Delapan bulan sudah Covid 19 melanda dunia. Wabah yang bermula dari Wuhan sebuah kota kecil di China tersebut dengan kecepatan supersonik telah tersebar melintasi pulau dan benua ke antero planet bumi dalam waktu pendek. Negara besar kecil, masyarakat religius maupun bukan, kalangan dengan strata pendidikan tinggi maupun rendah, golongan berada serta lapisan marginal, tua muda, tidak ada yang luput dari terjangan virus yang tidak kasat mata ini.
Covid 19 yang dinyatakan sebagai darurat kesehatan dunia pada Januari 2020, dan secara resmi ditetapkan sebagai pandemi pada tanggal 11 Maret 2020, memenuhi kriteria krisis dari Seeger, Sellnow, and Ulmer, yaitu mengagetkan (surprise), ketidakpastian (uncertainty), dan menjadi ancaman (threat) suatu organisasi dalam mencapai goal mereka. Venette menambahkan satu kriteria lagi, yaitu apabila mampu membuat sistem yang ada (existing system) tidak berfungsi lagi.
Jelas sekali, Covid 19 sangat memenuhi kriteria untuk diperlakukan sebagai krisis, baik bagi organisasi suatu perusahaan, organisasi negara, bahkan organisasi terkecil sebuah keluarga. Covid 19 menyerang semua orang tidak pandang bulu, semua bidang pekerjaan, di dalam area kerja (on the job) maupun di luar area kerja (off the job), pada waktu bersamaan, dan dalam durasi yang panjang, yang sampai sekarangpun belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Selain itu, sebagai krisis, Covid 19 juga berbeda dari krisis yang lain seperti bencana alam gempa, banjir, atau bencana teknologi seperti kebakaran, ledakan dsb, terutama dari sisi luasan dampak dan durasi terjadinya. Untuk gempa bumi, daerah terdampaknya jelas terbatas. Intensitas getaran gempanya juga tidak lama. Dalam beberapa hari akan berhenti. Tindakan penanganan krisisnya terpusat di daerah yang terdampak gempa. Daerah lain bahkan negara lain, semua bisa datang dengan aman untuk membantu meringankan beban kepada yang terdampak agar bisa segera bangkit kembali.Â
Covid 19 tidak seperti itu. Covid 19 berbeda. Dari sisi cakupan tidak ada duanya, semua yang ada di permukaan planet bumi tidak ada yang luput dari sergapannya. Semua orang terdampak, semua masyarakat terdampak, bahkan semua negara. Waktu terjadinya krisis, relatif bersamaan dan dengan durasi yang sangat panjang. Setelah 8 bulan berjalan, belum nampak tanda-tanda untuk mereda.
Tidak mengherankan apabila banyak pemimpin bangsa dan para CEO perusahaan-perusahaan besar juga terkesan telat meresponnya Tidak mengejutkan apabila para praktisi K3pun juga banyak yang terlambat menanggapinya. Kehandalan praktisi K3 benar-benar diuji. Ketangguhan Sistem Manajemen K3 hasil karya merekapun dijajal. Bagi yang telah merespon, ada yang tanggapannya belum total, masih setengah-setengah.
Karena sifat-sifat krisis yang surprise, banyak ketidakpastian (uncertainty), penuh ketidaktahuan (unfamiliarity), mengancam kelangsungan bisnis, serta tidak bisa ditangani dengan prosedur tanggap darurat harian, maka krisis membutuhkan penanganan yang spesifik dan oleh jenjang pengambil keputusan. Krisis membutuhkan kecepatan memperoleh informasi baru, update perkembangan terkini baik dari badan dunia maupun dari pemerintah, kesiapan berubah dan kelenturan beradaptasi, yang menuntut keputusan-keputusan cepat di level executives, karena tidak jarang menuntut pengucuran dana di luar budget yang besar.
Namun banyak perusahaan yang telambat merespon. Kemunculan Covid 19 yang perlahan-lahan dan tidak nampak mata telah mengelabui siapa saja dan telah membuat banyak pimpinan dan praktisi K3 meragukan bahwa Covid 19 bisa menjadi crisis. Sehingga tidak heran kalau masih banyak perusahaan yang sampai sekarangpun belum pernah menjatakan Covid sebagai crisis di perusahaannya. Atau kalau sudah mulai meresponpun, mereka menghadapinya masih setengah hati.Â
Sebetulnya bagi sebagian besar masyarakat, perusahaan atau negara di dunia, Covid relatif bukan sesuatu yang terjadi mengagetkan seperti datangnya gempa, banjir bandang atau ledakan. Sejak diberitakan pertama di Wuhan pada akhir Desember 2019, seluruh dunia mendengar, semua sumber berita menyiarkan. Namun hampir tidak ada yang langsung action. Ketika WHO menyatakan Covid 19 sebagai pandemi dunia, juga masih belum serta merta setiap pimpinan negara maupun pimpinan perusahaan menyatakan Covid 19 sebagai krisis perusahaan. Semua masih menunggu dan dalam keraguan apakah benar Covid 19 bisa menjadi krisis bagi organisasinya, dan andaikata bisa belum jelas tergambar seperti apa bentuknya.
Itulah mengapa tidak sedikit penanganan Covid 19 yang dipercayakan kepada tasfkforce atau tim kerja yang bersifat ad hoc, sementara, atau sebagai berupa tugas tambahan. Ada juga yang menanganinya di luar sistem keselamatan perusahaan yang ada. Banyak pertanyaan bahkan kelompok diskusi yang topik bahasannya sekitar “Bagaimana mengelola K3 di tengah pandemi Covid 19?”, dan bukan “Bagaimana sistem manajemen K3 menangani Covid 19?” Meninggalkan pesan bahwa program K3 dan program penanganan Covid 19 adalah dua hal yang terpisah. Pertanyaan seperti itu juga memberikan petunjuk bahwa mereka belum melakukan risk assessment terhadap kehadiran Covid 19. Itulah jawabannya kalau peta risiko Covid 19 terhadap organisasi perusahaan kabur, banyak keputusan-keputusan bersifat reaktif, sepotong-sepotong serta tidak terintegrasi dengan sistem manajemen K3 yang ada, maupun terhadap sistem manajemen SDM perusahaan.
Penanganan krisis harusnya sudah ada dan diatur di dalam sistem manajemen keselamatan perusahaan, SMKP kalau di pertambangan maupun sistem manajemen keselamatan lain yang dianut oleh perusahaan. Crisis Management Plan (CMP) yang di dalamnya ada Crisis Management Team (CMT)  harus masuk menjadi bagian dari sub elemen Emergency Response di sistem K3 perusahaan. Di mana melalui asesmen yang terukur telah menetapkan kejadian apa saja yang bisa mengganggu kelangsungan bisnis, sehingga dikategorikan sebagai krisis perusahaan. Yaitu krisis yang harus ditangani oleh CMT.
Sehingga mudah bagi manajemen untuk menetapkan Covid 19 itu sebagai krisis, sehingga:
- Pimpinan tertinggi perusahaan segera menetapkan Covid 19 sebagai krisis.
- Crisis Management Team (CMT) dimobilisasi.
- Dan sejak saat itu penanganan krisis berada dalam kendali CMT sepenuhnya.
NFPA 1600-2013, yang bisa didownload secara gratis, telah mengatur secara detil pengelolaan Disaster/Emergency Management and Business Continuity Programs. SE Menaker RI No.M/7/AS.0202/V/2020 juga telah memberikan pedoman tentang Rencana Keberlangsungan Usaha Dalam Menghadapi Covid 19 & Protokol Pencegahan Penularan Covid 19 di perusahaan. Keduanya memberikan panduan jelas tentang pengelolaan krisis Covid 19.
Karena kehadiran Covid 19 telah mengubah pola dan tingkat risiko kesehatan di perusahaan, maka beberapa hal krusial dari penanganan krisis pada Covid 19 ini harus dijalankan. Mulai dengan Risk Assessment secara menyeluruh di semua business proses perusahaan termasuk mitra kontraktor dan sub kontraktor, dilanjutkan dengan Business Impact Analysis (BIA), Resource Needs Analysis, yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk menyusun strategi pelaksanaan Prevention, Mitigation serta Business Continuity Plan, agar operasi perusahaan tidak terhenti atau kalau terpaksa terdampak ditekan sekecil mungkin.Â
Benar tantangan terbesar krisis Covid 19 adalah kemampuan mencegah penyebaran, memitigasi yang telah terdampak, serta menjaga roda perusahaan masih berputar. Inilah yang disebut new normal atau ada yang menyebut adaptasi kebiasaan baru. Yaitu tetap beroperasi sambil menerapkan program pencegahan dan mitigasi Covid 19. Atau beroperasi sambil berdamai dengan krisis. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tepat sekali apabila selama krisis komando operasi perusahaan diambil alih oleh CMT, baik di tingkat lapangan maupun di tingkat pusat. Sehingga meeting koordinasi CMT dilakukan setiap hari bahkan ada yang lebih, antara CMT Pusat dan CMT Site, yang topik bahasan hariannya adalah seberapa bisa produksi dengan menjaga karyawan tetap terlindungi dari terjangkit Covid 19. Mindset telah berbalik. Slogan dan nilai-nilai integrasi berhasil diterapkan berkat Covid 19.
Perubahan besar-besaran terjadi. Protokol kesehatan Covid 19 masuk secara intens mewarnai prosedur kerja yang ada.  Penyesuaian (adjustment) terhadap prosedur, JSA, IK dan aturan kerja yang lain tidak terelakkan, persyaratan adaptasi yang harus dianut oleh perusahaan yang masih ingin terus beroperasi ditengah pandemi Covid 19. Dan ini hanya bisa terjadi apabila krisis Covid 19 ini dalam kendali CMT yang anggotanya adalah para decision maker level atas perusahaan, yang bisa mengambil keputusan-keputusan besar dengan cepat. Praktek CMT yang benar.
Melalui CMP, CMT bisa mendapatkan data tentang perkembangan Covid 19 dari WHO maupun dari Pemerintah RI, yang diolah dengan pola Leadership di masa krisis “Pause-Assess-Anticipate-Act Cycle”, memungkinkan terjadinya keputusan-keputusan besar dengan cepat, mengkomunikasikan update langsung kepada seluruh stakeholders, penerapan perubahan secara serentak di lapangan, serta evaluasi penerapan yang bisa dipantau harian.Â
Covid 19 telah menguji ketangguhan sistem manajemen K3 kita, Covid 19 telah menelanjangi kehandalan para praktisi K3, Covid 19 telah mengubah mindset para pengambil keputusan tingkat dewa, tetapi hanya kalau sistem manajemen keselamatan kita mampu menangani krisis Covid 19 ini dengan benar. Selamat.
Terbit pada majalah KATIGA
November – Desember 2020
Edisi No.74/XI/2020Â