Sekali pun ada kenaikan, kata Djoko, faktor penyebabnya adalah biaya pengadaan dan perawatan peralatan tambang yang harus dibayar dengan dollar Amerika Serikat. “Jadi belum terlalu berdampak besar kepada industri pertambangan,” kata Djoko.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, realisasi investasi di sektor minerba terjadi pasang surut. Pada tahun 2014 misalnya, realisasi investasi menyentuh US$ 8,2 miliar. Sedangkan setahun berselang melorot menjadi US$ 5,3 miliar.
Pada tahun 2016 naik lagi menjadi US$ 7,3 miliar, dan setahun berselang turun lagi menjadi US$ 6,1 miliar. Pada tahun 2018, investasi minerba naik lagi ke angka US$ 6,8 miliar. Sementara hingga Semester I tahun ini, realisasi investasi minerba baru mencapai US$ 2,1 miliar.
Singgih bilang, ada sejumlah faktor yang menentukan besaran investasi minerba. Yakni dari proyeksi harga komoditas tambang, regulasi pemerintah, serta kompetisi dengan negara lain dalam menarik investor.
“Pemerintah harus bersikap riil, karena tidak mudah untuk menarik investasi di sektor pertambangan, apalagi untuk eksplorasi,” terang Singgih.
Dalam hal ini, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko menekankan bahwa eksplorasi dan pembukaan area baru pertambangan sangat diperlukan. Ia bilang, eksplorasi diperlukan untuk menjaga neraca sumber daya dan cadangan yang saat ini terus berkurang lantaran produksi terus digenjot.
Di samping itu, eksplorasi ini bisa menggenjot investasi di sektor tambang minerba. “Ini akan menarik investor. Tapi saat ini eksplorasi berjalan lesu sehingga minim penemuan baru,” kata Sukmandaru.
Seperti yang telah diberitakan Kontan.co.id, sejak tahun 2018 lalu, nasib Wilayah Izin Usaha Pertambangan/Khusus (WIUP dan WIUPK) belum ada yang jelas. Lelang tambang tersendat, lantaran terganjal oleh masalah administrasi dan hukum. Meski begitu, baru-baru ini, Kementerian ESDM kembali mengeluarkan 13 WIUP/WIUPK baru.
Ketiga, produksi batubara, besaran Domestic Market Obligation (DMO) dan harga batubara US$ 70 per ton untuk listrik. Menurut Singgih Widagdo, kekurangan menonjol dalam pengelolaan batubara adalah koordinasi yang tidak optimal antara Kementerian ESDM dan Pemerintah Provinsi dalam mengendalikan produksi batubara.
Padahal, realisasi produksi batubara yang selalu jumbo dan melebihi target awal mengakibatkan kelebihan pasokan, yang kemudian mendorong tren penurunan harga. Sementara itu, Hendra Sinadia menyoroti terkait dengan besaran persentase DMO dan juga harga khusus untuk kelistrikan yang dipatok US$ 70 per ton sejak Maret 2018 lalu.
Hendra menilai, kebijakan tersebut perlu ditinjau ulang. Apalagi, harga khusus untuk listrik akan berakhir pada akhir tahun 2019 ini. “Itu dirasa menghambat pelaku usaha disaat tekanan dari pasar dan harga komoditas yang terus melemah,” ungkapnya.
Keempat, mengenai hilirisasi. Terkait dengan poin ini, Direktur Center For Indonesian Resources Strategic Studies (CIRUS) Budi Santoso berpendapat, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi permasalahan yang dihadapi pengusaha nasional untuk mewujudkan hilirisasi.
“Kebijakan ini telah gagal pada tenggat waktu yang ditetapkan yakni tahun 2014, 2017, dan tahun 2022 ang juga berpotensi gagal,” kata Budi.
Budi mengungkapkan, selama ini ada beberapa kesulitan pengusaha tambang nasional dalam membangun smelter mulai dari perizinan, teknikal (sumberdaya dan cadangan), infrastruktur, keuangan dan pasar yang secara praktik bisnis tidak memungkinkan bisa dicapai hanya dalam kurun waktu 5 tahun.
Budi berpendapat, pemerintah perlu meninjau kembali konsep hilirasi yang mengikat dengan Izin Usaha Pertambangan untuk lebih mendorong ke produk hilirnya atau ke industri.
“Juga menjamin smelter yang sudah beroperasi membeli bijih nikel tidak melalui perantara sehingga harga jual dari pemilik tambang kepada smelter mendekati harga pasar,” ungkap Budi.
Sumber – https://industri.kontan.co.id