Dunia pertambangan di Indonesia kehabisan air mata. Kecelakaan yang merenggut nyawa karyawan terus terjadi. Begitu banyak karyawan tambang kembali kepada sang pencipta dengan cara tak seorangpun pernah mengharapkan
Tahun 2019 sebanyak 18 nyawa hilang di tempat kerja, tempat mereka mencari nafkah. Ini merupakan kenaikan dari angka kecelakaan fatal tahun sebelumnya berjumlah 17.
Tahun 2020 baru memasuki bulan ke 3, kita juga sudah harus mengantarkan pekerja tambang pulang ke keluarganya di dalam peti mati. Semua tambang tersentak, kaget. Semua menangis, tetapi sudah tidak keluar air mata lagi, karena terlalu seringnya terjadi. Tinggal istri, anak-anak, orang tua dari pekerja tambang yang meninggal, airmatanya tumpah ruah ketika menerima kepala keluarga dan pahlawan pencari nafkah mereka, terbaring kaku membisu, diantar oleh perwakilan perusahaan.
Mari kita renungkan, meskipun setiap manusia yang hidup pasti kembali kepada Sang Pencipta, tetapi tidak ada yang bisa menerima kalau cara kembalinya karyawan kepada sang khaliq memalui kecelakaan kerja secara tragis di area tanggung jawab kita, akibat terpapar risiko yang sudah ada di register risiko kritis.
Dalam renungan saya, saya mencoba mencerna kembali kata-kata Dr. Drew Rae, seorang pakar keselamatan dari Australia, yang dalam suatu conference safety menyebutkan “Yang sangat menakutkan, semua kecelakaan ini terjadi ditengah banyaknya program safety, bukan karena tidak ada program safety”. Drew Rae mengajak kita untuk mereview apa yang kita lakukan “make sense”? Sudah “Be safe” atau baru “Be compliant”? Apakah benar semua kegiatan safety itu “improve safety”? Peserta conference tidak ada yang menyanggah ketika Drew Rae menyampaikan kekhawatiran ini.
Dalam keresahan saya, sebagai seorang praktisi safety yang mulai berkarier tahun 1979, pengembaraan saya di dunia maya terdampar pada tulisan Terry L. Mathis, pakar safety excellence dari USA, yang menyatakan: “Kebanyakan dari kita hanya mengajari team kita dengan pasal-pasal aturan, kita tidak mengajari mereka dengan filosofi atau konsep-konsep. Dan itu sangat dangkal”.
Jleb! Kata-kata Terry ‘nunjem’ tepat di relung hati saya yang paling dalam. Terry telah menjawab concern dari Drew Rae, meskipun mereka berada di dua benua yang berbeda dan berbicara di dua event yang berbeda. Itu jawaban yang selama ini saya cari. Paling tidak, pernyataan Terry tepat untuk kondisi dewasa ini. Kondisi di mana dunia safety telah merasa aman dengan banyaknya aktivitas yang mereka lakukan dan lengkapnya dokumen yang mereka miliki, sejak yang bernama prosedur, standard, JSA, IK, hasil risk assessment, laporan investigasi, rekomendasi audit, sertifikat pencapaian safety, dan masih banyak lagi.
Kata-kata Terry menusuk tajam merobek-robek hati saya sebagai seorang praktisi safety, mewakili para praktisi safety generasi muda yang ada di lapangan. Terngiang pedih kata-kata Terry “Hanya mengajari team kita dengan pasal-pasal, tidak mengajari konsep safety. Dan itu sangat dangkal”. Tegas sekali ini adalah area profesinya profesional safety. Bukan area profesi yang lain. Kenapa saya tidak terpikirkan itu selama ini.
Saya meyakini, bahwa peran dan tanggung jawab profesional safety itu kalau diringkas adalah “Binwas” atau Pembinaan dan Pengawasan, yang selama ini saya jabarkan menjadi 7, yaitu sebagai:
- Staf ahli bidang perusahaan.
- Sekretaris semua organisasi safety struktural maupun fungsional.
- Safety Statistic Keeper, pengawal klasifikasi kecelakaan sampai menjadi statistik.
- Arsitek atau designer program safety.
- Pengembang semua karyawan perusahaan agar bisa melakukan peran dan tanggung jawab safety mereka sesuai jenjang posisi dan departemennya masing-masing.
- Evaluator yaitu melakukan monitoring, review, evaluasi terhadap proses pengembangan maupun tingkat keefektifan penerapan safety.
- Event organizer, yang mengorganisir pelaksanaan berbagai kegiatan program safety lintas departemen dan kontraktor di suatu perusahaan sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember agar berjalan harmonis.
Dengan memakai definisi tersebut, sudah tidak terbantahkan bahwa concerns Drew Rae tadi dialamatkan kepada kami personel safety, bahwa belati Terry tadi dihujamkan ke hati para profesional safety. Bukan kepada yang lain. Kepada teman-teman seprofesi safety, mari kita jujur pada diri sendiri. Kalau dengan dua kali sebulan mengirim karyawan pulang kepada keluarganya dalam peti mati karena kecelakaan, belum mampu menyentuh hati kita, saya kuatir Tuhan akan menambahnya.
Untuk itu mari perenungan kali ini kita fokuskan lebih dalam kepada peran para profesional safety. Saya mencoba menindaklanjuti concern kedua pakar safety di atas.
Kita hanya mengajarkan pasal-pasal aturan dan tidak mengajarkan konsep dan filosofi dari setiap program safety. (Terry L. Mathis)
- Tepat sekali. Ini harus diterima sebagai kritikan keras bagi profesional safety, karena jangankan memahami konsep program pencegahan kecelakaan, faktanya masih banyak dari kita yang menjadi orang safety karena tidak diterima di tempat lain. Sudah begitu masih tidak mau belajar.
- Menyusun prosedur lebih karena tuntutan klausul sistem yang dipakai, daripada karena kebutuhan perangkat pencegahan kecelakaan.
- Menerapkan prosedur atau regulasi di lapangan lebih pada memastikan pemenuhan pasal-pasal prosedur dan regulasi, daripada memastikan bagaimana konsep atau tujuan prosedur itu mencegah kecelakaan bisa dicapai.
- Banyak yang tidak pernah ikut menyusun prosedur, atau bahkan memahami prosedur yang ada saja, belum.
Banyak sekali kegiatan safety kita
lakukan, tetapi benarkah itu semua improve safety? (Drew Rae)
- Banyak fakta pelanggaran sehari-hari yang sangat obvious (mudah dilihat), dimana personel safety:
a. Bukannya memperbaikinya, tetapi malah meminta manajemen mengundang konsultan untuk mengukur maturity sistemnya.
b. Tenang-tenang saja melihat banyak prosedur tidak berjalan. Tidak berusaha me-review, mengapa kok yang melanggar banyak, jangan-jangan yang salah prosedurnya.
c. Baru terlihat pelanggaran itu ketika terjadi kecelakaan. Artinya: kalau karyawan berani melakukan pelanggaran yang obvious, berarti pengawasan atau kontrol sehari-harinya memang lemah. - Terhadap Register Risiko Kritis perusahaan, banyak personel safety:
a. Membiarkan saja meski tahu bahwa Register Risiko Kritis itu tidak nyambung dengan hasil dari risk assessmentnya.
b. Membiarkan saja mengetahui Register Risiko Kritis tidak dilengkapi dengan ruang lingkup pekerjaan yang mengandung risiko kritis tersebut, sehingga pengawas dan pekerja harus mengerti sendiri.
c. Membiarkan pengawas harus memakai Register Risiko Kritis Departemen yang tidak semuanya berlaku untuknya, tidak ada ide untuk membantu pengawas memiliki Register Risiko Kritis Pengawas yang berisi hanya Risiko Kritis area kerja pengawas sendiri bersama crew.
d. Membiarkan saja hasil risk asessment, Register Risiko Kritis tidak di-update meskipun kondisi lapangan dan aktivitas sudah berubah, meskipun Prosedur Perubahan sudah menemukan perubahan-perubahan. - Pengawas sendiri melakukan pelanggaran bahkan celaka.
a. Kalau pengawas melakukan pelanggaran, bisa disimpulkan bahwa pengawas itu tidak atau salah memahami prosedur yang berlaku.
b. Dan ketika pengawas melakukan pelanggaran mestinya juga mudah terlihat karena pasti diikuti oleh crewnya. Tetapi ini juga tidak terdeteksi sehingga terjadi kecelakaan.
c. Kepedulian personel safety untuk action waktu melihat ketidakberesan masih sangat lemah. - Tim Investigasi insiden puas setelah menemukan ada yang melanggar dan ada yang bisa ditindak. Padahal pelanggaran itu baru merupakan indikator bahwa ada yang tidak lancar dalam proses suatu kegiatan. Personel safety yang menjadi sekretaris tim investigasi harusnya meminta tim investigasi untuk melanjutkan penyelidikan sampai menemukan cukup data untuk bisa menyimpulkan, pelanggaran itu merupakan kasus individu atau pelanggaran masal, yaitu telah dilakukan oleh banyak orang sehari-hari tidak terkoreksi. Dengan begitu, rekomendasi investigasi kecelakaan pasti akan berbeda.
teman-teman seprofesi. Tugas kita
sebagai Binwas keselamatan di tambang menuntut totalitas dan extra mile dari kita. Selamat.
Terbit dimajalah KATIGA
Edisi No.73 I Mei-Juli I Hal 36-37