun 1970

Dari sekian banyak pasal dalam UU ini, dan kalau kita lihat di bagian “menimbang” huruf (b) PP 19 Tahun 1973 disimpulkan bahwa pengaturan keselamatan kerja secara umum termasuk bidang pertambangan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi

Pengaturan pada 2 UU di atas, yaitu:

  1. UU No. 11 Tahun 1967 yang mengatur bahwa pengawasan pengelolaan keselamatan kerja pada kegiatan pertambangan adalah Menteri ESDM
  2. UU No. 1 Tahun 1970 yang mengatur bahwa pengawasan pengelolaan keselamatan kerja termasuk kegiatan pertambangan adalah Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi

Pengaturan yang berbeda dengan level peraturan yang sama membuat bingung teman-temannya James (baca: Ja-mes). Yang mananya yang harus diikuti? Apakah dua – duanya berarti melakukan pengawasan pengelolaan keselamatan di Pertambangan?

Pengujian Peralatan – KESDM atau Kemnaker 4

Tapi tidak begitu dengan Ja-mes…. dia gak bingung sama sekali… dia lagi…. mana dia….

Pengujian Peralatan – KESDM atau Kemnaker 5

c. PP No. 19 Tahun 1973

c.1. Bagian Menimbang

c.1.b. bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 mengatur keselamatan kerja secara umum termasuk bidang pertambangan yang menjadi tugas dan tanggung jawab Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi

c.1.d bahwa Departemen Pertambangan telah mempunyai personil dan peralatan yang khusus untuk menyelenggarakan pengawasan keselamatan kerja dibidang pertambangan

c.1.e bahwa karenanya perlu diadakan ketentuan tentang pengaturan, dan pengawasan keselamatan kerja dibidang pertambangan antara Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi dan Menteri Pertambangan

Dari bagian menimbang ini dapat kita lihat bahwa yang menjadi pertimbangan terbitnya PP No. 19 Tahun 1973 ini adalah peran industri pertambangan yang sangat besar terhadap pembangunan nasional dan pertahanan negara serta karakteristik industri pertambangan yang sarat dengan potensi bahaya dan tingginya risiko terjadinya kecelakaan, maka diperlukan pengaturan yang lebih khusus dan kompetensi yang tinggi untuk melakukan pengawasan pengelolaan keselamatan kerja.

c.2. Pasal 1

Peraturan keselamatan kerja dibidang pertambangan bermaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969, dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 dilakukan oleh Menteri Pertambangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi

Dan dari pasal 1 di atas, dapat kita lihat bahwa yang membuat pengaturan yang lebih spesifik tersebut adalah Menteri Pertambangan

c.3. Pasal 2

Menteri Pertambangan melakukan pengawasan atas keselamatan kerja dalam bidang Pertambangan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970

c.4. Pasal 3 ayat 1

Untuk pengawasan keselamatan kerja dibidang pertambangan Menteri Pertambangan mengangkat pejabat-pejabat yang akan melakukan tugas tersebut setelah mendengar pertimbangan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi

Pejabat-pejabat pada Pasal 3 ayat 1 di atas, yaitu pejabat-pejabat yang akan melaksanakan pengawasan pengelolaan keselamatan kerja, saat ini kita kenal sebagai Inspektur Tambang (IT).

c.5. Pasal 5

Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi pengaturan dan pengawasan terhadap Ketel Uap sebagaimana termaksud dalam Stoom Ordonnantie 1930

Maka, jelaslah bahwa dengan terbitnya PP No. 19 Tahun 1973, dapat kita simpulkan bahwa:

  1. Pengawasan pengelolaan keselamatan kerja pada kegiatan pertambangan dilaksanakan oleh Menteri ESDM melalui IT. Maka, pengujian atau sertifikasi peralatan yang merupakan bagian dari pengelolaan keselamatan juga menjadi kewenangan Menteri ESDM.
  2. Pengujian peralatan yang disebutkan diatas dikecualikan untuk Ketel Uap. Sertifikasi ketel uap tetap menjadi kewenangan Menteri ketenagakerjaan.

Kenapa begitu?

Karena kalau kita lihat bagian menimbang pada PP No. 19 Tahun 1973, salah satu alasan pengawasan pengelolaan keselamatan pada kegiatan pertambangan diatur secara khusus oleh Menteri Pertambangan, bukan oleh Menteri ketenagakerjaan adalah Kompetensi Pengawas. Dimana pada kegiatan pertambangan sangan minim penggunaan Ketel Uap dibanding dengan industri lain, maka pembinaan kompetensi pengawasan ketel uap lebih mumpuni di Kementerian ketenagakerjaan.

Bagaimana dengan fakta, bahwa dengan alasan memelihara hubungan baik dengan Disnaker, terdapat beberapa perusahaan yang melakukan sertifikasi peralatan selain dengan ESDM tapi juga dengan Disnaker?

Saya melihat ini sebagai hal yang kurang bijak, karena membina hubungan baik dapat dilakukan dilakukan dengan pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam peraturan, bukan dengan justru menciderai peraturan itu sendiri.

Disamping itu, dengan mensertifikasi peralatan sampai 2 kali, maka biaya pun akan meningkat, keuntungan perusahaan turun, maka potensi pendapatan negara juga akan turun, yang kalau praktek ini terus berlangsung dengan skala besar, maka juga akan memperlambat terciptanya kemakmuran rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini… (sudah cocok jadi politikus kata si Ja-mes….. J kau ngejek ya Ja-mes…)

Bagaimana Sertifikasi Peralatan di Minerba (ESDM)?

Sebelum terbitnya Permen ESDM No. 11 Tahun 2018, Kepala Inspektur Tambang (KaIT) menerbitkan beberapa sertifikat untuk peralatan seperti:

  1. Sertifikat Kelayakan Penggunaan Peralatan (SKPP)
  2. Sertifikat Kelayakan Penggunaan Instalasi (SKPI)
  3. Surat Izin Layak Operasi (SILO)

..sebagai tindak lanjut pengujian yang dilakukan oleh KTT dan pihak ke-3 dan yang disaksikan oleh IT.

Akan tetapi dengan terbitnya Permen ESDM No, 11 Tahun 2018 dengan semangat penyederhanaan, maka KaIT tidak lagi menerbitkan sertifikat untuk peralatan. Dengan kata lain, peralatan silahkan diuji sendiri oleh KTT, atau kalau tidak mampu baik dari sisi alat uji maupun tenaga penguji, silahkan bekerjasama dengan pihak ke-3 yang sudah memiliki perizinan yang sesuai. Kemudian lakukan pengujian dan nyatakan sendiri perlatan tersebut lulus uji atau tidak.

Dan, mohon diingat karena pengujian peralatan masuk dalam kategori kegiatan jasa inti, maka pihak ke-3 yang bekerjasama dengan KTT dalam hal pengujian alat harus memiliki Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) yang sesuai.

Sampai disini dulu… sudah capek ngetiknya…. dan si Ja-mes minta dianterin ke temat kursus….. ha..ha… gaya si Ja-mes… paling juga tidur dia disana…. ? “-) suka-suka kau lah Ja-mes….

Semangat Pagi…. dan selamat memberikan yang terbaik

Horas Pasaribu

www.horaspasaribu.com

Di dalam program pencegahan kecelakaan di sebuah organisasi, pengawas atau supervisor garis depan memiliki multi peran yang sangat strategis yang tidak bisa digantikan oleh posisi lain.  Di antaranya yang paling kritis adalah peran on the job training (OJT) dan peran pelibatan dan pemberdayaan team kerja (engagement dan empowerment).

Kedua peran tersebut sangat melekat kepada pengawas dalam interaksinya dengan pekerja sepanjang shift setiap hari.  Dalam interaksinya, komunikasi bawaan yang dimainkan oleh pengawas adalah pola komunikasi orang tua yang dikenali dengan komunikasi satu arah, memberi instruksi, informasi, advis kepada anak buah.  Secara alami, pola komunikasi orang tua disambut oleh anakbuah dengan pola komunikas anak, yaitu sikap menunggu, minta saran, minta persetujuan, dan ketergantungan.

Effective Question Pengawas Membangun Thinking Team-03

Untuk mendapatkan rasa memiliki oleh pekerja terhadap setiap program pencegahan kecelakaan perusahaan, kelemahan pasangan pola komunikasi orang tua vs anak ini harus diatasi dengan pengenalan perilaku leadership kepada para pengawas, di antaranya adalah:

  • Pola komunikasi orang dewasa yang ditandai dengan kesetaraan komunikasi dan pemberian tanggung jawab dan akuntabilitas kepada anak buah.
  • Metode komunikasi memakai pertanyaan efektif yang mendorong pelibatan anak buah untuk ikut berpikir, turut mencari solusi, sehingga tumbuh perasaan ikut memiliki.
  • Keterampilan memberi apresiasi terhadap apapun yang telah dilakukan benar oleh anak buah.

Sejalan dengan kata W. Edwards Deming: “Orang akan mendukung apa yang ia ikut menciptakan”, bahkan dengan effective question, pekerja akan mati-matian membuat sebuah program berjalan dengan baik karena ia ikut melahirkannya melaluii ide atau masukan mereka sendiri, hasil dari effective questioning.

Untuk mengubah mindset pengawas dari pola instruksi menjadi pola melempar pertanyaan adalah tidaklah mudah, karena telah tertanam kuat dari generasi ke generasi bahwa:

  • Tugas pengawas itu seperti orang tua, yaitu memberi nasehat dan menjawab pertanyaan dari anak buah, bukan malah bertanya kepada.
  • Peran pengawas adalah mengidentifikasi masalah, menganalisa, menyimpulkan dan menyampaikan hasilnya kepada anak buah, yang sudah berjalan sehari-hari selama ini.
  • Pekerja sendiri karena terbiasa dicekokin nasehat dan petuah, tidak siap untuk menjawab pertanyaan.

Keterampilan berkomunikasi memakai pertanyaan efektif (efective questions) bisa menjawab 3 tantangan di atas sekaligus, serta bisa menciptakan sebuah team yang berpikir (thinking team). Di mana otak manusia memiliki pembawaan untuk terus mencari jawaban pada setiap pertanyaan yang dilempar ke kepalanya.  Pertanyaan efektif membuat otak anak buah terus “on” disamping akan mempengaruhi cara berpikir mereka.

Pertanyaan efektif akan menuntut pengawas:

  • Meninggalkan pemakaian pertanyaan tertutup (closed ended questions) yang hanya akan memperoleh jawaban iya, tidak atau info terbatas, hanya untuk tujuan tertentu, seperti: Jam berapa mulai mengerjakan pekerjaan ini kemarin? Siapa saja yang terlibat? Apakah semua team tahu tugasnya masing-masing? Siapa nama-nama mereka?
  • Memakai pertanyaan terbuka (open ended questions) yang biasanya memakai kata tanya mengapa, bagaimana, yang arahnya meminta penjelasan serta membuka sebuah percakapan. Contoh:
    • Bagaimana pendapat anda dengan program ini? Apa harapan anda dengan melibatkan orang baru dalam tim ini?  Apa yang akan anda lakukan berbeda untuk membuat program ini lebih berhasil? 

Pertanyaan-pertanyaan tidak efektif yang tidak pada tempatnya di bawah ini harus sudah MULAI DIGANTI:

  • Gimana, aman semua? APD lengkap? JSA sudah ada? Semua sudah tahu JSA? Perkakas aman semua? P2H sudah? Alat-alat lengkap?

Diganti dengan pertanyaan2 efektif berikut ini:

  • Ketika Inspeksi ditemukan semua dalam kondisi baik:
    • Bagian mana dari prosedur yang kalian sudah lakukan membuat area kerja ini aman?
    • Bagaimana kalian berbagi tugas membuat area kerja ini konsisten aman dari awal sampai akhir shift sepanjang hari?
    • Setuju sekali. Kalian bisa melakukan seperti itu ke depan?  (ambil komitmen)

Note: setiap jawaban yang benar terhadap setiap pertanyaan di atas, berikan apresiasi dengan toss dan semacamnya

  • Ketika inspeksi ditemukan kondisi tidak aman:
    • (Setelah pekerjaan dihentikan) Menurut kalian apakah kondisi area kerja ini sudah aman dari kemungkinan menimbulkan cedera? (melibatkan team turut mengidentifikasi bahaya)
    • (Kalau tidak terjawab, beri pertanyaan berikutnya yang lebih menjurus) Apakah ada kondisi yang bisa jatuh menimpa anda? (melibatkan team turut berpikir)
    • (Setelah terjawab benar) Apa yang seharusnya anda lakukan untuk membuatnya tidak memiliki potensi jatuh? (melibatkan team turut berpikir)
    • (Kalau jawaban sudah benar) Setuju sekali. Anda bisa melakukan begitu ke depan? (ini minta komitmen)

Note: setiap jawaban yang benar terhadap setiap pertanyaan di atas, berikan apresiasi dengan toss dan semacamnya

  • Observasi atau pengamatan terhadap team yang sedang bekerja ditemukan tindakan tidak aman.
    • (Setelah pekerjaan dihentikan) Menurut anda apakah masih ada cara kerja yang bisa menyebabkan cedera di pekerjaan ini? (melibatkan untuk mengidentifikasi)
    • (Kalau tidak terjawab, beri pertanyaan berikutnya yang lebih menjurus) Bagian mana dari pekerjaan ini yang memiliki potensi mencederai jari anda? (melibatkan berpikir)
    • (Setelah terjawab benar) Bagaimana menurut anda cara mengerjakan yang bisa menjamin jari tangan aman dari potensi terjepit? (ajak terlibat memikirkan)
    • (Kalau jawabannya benar) Setuju sekali. Anda bisa melakukan begitu ke depan? (minta komitmen)

Note: setiap jawaban yang benar terhadap setiap pertanyaan di atas, berikan apresiasi dengan toss dan semacamnya

  • Safety Meeting
    • Bagian mana saja dari topik meeting tadi yang paling berguna di pekerjaan anda?
    • Dari bahaya terhadap mata yang dibahas tadi, pekerjaan anda yang mana saja yang terdapat potensi itu?
    • Apa yang akan anda lakukan untuk memastikan anda aman dari bahaya terhadap mata di pekerjaan itu?
    • Apa ada yang akan anda usulkan dari topik-topik meeting tadi yang perlu diperbaiki di tempat kerja anda?

Note: setiap jawaban yang benar terhadap setiap pertanyaan di atas, berikan apresiasi dengan toss dan semacamnya

Melalui pertanyaan-pertanyaan efektif, terciptalah sebuah thinking team, dimana:

  • Pekerja merasa telah diperlakukan setara dengan pola komunikasi orang dewasa
  • Pekerja telah terlibat untuk turut berpikir, memberi masukan, mencari solusi dan cara yang lebih baik yang sudah didengar pendapatnya dan langsung disetujui oleh atasan
  • Pekerja yang bangga memperoleh banyak apresiasi dari pengawas terhadap jawaban dan ide-ide yang benar.

Selamat berkreasi dengan pertanyaan-pertanaan efektif.

Effective Question Pengawas Membangun Thinking Team_hal 1

Effective Question Pengawas Membangun Thinking Team_hal 2

Terbit dimajalah KATIGA

Edisi No.69 I Mei – juni 2019 I Hal 42 – 43

Daya hipnotis Klasifikasi Kecelakaan Tambang

Daya hipnotis Klasifikasi Kecelakaan Tambang_1Statistik kecelakaan tambang masih menjadi satu-satunya alat ukur kinerja keselamatan di industri pertambangan di Indonesia yang bisa dipakai membandingkan kinerja keselamatan satu perusahaan dengan yang lain secara apple to apple. 

Perbedaan antara kecelakaan tambang dan bukan kecelakaan tambang demikian pentingnya.  Kecelakaan tambang akan masuk statistik kecelakaan tambang di Kementerian ESDM, dan bila bukan kecelakaan tambang sering tidak masuk ke statistik manapun.  Masih beruntung apabila tetap dicatat dan rekomendasi investigasi masih ditindaklanjuti sampai tuntas.

Fantatis daya hipnotis klasifikasi kecelakaan tambang ini.  Ketika ditetapkan bahwa suatu kecelakaan itu adalah bukan kecelakaan tambang, langsung terpancar wajah kelegaan dan penuh syukur dari semua pihak di dalam perusahaan, baik anggota manajemen maupun personel safetynya.  Demikian besarnya kegembiraan itu seolah-olah kecelakaan itu tidak jadi terjadi atau korban yang meninggal ternyata hidup lagi.

Bahkan keberhasilan perjuangan personnel safety berargumentasi dengan inspektur tambang sehingga diputuskan itu bukan kecelakaan tambang, telah dianggap sebagai prestasi tersendiri yang diapresiasi oleh manajemen. Para pihak yang tadinya harus ikut accountable terhadap terjadinya kecelakaan itu seperti telah terselamatkan dari tiang gantungan.  Investigasi dilanjutkan dengan kualitas sekenanya, hasil investigasinyapun sering tidak dibahas lagi dalam rapat manajemen, dan andai dibahaspun sering hanya sebagai formalitas.  Perusahaanpun bernapas lega dan bahkan bangga bahwa pada tahun itu masih tercatat tanpa fatality, padahal faktanya ada, meskipun beda klasifikasi.

faktanya kecelakaan itu sudah merenggut nyawa karyawan, sudah ada istri yang menjanda, sudah ada anak-anak yang menjadi yatim, sudah ada orang tua yang kehilangan anaknya, sudah ada yang kehilangan sahabat baiknya.  Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menangani kecelakaan itu, juga sama persis antara kecelakaan tambang dan kecelakaan non tambang. Biaya layanan medis yang dipakai, asuransi yang harus dibayar, perekrutan karyawan baru untuk menggantikan karyawan yang meninggal, terhentinya proses produksi akibat kecelakaan itu, dan seterusnya. Semuanya sama persis dan tidak ada bedanya antara kecelakaan tambang dan bukan tambang.  Yang meninggalpun, kalau itu kecelakaan fatal, adalah karyawan perusahaan.

Kalau kita lihat kebelakang, apa sih yang membuat sebuah kecelakaan dikeluarkan dari klasifikasi kecelakaan tambang? Lima unsur harus dipenuhi untuk menetapkan sebuah kecelakaan adalah kecelakaan tambang. Apabila salah satu saja dari 5 unsur tersebut tidak ada, maka kecelakaan itu akan masuk kategori bukan kecelakaan tambang.

Mari kita lihat dari setiap unsur kecelakaan tambang:

  1. Benar-benar terjadi, tidak diinginkan, tidak direncanakan, dan tanpa unsur kesengajaan. Yang sering terjadi adalah:
    • Kasus bunuh diri
    • Tindakan kriminal, atau
    • Kecelakaannya fiktif atau sebetulnya kecelakaannya tidak ada
  2. Mengakibatkan cidera pekerja tambang atau orang yang diberi izin oleh kepala teknik tambang (KTT) atau penanggungjawab teknik dan lingkungan (PTL). Yang sering terjadi adalah:
    • Yang cedera bukan karyawan atau tamu perusahaan tetapi orang yang tidak berhak masuk ke area pertambangan
  3. Akibat kegiatan usaha pertambangan atau pengolahan dan/atau pemurnian atau akibat kegiatan penunjang lainnya. Yang sering terjadi adalah:
    • Seusai jam kerja, karyawan sudah clock out tapi belum pulang, masih ada ditempat ker untuk melakukan pekerjaan untuk kepentingan pribadi memakai fasilitas perusahaan.
    • Pihak ketiga masuk ke area tambang melakukan kegiatan di luar kegiatan resmi perusahaan
  4. Terjadi pada jam kerja pekerja tambang yang mendapat cidera atau setiap saat orang yang diberi izin. Kasus yang banyak terjadi adalah:
    • Pekerja masih di area kerja untuk urusan pribadi seusai jam kerja dengan status sudah clock out dari sistem time keeper perusahaan.
  5. Terjadi di dalam wilayah kegiatan usaha pertambangan atau wilayah proyek. Yang mungkin terjadi adalah:
    • Karyawan melakukan pekerjaan di luar area kerja perusahaan karena itu memang tugas tanggung jawabnya.

Dari kasus yang sering terjadi maupun yang mungkin terjadi di atas, hampir semuanya adalah dibawah kontrol perusahaan:

  1. Adalah tanggung jawab perusahaan untuk pembinaan mental karyawan yang sehat dan mencegah terjadinya kriminal di dalam area perusahaan.
  2. Adalah kewajiban perusahaan untuk mencegah orang yang tidak berhak, dari memasuki area operasi perusahaan.
  3. Adalah kewajiban perusahaan untuk memastikan bahwa karyawan tidak berada di tempat kerja dan melakukan urusan pribadi di luar jam kerjanya.
  4. Adalah kewajiban perusahaan untuk membuat program keselamatan kerja untuk semua kegiatan perusahaan di luar area IUP, KK, PKP2B, dll.

Untuk itu marilah kita sadar dan melepaskan diri dari pengaruh hipnotis kecelakaan tambang.  Mari kita perlakukan sama antara bukan kecelakaan tambang dengan kecelakaan tambang, kita lakukan proses investigasi yang sama, kita lakukan tindakan pencegahan pun kita tindaklanjuti sampai tuntas, kita tetapkan program pencegahan agar kecelakaan serupa tidak terulang lagi di kemudian hari, kita bahas sebagai incident recall, serta kita buatkan statistik internal perusahaan yang meng-cover kecelakaan tambang dan bukan tambang. 

Marilah kita kita cegah kecelakaan tambang dan bukan kecelakaan tambang di perusahaan kita dengan meng-cover keduanya.

Daya hipnotis Klasifikasi Kecelakaan Tambang 1 Daya hipnotis Klasifikasi Kecelakaan Tambang 2

Terbit dimajalah KATIGA

Edisi No.68 I Desember 2018 – Januari 2019 I Hal 44 – 45

Di bagian mana saya masih bolong-bolong sebagai Safety Manager?

Menjadi Safety Manager yang baik itu tidak mudah.  Semua personel safety pasti bercita-cita ingin menjadi orang nomor satu di bagian safety itu, tapi jarang yang sengaja mempelajari dan menyiapkan diri secara rinci dan terencana sejak sedini mungkin.  Rata-rata mereka yang mendapatkan kesempatan sampai di jenjang itu, baik karena setia meniti karier di satu perusahaan sampai mencapai posisi itu atau direkrut oleh perusahaan lain untuk posisi manager, baru menyadari betapa tidak mudahnya menjadi seorang manager di bidang keselamatan kerja yang baik. 

Pertama, safety adalah bidang yang berurusan dengan manusia.  Makhluk yang mempunyai pikiran, kemauan dan akal, yang perlu cara tersendiri untuk mengelolanya.  Lebih dari itu, manusia di industri pertambangan memiliki tingkat kecerdasan, pembawaan, serta jabatan dan kewenangan yang beragam.  Yang di level bawah, perlu waktu dan tenaga ekstra untuk membuatnya bisa mencapai tingkat pemahaman, keterampilan dan kompetensi tertentu.  Yang di level menengah ke atas memiliki jenjang pendidikan, jabatan dan kewenangan yang lebih tinggi, sehingga perlu strategi pendekatan khusus untuk bisa menerima program safety.  Yang di level bawah karena keterbatasannya maka perlu diawasi oleh posisi pengawas di level atasnya, sedangkan jabatan pengawas itu sendiri juga perlu dipastikan bahwa mereka melakukan fungsi pengawasan sesuai standar perusahaan.  Lebih dari itu mereka yang di level atas memiliki kewenangan memutuskan untuk terus memakai Safety Manager dan setiap personel safety-nya atau akan menggantinya.  Karena safety adalah departemen support yang berperan mendukung departemen core business, mereka tentu saja bisa mengganti Safety Manager kapan saja bila dianggap tidak sesuai.

Kedua, Departemen Safety berbeda dari departemen lain, diantaranya:

  • Target Departemen Safety tidak mudah diukur, dan yang diukurpun sebetulnya kinerja safety orang lain yaitu kinerja semua karyawan di perusahaan dari berbagai departemen. Meski kinerja safety bisa diukur dengan lagging indicator atau leading indicator, cara pengukurannya tidak mudah dibandingkan dengan mengukur target produksi.  Pengukuran kedua indikator tersebut memerlukan penghitungan khusus juga oleh orang yang ditugaskan khusus. Di samping itu, pengukuran leading indicator juga masih belum satu bahasa antara satu perusahaan dengan yang lainnya.
  • Peran Safety Manager dan Safety Personel itu 24/7 on dan off the job. Bahkan disadari atau tidak, profesi safety itu juga profesi yang otomatis menempel kepada seluruh anggota keluarga personel safety.  Bukan hanya sebatas harus mengangkat telepon atau harus berangkat jam berapapun apabila ada keadaan darurat, tapi lebih dari itu, orang safety harus bisa menjadi role model berperilaku safety di dalam dan di luar area kerja. Akan menjadi viral di perusahaan apabila istri atau anak dari seorang personel safety melakukan pelanggaran safety atau menderita kecelakaan akibat kelalaian safety.

Untuk itu, agar sukses berprofesi di bidang safety, seseorang bukan hanya dituntut menguasai skill di bidang keselamatan kerja beserta semua seluk beluknya, tetapi juga harus memiliki soft skill yang di atas rata-rata, seperti interpersonal skill, motivasi, komunikasi, rekognisi safe behavior, mempengaruhi orang lain, memberikan feed back, dan semacamnya. Meski jabatan managerial lain juga membutuhkan soft skill tersebut. Dari penelitian didapati bahwa untuk sukses berkarier di safety, 75% ditentukan dari kepiawaian soft skill-nya dan hanya 25% dari kehandalan teknikal skill-nya.

Hal ini sangat bisa dimengerti, mengingat target safety adalah membangun Safety Behavior manusia untuk menuju Safety Culture, dan untuk  mencapai hal itu lebih banyak membutuhkan peran soft skill dari pada teknikal skill.

Meskipun banyak tantangannya, bukan berarti menjadi Safety Manager yang baik itu tidak bisa dicapai atau kalau gagal kita punya banyak alasan. Uraian ini disampaikan agar tidak kaget dalam memahami ruang lingkup area tanggung jawab posisi itu, sehingga lebih mempersiapkan diri dengan cukup stock upaya ekstra bagi siapapun yang sudah menduduki posisi Safety Manager atau yang sedang bercita-cita ke sana.

Dari pengalaman saya menjabat posisi Safety Manager di PT Freeport Indonesia tahun 1998-2006 serta menjadi konsultan safety selama lebih 12 tahun yang berkesempatan bersilaturahmi dengan berbagai Safety Manager dari berbagai perusahaan dengan skala yang berbeda, setelah puas menertawakan diri saya sendiri mengingat bagaimana saya mengomandani departemen safety PTFI di Tembagapura dulu. Saat ini, saya juga merasa prihatin melihat sahabat-sahabat saya sehabitat, para safety manager yang sekarang sedang aktif menjabat, karena ternyata kita masih banyak bolong-bolong yang perlu perhatian ekstra ke depan.  Di antaranya di bidang-bidang sbb:

  1. Likeability – rendahnya tingkat bisa diterima, dipercaya dan disukainya incumbent oleh jenjang decision maker. Ini adalah masalah soft skill.   Incumbent biasanya belum menyadari, unsur soft skill mana yang menjadi root cause-nya, sehingga tahu-nya manajemen tidak mendukung.  Indikator: banyak proposal program safety yang numpuk di meja manajemen belum di-approve, incumbent banyak mengeluh tentang lemahnya komitmen manajemen, dst.
  2. Values, leadership, visi safety perusahaan – di bagian ini jumlahnya cukup banyak. Mayoritas incumbent belum berbuat banyak tentang atau terhadap safety values, safety leadership, safety key stones dan atau safety vision yang sesungguhnya memiliki peran kritikal ini. Indikator: belum punya Safety Values, belum punya Safety Leadership Standard, program safety belum berbasis kuat pada value perusahaan, perilaku safety pengawas dan manajemen tidak sejalan, perilaku safety antar anggota manajemen berbeda, safety keystone manajemen puncak belum ditindak lanjuti, dsb.
  3. Program-program bersifat fondasi atau infrastruktur – program-program kategori ini yang di antaranya adalah program safety leadership behavior, safety responsibility and accountability struktural maupun fungsional, area ownership, crisis management team, dsb, banyak incumbent yang belum memahami fungsi strategis program-program ini, bahkan tidak sedikit yang belum berhasil mengelola komite keselamatan manajemen menjadi resources kunci untuk suksesnya program pencegahan kecelakaan mereka. Indikator: standar akuntabilitas safety belum ditetapkan atau sudah dibuat tapi belum dijalankan, coverage area penerapan program safety tidak bisa diukur, proses pengembangan dan penerapan program safety belum melibatkan komite, dsb.
  4. Konsep close the loop – kebanyakan program diterapkan seadanya, tidak sampai close the loop atau tuntas sampai mencegah kecelakaan, sehingga keefektifan mencegah kecelakaan dari setiap program baru sampai pada tahap asumption belum assurance. Banyak sekali incumbent yang belum menyentuh barang ini, atau ada yang diperkenalkan dengan konsep ini, merespon spontan “awang-awangan” untuk menjalankannya atau terlalu idealis.  Indikator: program-program safety ada secara dokumen tapi tidak bisa diukur sudah seberapa diterapkan, program safety diterapkan setengah-setengah, sertifikasi-sertifikasi pencapaian safety banyak, tetapi kecelakaan dan pelanggaran safety juga banyak.
  5. Konsep safety behavior – proses membangun safety behavior belum berjalan, incumbent belum bisa menjadi safety role model, belum bisa memberikan rekognisi safety, belum bisa memberi feed back yang positif, dsb. Indikator: orang safety, pengawas atau anggota manajemen sendiri belum menjadi safety role model, inspeksi lebih banyak mencari kesalahan, belum ada program mengapresiasi safe behavior
  6. Program pengembangan sumberdaya manusia – program pelatihan safety sudah ada tapi belum ada program pelatihan safety berjenjang sesuai jenjang jabatan, belum berbentuk master plan pelatihan lengkap, belum terintegrasi dengan Manajemen ke HRD-an, dst. Indikator: pencapaian safety accountability program (SAP) belum menjadi bagian dari perfomance appraisal tahunan pengawas, unsur safety di dalam job description yang diukur dengan PA tahunan berbeda dengan program safety yang berjalan di lapangan, unsur safety di job description terlalu general tidak bisa diukur, dst.
  7. Continual improvement – yaitu program tidak cukup, tidak update, sudah kadaluwarsa atau bahkan sering sudah tidak diperlukan lagi dan kegiatan yang berlangsung di lapangan sudah jauh dari standar tertulis yang dimiliki perusahaan. Banyak incumbent yang menyadari program tidak jalan, tapi belum berbuat apa-apa untuk membenahi. Indikator: isi prosedur banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan, banyak prosedur yang tidak dijalankan sebagian atau keseluruhan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
  8. Employee engagement – tidak memiliki program pelibatan karyawan yang jelas, terukur dan terdokumentasikan sehingga karyawan belum didudukkan sebagai subyek dalam penerapan safety. Banyak incumbent yang belum berbuat apa-apa, juga ada yang belum paham betul apa maksudnya. Indikator: karyawan, pengawas, anggota manajemen tidak mengenal dan familiar terhadap program safety, atau mengenal tapi tidak memahami dan tidak merasa memiliki bahkan tidak dijalankan.

Pertanyaan mendasar berikutnya adalah, apakah semua bidang program di atas telah dirangkai masuk ke dalam framework elemen dan sub elemen sistem manajemen keselamatan perusahaan kita masing-masing, seperti SMKP untuk di tambang, SMK3 untuk di industri atau sistem manajemen keselamatan internasional seperti OHSAS 18001, ISO 45001, NOSA, dsb untuk perusahaan yang memakainya.

Iya, PR kita masih banyak, sebagai Safety Manager kita digaji untuk melakukan binwas terhadap itu semua. Bukan salah perusahaan atau KTT kalau sudah punya Safety Manager tetapi masih banyak program safety yang bolong atau tidak berjalan. Kita yang harus malu belum bisa memenuhi kewajiban kita menjadi tangan kanan mereka sebagaimana seharusnya.

In sha Allah 8 kelemahan di atas akan saya tulis satu per satu menjadi artikel-artikel Indoshe berikutnya.  Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.

Oleh Dwi Pudjiarso

“Off the job safety”, program yang masih dipandang sebelah mata.

Ketika akhir 2014 Sistem Manajemen Keselamatan Pertambangan (SMKP) mewajibkan setiap perusahaan pertambangan dan para kontraktornya memiliki program “Off the job safety”, berbagai komentar miring sempat terekam.

“Terlalu dipaksakan program “Off the job safety ini”, “Siapa yang mau ngontrol”, “Yang  program On the job safety saja belum beres”,  “Siapa yang akan memastikan karyawan berbuat aman di rumah atau di jalan raya”, dst.

Meskipun akhirnya setiap perusahaan membuat program tersebut, bisa ditebak bahwa program “Off the job safety” yang malang itu, hanya merupakan lembaran kertas mati yang keberadaannya sekedar untuk menggugurkan kewajiban, daripada kegagahan dan ketinggian maknanya sebagai “Off the job safety”.

Asian Family On Cycle Ride In CountrysideKalau perhatian yang diberikan para perusahaan terhadap cedera-cedera di tempat kerja yang non mining saja, jauh di bawah perhatian terhadap kecelakaan mining, bisa dibayangkanlah seberapa besar atensi perusahaan akan diberikan kepada keselamatan di luar kerja. 

Benarkah program yang diberi nama “Off the job safety” ini, perannya dalam mencegah kecelakaan di sebuah organisasi memang rendah atau bahkan tidak ada sama sekali?  Benarkah keberadaan “Off the job safety” hanya sekedar pelengkap sebuah sistem saja agar kelihatan bermartabat dan bergengsi bahwa perusahaan sudah memikirkan keselamatan karyawan di luar tempat kerja?  Mari kita renungkan lebih dalam tentang “Off the job safety” ini.

Ke-1, apakah benar program “Off the job safety” tidak ada atau kecil kontribusinya untuk turut menurunkan interupsi terhadap lancarnya operasi perusahaan?

Cedera di tempat kerja maupun di luar tempat kerja, sebetulnya dampaknya terhadap operasi perusahaan adalah sama persis, tidak ada bedanya.  Kalau karena kecelakaan di rumah, seorang operator HT tidak bisa bekerja selama 3 bulan, maka perusahaan juga harus mencari operator pengganti agar HT tidak nongkrong.

Ke-2, apakah biaya langsung dari kecelakaan “Off the job” lebih rendah dari kecelakaan “On the job”?

Ternyata juga tidak.  Karena perusahaan menanggung pengobatan cedera karyawan sepenuhnya sampai sembuh, tidak peduli itu cedera on the job atau off the job.  Demikian juga untuk kecelakaan aset perusahaan di luar area kerja. Bahkan di dalam “Off the job safety”, cedera yang terjadi kepada istri dan anak  karyawan, juga menjadi tanggung jawab perusahaan untuk membiayai pengobatan sampai sembuh. 

Ke-3, apakah tidak ada manfaat non rupiah dari “Off the job safety” bagi perusahaan? 

Ternyata ada.  Tanpa program “Off the job safety”, tanpa disadari selama ini kita telah membiarkan karyawan hidup di 2 dunia, dunia dengan standar safety yang tinggi di dalam gate perusahaan (on the job) dan dunia tanpa standar safety di luar gate perusahaan (off the job).  Praktek ini sangat kontra produktif terhadap proses pembentukan budaya safety karyawan di tempat kerja, karena setiap hari mereka mempraktekkan standar hidup ganda yang 180° berseberangan seperti ini.  Kontra produktif terhadap proses tumbuhnya safety menjadi nilai hidup karyawan, sebagai syarat utama terbentuknya budaya keselamatan.

Mari kita perhatikan beberapa contoh perilaku ganda di bawah ini:

Hidup di dalam Tambang

  1. Disiplin memakai seatbelt ketika mengemudi atau jadi penumpang, agar selamat ketika terjadi kecelakaan.
  2. Disiplin  mematuhi speed limit waktu mengemudi.
  3. Disiplin memakai full body harness, waktu bekerja di ketinggian lebih dari 1,8 m.
  4. Disiplin memakai perkakas sesuai peruntukannya, kondisi baik, dan memakainya dengan benar.

Hidup di luar Tambang

  1. Tidak apa-apa, tidak memakai seatbelt ketika mengemudi atau jadi penumpang.
  2. Tidak perlu mematuhi rambu batas kecepatan, semua orang juga begitu.
  3. Tidak punya full body harness di rumah, asal hati-hati kalau memanjat.
  4. Memakai perkakas sepunyanya.

Ke 4, untuk tumbuh menjadi sebuah budaya, safety harus tertanam sebagai nilai-nilai di hati karyawan sebagai perbuatan yang baik, tinggi dan mulia, yang ia bangga melakukan dan malu meninggalkan selama  24/7. Jadi sebetulnya program “Off the job safety” bisa memainkan peran strategis dalam proses membentuk dan merawat kesadaran safety karyawan sehari-hari. Seperti halnya ketika kita sudah menempatkan “disiplin tepat waktu” sebagai salah satu nilai hidup kita, kita akan konsisten dan bangga melakukan “disiplin tepat waktu” di semua sisi kehidupan di manapun juga pada saat on the job atau off the job sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang tahun bahkan sepanjang hidupnya.

Dampak kecelakaan “Off the job” kepada perusahaan sama persis dan bahkan lebih besar daripada kecelakaan “On the job”.  Satu-satunya yang membedakan adalah, kecelakaan “Off the job” tidak masuk ke statistik perusahaan yang harus dilaporkan ke pemrintah.

Peran strategis yang bisa diberikan program “Off the Job Safety” ke perusahaan di antaranya adalah:

Untuk karyawan

  • Bisa hidup di satu dunia, safe on and off the job.
  • Bisa dengan bangga menyampaikan safety kepada keluarganya
  • Terbentuk budaya safety perusahaan, dimana nilai safety tertanam didalam  hati mereka.

 

Untuk istri atau suami karyawan

  • Mengenal safety.
  • Bisa mengelola safety di rumah tangga waktu suami tidak di rumah.
  • Bisa memberikan dukungan safety kepada pasangannya.

Untuk anak karyawan

  • Mengenal safety sejak dini.
  • Menumbuhkan kebanggaan berperilaku safe dari kecil seperti ayahnya.

Dengan fakta seperti itu, masihkah program “Off the Job Safety” kita perlakukan sebagai anak tiri di perusahaan kita? Semua ada di tangan anda.

Jangan Sia-siakan Momentum

Momentum berperan besar terhadap keberhasilan penerapan suatu program apapun termasuk safety. Ojek payung akan laris hanya pada waktu hujan, dan momentum terbaik adalah jam pulang kantor. Kepekaan mendeteksi adanya momentum dan bisa memakainya dengan baik akan berdampak besar terhadap tingkat keberhasilan suatu program, pun pada program keselamatan kerja.

Sebetulnya, apa yang disebut momentum? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi umum  momentum/mo·men·tum/ /moméntum/ n 1 saat yang tepat; 3 kesempatan.

Momentum biasanya tidak bertahan lama.  Momentum itu hanya singkat.  Momentum cepat basi.  Tergantung kasusnya, momentum bisa berusia dalam hitungan tahun, bulan, minggu, hari, tapi ada juga yang hanya hitungan jam, menit atau bahkan detik.

Kondisi mental karyawan yang shock akibat adanya kecelakaan kerja di perusahaannya atau di perusahaan lain, bisa hanya berusia dalam hitungan hari.  Artinya, apabila kita ingin mengambil peluang dari kondisi ini untuk membangun kesadaran serta mengajaknya membenahi program safety tertentu, waktu yang paling tepat adalah sesegera mungkin pada hari-hari setelah terjadinya kecelakaan.

Contoh lain, jika ingin sukses melakukan penggalangan dana dari masyarakat untuk membantu suatu bencana, momentumnya paling hanya bertahan 1-2 minggu.  Itupun kalau pemberitaan tentang bencana itu diangkat terus menerus oleh media sosial atau meeting-meeting dalam kurun waktu tersebut. Oleh karena itu, untuk menyukseskan program safety kita, disamping unsur-unsur mengenali masalah, memahami audience, membuat action plan, berbagi peran, melibatkan karyawan, dsb kita perlu menambahkan unsur memanfaatkan “momentum”.  Lebih khusus lagi karena masa basi “momentum” sangat pendek.

Banyak momentum yang tidak bisa kita rencanakan, sehingga ketika momentum itu tiba, tidak ada pilihan kecuali kita harus mengalahkan agenda-agenda lain yang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya. 

Tetapi  sesungguhnya momentum bisa diciptakan.

Jenis kegiatan safety yang terbanyak bisa menciptakan momentum adalah pelatihan. Pelatihan yang baik akan menghasilkan peserta yang memahami pengetahuan tentang topik pelatihan dengan baik, memiliki keterampilan menjalankannya, serta termotivasi kuat untuk menerapkan di lapangan segera setelah usai pelatihan.  Sekembali ke tempat kerja itulah momentum tertinggi. Ketika karyawan kembali ke lapangan belum ada program untuk menerapkan pelatihan yang baru diselesaikannya, tidak mendapat sambutan positif atau dukungan dan arahan dari atasannya, maka motivasi mereka untuk menerapkan akan punah dalam waktu singkat. 

Mengapa momentum itu penting?  Karena pada moment-moment itulah state of mind seseorang atau sekelompok orang sedang di puncak kesiapan menerima sesuatu.  Kondisi emosi mereka sedang terbuka untuk diisi sesuatu.  Attitude mereka dalam keadaan paling siap untuk menangkap sesuatu.  Ibaratnya seperti gelas yang sudah dikosongkan dan sangat siap untuk diisi minuman apapun.  Itulah momentum.

Momentum harus dikenali dan dimanfaatkan sebaik-baiknya sebelum basi.  Sebaliknya sebelum menerapkan suatu program, lakukanlah sesi semacam awareness agar momentum itu terbentuk.  Momentum biasanya menyertai kondisi-kondisi di bawah ini:

Event

Perilaku menyia-nyiakan momentum

Gunakan momentum secara maksimal

  • Investigasi TKP
  • Investigasi TKP lengkap baru dilakukan setelah dapat berita dari tim medis bahwa kondisi cedera korban serius
  • Lakukan investigasi TKP segera tanpa tunda sebelum bekas-bekas hilang karena cuaca atau aktivitas manusia.
  • Wawancara saksi langsung kecelakaan
  • Beberapa saksi langsung diijinkan pulang untuk dilanjutkan wawancara keesokan harinya
  • Untuk memperoleh informasi yang original tanpa pengaruh atau tekanan, wawancarai semua saksi langsung kecelakaan sampai selesai sebelum mereka diijinkan.
  • Paska kecelakaan tragis
  • Puas dengan membebankan penyebab kecelakaan hanya pada satu orang dan telah memberinya tindakan disiplin
  • Tindak lanjuti dengan audit kasus, untuk mengetahui seberapa jauh penyebab kecelakaan jenis itu telah menjadi common practice di seluruh area operasi perusahaan.
  • Paska mendapat penalty dari pemerintah
  • Masih berpikir kecil dan lokal
  • Kesempatan memperbaiki strategi besar penerapan keselamatan termasuk pola hubungan kerja dengan para mitra kerja kontraktor yang selama ini mungkin telah menjadi penghambat efektivitas penerap program yang dibatasi oleh isi kontrak kerja dengan mereka.
  • Paska pelatihan
  • Setelah pelatihan selesai perusahaan belum menyiapkan  program penerapan yang terukur, setiap peserta sekedar diminta kesadarannya untuk menerapkan topik training itu sendiri-sendiri
  • Persiapkan program penerapan topik yang ditrainingkan itu sebelum pelatihan dimulai, sehingga usai pelatihan peserta bisa langsung menerapkan tanpa ada waktu kosong
  • Karyawan pulang training dari luar jobsite
  • Tidak ada kegiatan yang berbeda, semua berjalan normal-normal saja.
  • Usai pelatihan, karyawan harus diberikan akuntabilitas, bisa membuat program baru atau memodifikasi program yang sudah ada.
  • Paska safety induction perusahaan
  • Karyawan bekerja normal
  • Berikan karyawan baru induksi area kerja dan bila perlu diteruskan dengan on the job training dimentori oleh karyawan yang senior.

 

Menyiapkan program yang bisa mewadahi penerapannya adalah sama pentingnya dengan memberikan pelatihan itu sendiri.  Menyiapkan program yang harus dijalankan untuk karyawan yang dikirim pelatihan eksternal, sama pentingnya dengan membiayai mereka pergi training.

Marilah kita siapkan program penerapannya bersamaan dengan menyiapkan pelatihannya.  Mari kita manfaatkan setiap momentum untuk menghasilkan penerapan program safety setinggi-tingginya.  Selamat.

 

Artikel Jangan Sia-siakan Momentum_Majalah KATIGA

Terbit dimajalah KATIGA

Edisi No.67 I Agustus – September 2018 I Hal 49

Disadari atau tidak, profesi safety adalah profesi yang menuntut kemampuan mempengaruhi (influence) yang tinggi.  Dengan posisi Safety sebagai departemen support, dengan otoritas untuk penerapan safety sangat terbatas, tuntutan bisa membawa pengaruh menjadi lebih besar lagi.

Di sisi lain kesadaran akan safety pada karyawan tidak datang sendiri.  Pendidikan tinggi bukan jaminan bahwa kesadaran safetynya otomatis tinggi. Ketaatan beragama juga tidak menjamin tingkat ketaatan pada aturan safety.  Bahkan mereka yang sudah menduduki jabatan tinggipun tidak memberikan garansi bahwa kesadaran safetynya pasti tinggi.  Apalagi? Usia? Semakin lanjut usiapun juga tidak menggaransi  bahwa kesadaran safetynya tinggi.

Tingkat pendidikan, ketaatan agama, jabatan yang tinggi, serta usiapun, sama sekali tidak ada hubungannya dengan tinggi rendahnya kesadaran seseorang terhadap safety.  Bahkan yang terjadi sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan, ketaatan agama, jabatan, dan usia seseorang, semakin tidak mudah untuk dipengaruhi dan menuntut kemampuan dan jurus lebih canggih untuk mempengaruhi dan meyakinkannya.

Faktor pengaruh di dalam bidang safety sangat esensial.  Pengaruh juga merupakan unsur inti dari kepemimpinan.  Pemimpin yang kuat bukan ditentukan oleh besarnya otoritas, tetapi lebih pada seberapa besar pengaruh atau influence-nya pada orang di sekitarnya, baik ke bawah, ke samping, maupun ke atas.

Semua safety program seperti safety meeting, safety talk, pelatihan, coaching, artikel, banner, poster, dan publikasi yang lain, sejatinya dibuat untuk mempengaruhi mindset karyawan agar tumbuh kesadaran untuk berperilaku safe. Semua program Safety dirancang untuk mengkondisikan semua karyawan bisa terpengaruh pola pikirnya untuk mau berperilaku selamat. Pertanyaannya sekarang adalah, sebagai personel atau profesional Safety, seberapa kuat sesungguhnya pengaruh anda untuk meyakinkan karyawan, mitra kerja dan manajemen anda untuk berperilaku aman?  Kekuatan kita mempengaruhi sangat menentukan keberhasilan program safety di perusahaan anda.

Daya pengaruh anda sebaik apa? Jangan-jangan selama ini di dalam membawakan safety meeting atau safety talk anda, pada waktu anda mengajar, pada waktu memimpin meeting komite, pada waktu menulis artikel, pada waktu berkomunikasi dengan manajemen, ternyata anda hanya seorang “Messenger” atau pembawa berita, dan bukannya sebagai “Influencer” atau pembawa pengaruh.

Apakah ada bedanya? Ada, sangat besar.

Penyampai Berita (Messenger)

Pembawa Pengaruh (Influencer)

 Messenger

Influencer

1.      Mempelajari, hal ini bisa berupa:

  • Mengikuti pelatihan
  • Membaca buku dan artikel terkait
  • Membaca testimoni praktisi
  • Membaca tips para praktisi
  • Membuat atau memodifikasi materi presentasi yang sudah ada

2.      Meyakini

  • Menangkap esensi program
  • Menjiwai dan meyakini kebenaran program itu
  • Tidak ada kesempatan menerapkan program tsb, atau belum ada niat untuk menerapkan program yang diyakini

3.      Mempraktekkan

  •  Tidak ada kesempatan memprakekkan teori yang dikuasainya

 

4.      Memberikan testimoni

  • Tidak ada testimoni penerapan dari dirinya
  • Berperan sebagai penyampai dari testimoni dan tips-tips orang lain

 

 

5.      Mempresentasikan materi

  • Menyampaikan yang ia tahu saja
  • Menghindari membahas hal-hal yang akan menimbulkan pertanyaan
  • Tidak mampu meyakinkan kelebihan program ini
  • Penjelasannya mengambang
  • Tidak tuntas menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kritis
  • Kalau didesak, biasanya pakai jurus “pokoknya”

1.      Mempelajari, hal ini bisa berupa:

  • Mengikuti pelatihan
  •  Membaca buku dan artikel terkait
  •  Membaca testimoni praktisi
  •  Membaca tips para praktisi
  • Membuat atau memodifikasi materi presentasi yang sudah ada

2.      Meyakini

  • Menangkap esensi program
  • Menjiwai dan meyakini kebenaran program itu
  •  Menjalankan sendiri program itu

 

3.      Mempraktekkan

  • Konsekuen, walk the talk
  • Menjalankan apa yang telah diyakini
  • Mengatasi kesulitan yang ditemui pada waktu menjalankan
  • Sampai sukses menerapkan

4.      Memberikan testimoni

  • Menyampaikan genuine testimoni atau kesaksian terhadap keefektifan program dari pengalamannya sendiri
  • Pengalaman pribadi terbukti punya daya pengaruh paling tinggi
  •  Berbagi tips-tips bagaimana menjalankan program itu secara efisien

5.      Mejakinkan kekuatan (convincing) program itu untuk influencing.

  • Menyampaikan dengan pede yang ia yakini dan telah ia buktikan sendiri kebenarannya
  • Mendorong dan memotivasi untuk memakai program itu
  • Menjelaskan kelebihan program itu secara detil
  • Menjelaskan tips-tips mempraktekkannya dengan rinci
  •  Memberikan contoh-contoh nyata yang praktis
  • Menjawab semua pertanyaan dengan tuntas

 

Untuk bisa berkarier di safety sampai puncak, untuk bisa menjadi pengajar yang influencing, untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang menggigit ataupun untuk memilih perusahaan jasa pelatihan dan konsultasi yang akan menjadi mitra, pertimbangan unsur pengaruh sangat penting.

Akhirnya, untuk bisa memberikan pengaruh maksimum, sebagai personel safety memang harus memiliki sikap seorang great leader, yaitu selalu menyampaikan apa yang diyakini bersih genuine dari hati dan bukan sekedar menyampaikan teori.  Maka dari itu, untuk setiap program safety apapun:

  • Pelajari setiap program sampai mendalam, pahami keunikan masing-masing di dalam mencegah kecelakaan dan pastikan anda terus terupdate dengan perkembangan terkini
  • Yakini keefektifan program safety itu di dalam mencegah kecelakaan dan kenali keunikannya yang berbeda dari program safety yang lain
  • Terjun dan praktekkan sendiri program itu, rasakan semua suka duka penerapannya sampai berhasil
  • Simpulkan menjadi tips-tips penerapan yang paling efisien
  • Sampaikan (baik dalam meeting, komunikasi, tulisan, maupun mengajar) dengan tujuan convincing dan

Selamat.  Jadilah personel safety yang convincing dan influencing dan bukan sekedar sebagai penyampai berita.

 

 

 

caution

Insiden (kecelakaan) terjadi begitu saja tanpa memilih siapa yang menjadi korban, dimana lokasinya, sedang melakukan aktifitas apa dan kapan waktunya. Kita hanya bisa mengantisipasi agar insiden tidak terjadi baik pada diri kita atau orang di sekitarnya. Sebagai contoh, karyawan yang bekerja di ketinggian tanpa dilengkapi dengan alat proteksi jatuh memiliki potensi terjadinya insiden yaitu jatuh dari ketinggian. Sebagai antisipasi, maka disiapkan peralatan keselamatan untuk digunakan selama bekerja di ketinggian.

Kerugian terbesar dari sebuah insiden adalah cidera pada karyawan terlebih lagi jika sampai meninggal dunia. Karena hilangnya nyawa seseorang tak tergantikan dengan apapun dibanding peralatan yang rusak. Menyadari hal itu akan membantu seseorang untuk lebih waspada dalam bekerja.

Insiden adalah kejadian yang terkait pekerjaan dimana suatu cidera atau sakit penyakit (terlepas besarnya tingkat keparahan) atau kematian terjadi, atau mungkin dapat terjadi. Suatu insiden yang tidak menyebabkan cidera, sakit penyakit atau kematian dapat disebut sebagai “near-miss”, “near-hit”, “close call”, atau “kejadian berbahaya”. (Ref: OHSAS 18001v2007)

Berdasarkan definisi menurut OHSAS 18001 di atas, bahwa nearmiss masuk bagian dari insiden. Dan setiap insiden wajib dilakukan investigasi. Hal itu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan di dalam sebuah sistem manajemen apapun khususnya manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

Sebagai seorang karyawan yang sadar K3, tidak menghendaki insiden menimpa dirinya juga rekan kerja disekitarnya. Minimal untuk dirinya sendiri, kecuali bagi mereka yang tidak peduli terhadap keselamatan dirinya. Pencegahan insiden memiliki dua tujuan, yaitu mencegah insiden yang sama agar tidak terulang dan mencegah potensi terjadinya insiden yang sudah teridentifikasi pada saat membuat HIRA (Hazard Identification and Risk Assessment). Poin pertama mengacu pada rekomendasi hasil investigasi, sedangkan yang kedua adalah hasil dari analisa bahaya dan risiko.

Tujuan pencegahan insiden pada poin pertama tidak akan bisa dilakukan jika tidak ada laporan hasil investigasi insiden. Kemudian laporan hasil investigasi insiden tidak ada bisa dibuat jika tidak ada insiden yang dilaporkan. Kuncinya adalah pelaporan insiden. Semakin banyak insiden yang dilaporkan akan semakin baik, karena akan memudahkan dalam menentukan rekomendasi tindakan perbaikan supaya kejadian yang sama tidak terulang. Sebaliknya jika ada insiden yang tidak dilaporkan, maka akan berpeluang terjadinya insiden yang sama dan kemungkinan kejadian yang lebih besar lagi.

Karyawan yang hebat adalah yang berani melaporkan insiden, bukan yang menutupinya atau menganggap insiden sesuatu yang biasa saja. Namun tidak sedikit karyawan yang takut untuk melaporkan insiden. Ada beberapa alasan insiden tidak dilaporkan, antara lain:

1. Tidak mau terlibat dalam proses investigasi.
2. Menganggap insiden yang terjadi hanyalah kerugian yang kecil atau sedikit.
3. Khawatir performa K3 unit/ bagiannya dinilai buruk.
4. Pemahaman yang kurang mengenai tujuan dilakukannya investigasi.
5. Tekanan dari atasan atau pimpinan.

Jika mereka mau menyadari, bahwa tindakan tidak melaporkan insiden berarti membiarkan kerugian yang lebih besar. Sebagaimana lubang yang kecil di dalam perahu tidak diperbaiki, maka perahu tersebut lambat laun akan tenggelam. Oleh karena itu janganlah menjadi karyawan yang “ngeyel” atau menganggap “remeh” tentang insiden yang terjadi ditempat kerja. Jika belum mampu untuk memberikan kontribusi yang positif terhadap K3, minimal peduli terhadap diri sendiri untuk tidak menyumbang insiden.

Oleh: Ashari Sapta Adhi

Ini Daftar Perusahaan Peraih Penghargaan Indonesia Mining Services Awards 2022

Ini Daftar Perusahaan Peraih Penghargaan Indonesia Mining Services Awards 2022 Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo/IMSA)menggelar Indonesia Mining Services Awards 2022 di Pullman Bali »

Buku 100 Anak Tambang Indonesia

  Lembar Pemesanan Buku 100 ATI »

Inspeksi The Leader Way

Inspeksi adalah salah satu program pencegahan kecelakaan yang paling populer.  Semua perusahaan industri besar kecil semua memakai pogram inspeksi.  Semua jenjang karyawan dari level pekerja sampai »

Sobat, Mobil Tangki yang membawa BBM atau LPG membawa muatan sangat berbahaya. Maka dari itu, Sobat Pertamina harus memahami Titik Buta atau Blind Spot dari Mobil Tangki untuk keselamatan berkendara dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Simak video selengkapnya untuk mengetahui apa itu Blind Spot pada Mobil Tangki Pertamina. Jangan lupa juga like, share, dan subscribe untuk mengetahui video paling update seputar Pertamina.

Official Website : http://www.pertamina.com

 

Tugas personel Safety dalam penerapan SMKP Minerba.

Dwi PudjiarsoDewasa ini semua operasi pertambangan di tanah air sedang super sibuk dengan penerapan SMKP Minerba.  Tidak sedikit KTT (Kepala Teknik Tambang), terutama yang belum melakukan internal audit bekerja keras mengejar deadline yang telah ditetapkan oleh pemerintah.  Banyak juga PJO (Penanggung Jawab Operasional) perusahaan jasa pertambangan yang kini terbirit-birit memenuhi batas waktu penerapan SMKP yang diberikan oleh KTT dimana mereka bekerja. 

Tidak terasa SMKP Minerba sudah berusia hampir 3 tahun.  Waktu 3 tahun ini seharusnya lebih dari cukup untuk menerapkan sebuah sistem sampai mendapatkan sertifikasi, tentu saja jika dikelola dengan baik. Kini faktanya masih jauh dari harapan, maka di mana masalahnya?

Sesuai profesi penulis  sebagai orang safety maka penulis akan menyoroti hal ini dari sisi peran dan tanggung jawab orang safety,  Apa saja yang belum bisa mereka berikan kepada perusahaannya sehingga sebagian besar penerapan SMKP Minerba masih berjalan terseok-seok? Menariknya problema ini bukan terjadi pada perusahaan pertambangan kecil dan menengah saja, tetapi juga perusahaan pertambangan besar.

Jadi peran apa yang sesungguhnya harus dimainkan oleh profesi safety tambang, atau bagian K3 dan KO (keselamatan operasional) menurut SMKP Minerba dalam hajatan besar penerapan SMKP Minerba di dunia tambang saat ini?  Kehadiran SMKP Minerba Permen ESDM 38 Tahun 2014 sendiri, sebetulnya telah meringankan tugas para personel safety tambang, karena sebagai peraturan pemerintah maka tidak ada pilihan bagi semua perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan di Republik Indonesia untuk mematuhinya.  Sehingga tugas personel safety adalah menjadi motor penerapan.

Kalau kita bandingkan dengan masa sebelum adanya SMKP Minerba, di mana untuk penerapan sebuah sistem manajemen baku internasional harus melalui proses proposal dan approval yang panjang melalui pertimbangan teknis, politis dan bisnis sebelum mendapatkan persetujuan, kini penerapan sistem SMKP Minerba hanyalah perihal kewajiban mematuhi peraturan pemerintah Indonesia. Sehingga sekali lagi, tugas orang safety adalah untuk fokus bagaimana menjadi pemrakarsa implementasi yang baik.

Dari perjalanan 38 tahun di dunia safety, penulis menyimpulkan bahwa tugas dan kewajiban personel safety bisa dikelompokkan menjadi 5 plus 2.  Apa itu? LIMA tugas orang safety adalah 1) Pengelola Statistik 2) Pendesain Program 3) Pengembang kompetensi safety 4) Penilai penerapan safety dan 5) Pengorganisir kegiatan safety, dan DUA tugas sisanya adalah 1) Sebagai staf ahli bidang safety dan 2) Sebagai motor implementasi safety.

Kenyataan pada saat ini, masih banyak generasi safety penerus yang belum menyadari peran strategis 5 plus 2 ini.  Beberapa cerita berikut mengindikasikan hal itu.

Majalah K3 5+2

Pada kesempatan informal bersama seorang eksekutif tambang, di depan Safety Managernya ia mempertanyakan kepada penulis , sebagai salah seorang perumus, tentang SMKP Minerba yang dianggap sebagai produk legal yang mengada-ada karena sudah ada SMK3.  Di beberapa kesempatan yang berbeda, setelah mengetahui bahwa penulis  adalah salah satu perumus SMKP Minerba, beberapa eksekutif tambang menyampaikan pandangannya pada penulis  bahwa SMKP Minerba adalah tambahan pekerjaan kertas saja.  Cara-cara berpikir para eksekutif seperti itu adalah potret dari pola pikir personel safety mereka.  Menyedihkan.

Pada sebuah forum praktisi safety, dilempar pertanyaan mengapa penerapan SMKP Minerba berjalan lamban.  Jawaban mereka berkisar pada “Komitmen manajemen yang rendah”, “Manajemen belum paham”, “Belum cukup sosialisasi”, “Merasa belum wajib menerapkan karena hanya perusahaan tambang kecil”, “Perusahaan merasa sudah punya sistem sendiri”, “Kesulitan mengintegrasikannya ke sistem perusahaan”, “Kewajiban dari HO mereka sudah terlalu banyak”, dan seterusnya yang sebetulnya menelanjangi mereka sendiri sebagai orang safety, bahwa sebagai orang safety mereka belum menjalankan fungsi yang seharusnya. 

 

Adalah personel safety yang mempunyai kewajiban membuat manajemen paham sampai komit, mensosialisasikan ke seluruh organisasi, menjelaskan bahwa tambang besar ataupun kecil semua wajib menerapkan, bahwa sistem keselamatan yang lain bersifat sukarela, bahwa urusan dengan HO adalah urusan internal masing-masing, dan seterusnya.  Nampak bahwa di dalam pagelaran besar penerapan SMKP Minerba, banyak dari personel safety yang baru sebatas sebagai obyek atau bahkan penonton, belum menjadi subyek apalagi aktor utama. Padahal kini pembeda antara personel safety tambang dengan personel safety lainnya adalah dalam hal penguasaannya terhadap sistem SMKP Minerba.

dalam penerapan SMKP Minerba, sebetulnya tidak ada yang sulit apabila mindset 5 plus 2 ini diterapkan.

1)     Tugas Pengelola Statistik.

Meski statistik termasuk bidang yang tidak berubah di dalam SMKP Minerba, adalah fakta bahwa banyak personel safety yang memandang sebelah mata pada tugas yang satu ini.  Padahal dari tujuh tugas 5 plus 2 ini,  tugas pengelolaan statistik  hanya bisa dilakukan oleh bagian safety sendiri.  Tugas lainnya bisa dilakukan oleh departemen.

2)     Tugas Pendesain Program. 

Di dalam penerapan SMKP, peran sebagai pendesain program memiliki porsi sangat besar. Untuk bisa melakukan tugas pendesain tentu saja personel safety harus terlebih dahulu memahami kriteria SMKP Minerba dan intepretasi setiap elemen dan sub elemennya. Dari sana personel safety baru mulai mendesain organisasi fungsional yang dibutuhkan, peran tanggung jawab struktural dan fungsionalnya, dokumen owner dan dokumen kontraktornya, dokumen sistem dan dokumen kendali risikonya, cara melakukan gap analisisnya, strategi dan pendekatan penerapannya, serta masih banyak kebutuhan desain-desain lainnya. 

3)     Tugas Pengembang Kompetensi Safety. 

Syarat sukses suatu sistem manajemen adalah semua anggota manajemen mengerti peran tanggung jawabnya dan setiap orang dari mereka mampu menjalankannya.  Maka di samping tugas mendesain sistem pelatihan dalam bentuk sebuah masterplan, penting juga pelaksanaan pelatihan atau sosialisasinya, baik dilakukan sendiri atau memakai jasa pihak ketiga.

4)     Tugas Penilai Penerapan SMKP Minerba. 

Ini adalah peran evaluasi pelaksanaan program seperti inspeksi, observasi, investigasi, monitoring, audit dsb untuk mengetahui tingkat penerapan sistem SMKP Minerba. 

5)     Tugas Pengorganisir Kegiatan Safety. 

Seperti pelaksanaan sebuah sistem manajemen pada umumnya, penerapan SMKP Minerba juga akan membutuhkan banyak aktivitas kantor maupun lapangan lintas departemen bahkan lintas perusahaan jasa pertambangan sepanjang tahun dari bulan Januari sampai dengan Desember, yang semua itu membutuhkan koordinasi yang kuat. 

Adapun DUA tugas personel safety sisanya nya adalah:

1)     Tugas Staf Ahli Bidang Safety. 

Sebagai karyawan yang direkrut oleh perusahaan khusus menangani safety, maka sudah sewajarnya personel safety harus mampu mendudukkan diri sebagai staf ahli bidang safety bagi perusahaan.

2)     Tugas Motor Pengembangan dan Implementasi. 

Posisi sekretaris setiap organisasi safety baik struktural maupun fungsional di perusahaan, harus dipegang oleh personel safety.  Melalui jabatan sekretaris, personel safety akan menjadi motor pelaksanaan program.

Di tulisan-tulisan  berikutnya,  penulis akan ulas tuntas petihal setiap peran 5 plus 2 .  Pertanyaan maupun masukan terhadap tulisan ini sangat diharapkan.

Salam K3L,

Dwi Pudjiarso

 

Majalah Katiga No. 64, hal 46 Majalah Katiga No. 64, hal 47

Ini Daftar Perusahaan Peraih Penghargaan Indonesia Mining Services Awards 2022

Ini Daftar Perusahaan Peraih Penghargaan Indonesia Mining Services Awards 2022 Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo/IMSA)menggelar Indonesia »

Inspeksi The Leader Way

Inspeksi adalah salah satu program pencegahan kecelakaan yang paling populer.  Semua perusahaan industri besar kecil semua memakai pogram inspeksi.  »

Ketangguhan sistem K3 kita diuji

Delapan bulan sudah Covid 19 melanda dunia. Wabah yang bermula dari Wuhan sebuah kota kecil di China tersebut dengan kecepatan supersonik telah »

Cambuk bagi profesional safety

Dunia pertambangan di Indonesia kehabisan air mata. Kecelakaan yang merenggut nyawa karyawan terus terjadi. Begitu banyak karyawan tambang kembali »