Operator mengoperasikan alat berat bekerja di terminal batubara Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, Rabu (9/1/2019).Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah mengalami tiga kali pergantian menteri selama lima tahun kabinet kerja Joko Widodo jilid I. Banyak kebijakan yang diterbitkan, tak terkecuali di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba).

Ada yang dinilai sebagai capaian positif, namun ada pula yang mengundang polemik. Menurut Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif, penataan perizinan, negosiasi kontrak dan juga divestasi perusahaan tambang berskala raksasa menjadi catatan positif bagi tata kelola pertambangan.

“Sesuai aturan sudah harus divestasi. Itu (capaian) positif, (Kementerian) ESDM, BUMN dan Keuangan yang di support Presiden,” kata Irwandy kepada Kontan.co.id, Senin (21/10).

Divestasi yang dimaksud adalah 51,23% saham PT Freeport Indonesia yang kini digenggam oleh holding tambang BUMN, MIND ID sejak 21 Desember 2018 lalu. Yang terbaru ialah divestasi 20% saham PT Vale Indonesia Tbk yang juga diserap oleh MIND ID.

Sementara untuk amandemen kontrak dari pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sudah seluruhnya rampung pada Mei 2019 lalu. Dengan begitu, seluruh perusahaan minerba sudah setuju untuk berubah status dalam rezim Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebelumnya, amandemen kontrak ini sudah terkatung-katung sejak tahun 2010 lalu.

Selain itu, Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai pengimplemetasian sistem online, seperti e-PNBP dan Minerba Online Monitoring System (MOMS) menjadi langkah penting untuk mendorong pengelolaan yang lebih transparan dalam produksi dan penjualan hasil tambang.

Kendati begitu, ada sederet catatan dari lima tahun pengelolaan pertambangan minerba, yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi Menteri ESDM di kabinet Jokowi Jilid II. Setidaknya, ada empat poin pokok yang disampaikan oleh asosiasi, pengamat dan stakeholders pertambangan minerba.

Pertama, mengenai kepastian hukum dan perpanjangan kontrak. Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno menekankan, hal itu khususnya terkait dengan revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Minerba.

Menurutnya, kepastian soal revisi UU Minerba ini sangat penting bagi pelaku usaha, terutama menyangkut dasar hukum perpanjangan izin PKP2B yang akan habis kontrak. “Kapan itu akan selesai? keadaan di lapangan rumit dan perlu penyelesaian. Juga butuh kebijakan minerba yang komprehensif,” ungkap Djoko.

Hal senada juga ditekankan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia. Menurutnya, kepastian hukum baik dari segi perpanjangan kontrak maupun revisi UU Minerba sangat urgent bagi pelaku usaha. “Itu isu urgent yang perlu dibahas, untuk kepastian investasi jangka panjang,” kata Hendra.

Seperti diketahui, ada tujuh PKP2B generasi pertama yang akan habis kontrak dalam rentang tahun 2020-2025. Beberapa diantaranya merupakan perusahaan batubara berskala jumbo, seperti PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Kideco Jaya Agung.

Kedua, dari sisi investasi, eksplorasi dan lelang tambang. Ketiganya dinilai saling berkaitan. Menurut Djoko Widajatno, investasi minerba dalam lima tahun terakhit minim menyentuh aktivitas eksplorasi dan penemuan cadangan baru.

Berikan Komentar