Sempat mangkrak, pemerintah lanjutkan revisi PP 23/2010 tentang PKP2B

Foto aerial bekas tambang batu bara di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (28/8/2019). Kementerian LHK akan memperbaiki lubang-lubang bekas tambang di kawasan calon ibu kota negara baru. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

Setelah sempat mangkrak di tahun lalu, pemerintah akhirnya memutuskan kembali melanjutkan revisi keenam atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba).

Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi membenarkan, kelanjutan revisi PP 23/2010 itu telah dibahas dalam rapat di Sekretariat Negara (Setneg). Menurut Hufron, rancangan revisi PP (RPP) tersebut sudah selesai melalui proses pembahasan, harmonisasi dan juga klarifikasi bersama kementerian terkait.

“Sudah selesai pembahasan,” kata Hufron saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (12/1).

Menurut informasi yang diterima Kontan.co.id, rapat klarifikasi untuk menindaklanjuti revisi PP 23/2010 itu digelar pada Jumat (10/1) lalu bertempat di Kantor Kementerian Sekretariat Negara.

Rapat yang dipimpin oleh Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan itu melibatkan sejumlah kementerian dan lembagai terkait, yakni Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kemenko Bidang Perekonomian, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Kementerian Hukum dan HAM, dan Sekretariat Kabinet.

Sebagai informasi, revisi keenam PP Nomor 23 tahun 2010 ini pada pokoknya disiapkan untuk mengatur perizinan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), khususnya dalam perpanjangan kontrak dan perubahan statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Revisi regulasi tersebut sudah mencuat sejak November 2018 lalu. Pemerintah awalnya menargetkan revisi PP Nomor 23/2010 bisa rampung pada akhir tahun 2018, namun penyelesaiannya terus molor hingga 2019.

Kontan.co.id mencatat, pada Januari 2019, tepat setahun lalu, RPP Nomor 23/2010 sebenarnya sudah disetujui dan diparaf oleh menteri terkait, yakni Menteri ESDM, Menteri Keuangan, dan Menko Perekonomian. Namun, revisi PP 23/2010 ini terganjal surat dari Rini Soemarno, Menteri BUMN saat itu.

Dalam surat yang disampaikan ke Menteri Setneg pada 1 Maret 2019 itu, Rini meminta supaya BUMN diberikan porsi pengelolaan terhadap tambang PKP2B yang akan habis kontrak.

Polemik perpanjangan kontrak PKP2B pun berlanjut. Sejak pertengahan hingga akhir tahun 2019 lalu, polemik tidak lagi pada revisi PP 23/2010, namun beralih ke revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 alias UU Minerba. Revisi UU Minerba saat ini tengah bergulir. Komisi VII DPR RI menargetkan, revisi tersebut bisa rampung pada Agustus tahun ini.

Kendati begitu, Hufron Asrofi mengklaim, revisi PP 23/2010 dibutuhkan lantaran dinilai paling memungkinkan untuk segera diterbitkan, sehingga bisa memberikan kepastian hukum dan investasi. Dibandingkan harus menunggu penyelesaian revisi UU Minerba yang masih harus dibahas di DPR.

“Mungkin RPP ini dianggap yang paling siap agar ada landasan hukum dan kepastian investasi, serta menjamin penerimaan negara,” ungkapnya.

Menurut Hufron, karena pada saat itu keberatan datang dari Kementerian BUMN, maka klarifikasi pun telah diberikan. Hufron bilang, saat ini revisi PP 23/2010 ini tinggal menunggu paraf dan persetujuan dari Menteri BUMN, Erick Thohir. Setelah itu, proses berlanjut dengan penyerahan RPP 23/2010 ke Presiden Joko Widodo disahkan.

“Tinggal menunggu paraf Menteri BUMN dan pengesahan presiden,” kata Hufron.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa pelaku usaha tengah menunggu kepastian dari pemerintah. Menurutnya, kepastian hukum dan investasi penting diberikan, baik dalam bentuk revisi PP maupun revisi UU.

“Kami ikut saja opsi yang mana yang akan diambil pemerintah. Kami yakin pemerintah akan memahami urgensinya dan dampaknya terhadap perekonomian nasional,” kata Hendra kepada Kontan.co.id, Minggu (12/1).

Pengamat hukum pertambangan Ahmad Redi bilang, dilanjutkannya revisi PP nomor 23/2010 ini terkesan dipaksakan. Apalagi, selain pembahasan revisi UU Minerba, saat ini tengah disusun omnibus law tentang Cipta Lapangan Kerja, yang di dalamnya juga memuat substansi mengenai pengelolaan minerba.

“Ada duplikasi law making process yang tidak efektif. ekonomisasi kekuasaan seperti terjadi dalam pembuatan regulasi,” kata Redi.

Senada, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengungkapkan, pemerintah semestinya tetap fokus untuk menyelesaikan revisi UU Minerba bersama DPR. Jika perlu, kata Bisman, substansi dalam revisi PP Nomor 23/2010 dimasukan ke dalam revisi UU Minerba yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi.

“Kalau saat ini pemerintah menggulirkan lagi revisi PP 23/2010, pasti ada tumpang tindih karena PP merupakan turunan dari UU, jangan sampai (revisi PP) hanya untuk melegitimasi kepentingan pihak-pihak tertentu,” tandas Bisman.

Sebagai informasi, ada tujuh PKP2B yang akan habis kontrak di tahun ini dan beberapa tahun ke depan, yakni PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).

Adapun, satu PKP2B, yakni PT Tanito Harum sudah terminasi dengan pembatalan perpanjangan kontrak, lantaran dinilai tidak memiliki landasan hukum untuk perpanjangan kontrak dan peralihan status menjadi IUPK.

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

Efek Penghentian Ekspor Mineral Mentah

Seorang karyawan menggunakan alat komunikasinya di tambang Batu Hijau Milik PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Kecamatan Maluk, Taliwang, Sumbawa Barat, NTB, Kamis (12/6). Sejak 5 Juni 2014 PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) secara resmi menyampaikan pemberitahuan kepada pemerintah dan para karyawan bahwa perusahaan menyatakan keadaan kahar (di luar kuasa/force majeur) sesuai Kontrak Karya karena adanya penerapan larangan ekspor yang membuat perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan produksi. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/ss/nz/14.

Menghadapi rencana pemerintah menghentikan ekspor mineral mentah, satu hal yang pasti terjadi adalah akan adanya penutupan pada sebagian tambang yang sekarang sedang beroperasi. Baik itu penutupan selamanya, maupun penghentian sementara hingga batas waktu yang tidak diketahui. Ini adalah argumen yang paling umum, tapi sebenarnya merupakan realitas yang tidak terlalu mengejutkan.

Dari seluruh kasus penutupan tambang di dunia, hanya sekitar 25% yang tutup secara terencana dan prosedural karena cadangannya telah habis. Sementara mayoritas 75% lainnya tutup secara prematur, tanpa terencana dan bahkan secara mendadak. Di Indonesia, kasus penutupan tambang tanpa perencanaan dan pelaksanaan yang semestinya mungkin lebih banyak lagi.

Kalau tambang yang tutup karena cadangannya habis biasanya lebih mudah mengurusnya. Karena sifatnya terencana, penutupan bisa dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Para karyawan, pemerintah daerah (pemda), masyarakat setempat, semuanya bisa mempersiapkan diri hingga pada hari penutupan yang telah direncanakan. Walaupun dengan catatan ada saja alasan dari para pemangku kepentingan untuk menjustifikasi persiapan yang sering tidak maksimal.

Sebaliknya, tambang yang berhenti secara prematur, tidak terencana dan secara mendadak bisa membuat gejolak sosial-ekonomi yang tidak terduga.

Penyebab tambang tutup secara prematur dan tanpa terencana utamanya adalah faktor ekonomi (perubahan harga komoditi, kebangkrutan perusahaan dan lain-lain) dan kebijakan pemerintah (pemangkasan produksi, pelarangan ekspor dan lain-lain). Indonesia sedang menghadapi dua hal ini di depan mata, tantangan fluktuasi harga komoditi dunia dan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.

Untuk dinamika harga komoditas itu tidak ada faktor tunggal yang bisa mengendalikan. Tetapi kebijakan bisa ditentukan oleh pemerintah. Namun Indonesia tampaknya akan bertahan dengan rencana penghentian ekspor mineral mentah karena dipertimbangkan akan memberi harapan baik bagi negeri ini di masa depan. Selain alasan kedaulatan, pemerintah pasti sudah punya hitung-hitungan sendiri terkait bagaimana efek pertumbuhan jika hilirisasi berhasil dilakukan.

Tapi dalam jangka pendek, kebijakan tersebut akan memberi efek negatif. Tambang yang berhenti secara prematur dan tidak terencana, bahkan mendadak akan menyebabkan pengangguran, resesi ekonomi lokal, dan kerusakan lingkungan karena tambang akan terbengkalai begitu saja. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang industrinya relatif mapan seperti Kanada, Amerika Serikat, Australia dan China. Selain itu, hal ini juga tidak hanya terjadi pada komoditas nikel, tetapi semua komoditas pertambangan seperti emas, tembaga, phospat, batubara, potash, dan sebagainya.

Dalam beberapa kasus dampak lainnya dari penutupan tambang secara prematur adalah munculnya aksi penjarahan terhadap aset infrastruktur dan barang tambang itu sendiri seperti yang terjadi di Afrika Selatan.

Indonesia sebenarnya pernah mengalami hal serupa, walaupun tidak sama persis. Bahkan lebih dari satu kali. Republik ini pernah mengalami bagaimana industri timah jatuh pada akhir 1980-an dan menyebabkan kerusakan sosial-ekonomi-lingkungan.

Lahan-lahan bekas tambang timah di Bangka-Belitung dan Kepulauan Riau ditinggalkan begitu saja. Masyarakat serta merta kehilangan pekerjaan. Sektor-sektor ekonomi lain yang menggantungkan hidupnya di belanja industri tambang secara langsung juga berjatuhan. Beberapa orang bahkan harus menjadi pelacur untuk menyambung hidup, aset perusahaan dijarah oleh karyawan.

Kita juga pernah menyaksikan kejatuhan industri batubara pada awal 2000-an dan sekitar tahun 2011-2014. Ketika itu, daerah-daerah penghasil batubara di Kalimantan dan Sumatera mengalami stagnasi. Kabupaten Kutai Kartanegara misalnya mencatat pertumbuhan ekonomi 5,33% pada 2001 namun menurun menjadi 4,8% pada 2002 dan 4,68% pada 2003. Pada tahun 2009-2013, Kabupaten yang struktur ekonominya mengandalkan sektor pertambangan dan penggalian lebih dari 60% ini hanya tumbuh rata-rata 1%-3% per tahun. Angka ini jauh di bawah pertumbuhan nasional yang selalu di atas 5%-6%.

Akibatnya, perencanaan pembangunan daerah harus direvisi, ekonomi lesu dan pengangguran meningkat. Pada periode ini, kampus-kampus yang menyediakan jurusan pertambangan di seluruh Indonesia diliputi kegalauan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setiap lulusan baru hampir pasti akan menjadi pengangguran baru.

Efek “shock”

Efek terbesar nanti terjadi di level sub-nasional (kabupaten dan provinsi penghasil), yakni akan terjadi shock. Hal ini tidak bisa dihindari, dan hanya bisa dihindari. Perlu juga diketahui bahwa mitigasi atau pencegahan sosial-ekonomi ini tidak pernah instan dan harus melibatkan banyak pemangku kepentingan. Namun, negara tetap menjadi leading sector nya.

Sementara itu, kebijakan hilirisasi harus terus didukung sepenuhnya. Progres pembangunan smelter nikel tampaknya cukup progresif namun tetap harus didorong untuk mencapai titik optimal melalui penciptaan lingkungan bisnis yang kondusif.

Pemberian insentif pajak mungkin bisa jadi salah satu opsi untuk menarik investasi, tetapi tetap harus ada kajian secara rinci untuk menghasilkan efek yang maksimal. Tantangan lain adalah bagaimana membangun sistem yang mendukung link and match antara smelter dengan sumber material. Karena boleh jadi kebijakan larangan ekspor mineral justru hanya membunuh penambang kecil dan menengah dengan akses modal dan pasar yang terbatas.

Tanpa ada mekanisme link and match yang jelas, harga ore atau mineral mentah akan secara de facto ditentukan sepihak oleh, dan hanya akan menguntungkan, oligarki pemilik smelter. Pada posisi ini peran kementerian yang mengurusi pertambangan dan pengolahan mineral harus menerapkan kebijakan ketat dan gigih, khususnya dalam mengontrol isu smelter dan tata niaga mineral domestik.

Lebih dari itu, para pemangku kepentingan harus memahami benar bahwa hilirisasi membutuhkan dukungan lingkungan yang kondusif terkait regulasi dan kapasitas sumberdaya manusia (SDM). Kita tidak bisa hanya mengandalkan ketersediaan cadangan dan pemaksaan aturan larangan ekspor saja.

Membangun lingkungan bisnis yang kondusif dan penyediaan SDM yang mumpuni itu juga sangat penting. Dua hal terakhir ini bahkan sebenarnya jauh lebih penting dalam membentuk keunggulan komparatif Indonesia di industri mineral dunia.

Kita sepertinya masih harus banyak belajar dalam mengelola secara bijak dan tepat akan sumber daya pertambangan kita yang diakui sebagai salah satu yang terbesar di dunia.

Penulis : Jannus TH Siahaan

Pemerhati Masalah Pertambangan dan Doktor Sosiologi Universitas Padjajaran

Banyak keluhan, ESDM revisi nilai kompensasi data informasi (KDI) dalam lelang

Banyak keluhan, ESDM revisi nilai kompensasi data informasi (KDI) dalam lelang

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak lagi bergeming. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) bakal merevisi nilai Kompensasi Data Informasi (KDI) dalam lelang blok tambang.

Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung mengatakan, revisi nilai KDI tersebut berdasarkan masukan dari stakeholders terkait. Revisi itu menyangkut KDI untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan WIUP Khusus (WIUPK).

“Banyak masukan terkait harga KDI. Pada dasarnya seluruh KDI yang sudah di Kepmen-kan akan direvisi,” kata dia kepada Kontan.co.id, Rabu (8/1). Lebih lanjut Wafid bilang, revisi tersebut akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM. 

Sayangnya, Wafid masih enggan memberikan penjelasan yang lebih detail terkait dengan revisi nilai KDI di dalam Kepmen ESDM yang dimaksud.

Asal tahu saja, sejumlah kalangan mengkritisi harga KDI yang dinilai terlalu mahal. Alhasil, proses lelang tambang pun menjadi tidak menarik secara keekonomian.

Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno berpendapat, nilai KDI memang mesti direvisi. Menurut dia, selain untuk membuat lelang tambang menjadi menarik, mahalnya harga KDI juga menimbulkan ketidakpastian dalam penguasaan wilayah usaha pertambangan.

Sebab, karena blok tambang yang ditawarkan masih dalam tahap eksplorasi, maka perusahaan yang bersangkutan masih harus melalui tahapan studi dan evaluasi hingga nantinya bisa mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Jika izin tidak diberikan, berarti investasi perusahaan untuk KDI bisa menjadi sia-sia.

Apalagi, jamak ditemui bahwa wilayah tambang yang dilelang masih terganjal masalah administrasi atau tersandung kasus hukum, khususnya terkait tumpang tindih wilayah. Sehingga, Djoko menekankan bahwa KDI ini juga terkait dengan kepastian hukum dan investasi.

“Kalau izin tidak diberikan, berarti sudah kehilangan uang untuk pembayaran KDI. Sehingga perlu ada perbaikan peraturannya agar ada kepastian hukum dan jaminan atas investasi,” kata Djoko.

Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko bilang, KDI yang ada saat ini terlalu mahal, mengingat wilayah tambang yang ditawarkan baru pada tahap eksplorasi. “KDI belum reasonable, nilainya tinggi,” kata dia.

Menurut Sukmandaru, KDI harus dikaji ulang agar bisa kompetitif dan menarik bagi investor. Ia berpandangan, hasil dari penawaran prioritas dan lelang tambang yang tidak memuaskan terjadi lantaran KDI yang terlalu mahal.

“Apalagi untuk blok eksplorasi yang notabene peluang gagalnya masih tinggi sekali,” lanjut Sukmandaru.

Saat ini, basis harga KDI bisa mengacu ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM. “Tarif-tarif yang disebutkan (dalam PP) bisa dipakai untuk basis perhitungan KDI,” sambungnya.

Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif juga sepakat bahwa nilai KDI sudah seharusnya dievaluasi. Menurut dia, nilai KDI seharusnya tidak mahal, namun dapat menyeleksi dan memilih investor yg kompeten secara teknis dan finansial.

“Sehingga mampu menarik investor untuk berinvestasi. Sebaiknya ada evaluasi (KDI),” sebutnya.

Sebagai informasi, untuk kewenangan pemerintah pusat dalam WIUPK, saat ini masih ada empat WIUPK yang menunggu untuk dilelang secara terbuka. Keempat WIUPK tersebut merupakan hasil penetapan Kementerian ESDM pada tahun 2018.

Empat WIUPK tersebut adalah WIUPK Suasua (nikel/KDI: Rp 984,85 miliar), WIUPK Latao (nikel/KDI: Rp 414,8 miliar). WIUPK Kolonodale (nikel/KDI: Rp 209 miliar), dan WIUPK Rantau Pandan (batubara/KDI: Rp 352,6 miliar).

KDI dari keempat WIUPK tersebut diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1805.K/30/MEM/2018 tentang Harga KDI dan informasi penggunaan lahan WIUP dan WIUPK periode tahun 2018.

Sementara itu, ada juga tiga WIUPK baru yang ditetapkan pada tahun 2019. Ketiga WIUPK tersebut masih harus melalui proses penawaran prioritas terlebih dulu kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Ketiga WIUPK itu adalah tambang nikel yang terletak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Yakni WIUPK Pongkeru (nilai KDI: Rp 485,2 miliar), WIUPK Lingke Utara (KDI: Rp 78,86 miliar), serta WIUPK Bulubalang (KDI: Rp 143,3 miliar). Pengaturan tersebut berada dalam Kepmen ESDM Nomor 181 K/30/MEM/2019 tentang WIUP dan WIUPK periode tahun 2019.

Pada tahun 2019 lalu, tidak ada satu pun blok tambang WIUPK yang berhasil dilelang. Wafid mengatakan, hal itu terjadi lantaran lelang terganjal masalah administrasi dan kasus hukum, khususnya terkait tumpang tindih wilayah dan perizinan.

“Pada tahun 2019 tidak ada WIUPK yang dilelang dikarenakan terdapat permasalahan hukum yang masih harus diselesaikan terlebih dulu,” tandas Wafid

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

Strategi sejumlah perusahaan batubara mengantisipasi dampak musim hujan tahun ini
Alat berat atau dump truck pama persada mengeruk dan membawa batubara di pertambangan PT Adaro Indonesia ditambang Tutupan Tabalong Kalimantan Selatan (19/6). Kapasitas pruduksi Adaro di tiga tambang Tutupan,Paringin,dan Wara sebesar 38.000.000 hingga akhir tahun 2008. Batubara Adaro digunakan di 18 negara dan penyuplai utama kebutuhanenergi PLTU di Cilacap,Paiton II dan Suryalaya.Pho KONTANAchmad Fauzie/19/06/2008

Awal tahun biasanya menjadi pertanda musim hujan telah tiba di Indonesia. Sejumlah perusahaan batubara menyiapkan strategi agar kelangsungan produksinya tetap berjalan lancar saat memasuki musim hujan.

Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira mengatakan, di atas kertas curah hujan tinggi dapat memengaruhi jam kerja operasional tambang perusahaan.

Namun, kondisi seperti ini sudah biasa terjadi di tiap tahun sehingga ADRO dipastikan akan tetap melaksanakan kegiatan operasional. “Kami tetap beroperasi dengan memerhatikan standar keselamatan dan menajemen lingkungan yang tinggi,” ujar dia, Selasa (31/12).

Untuk meminimalisir dampak selama musim hujan, ADRO akan memperbaiki drainase di sekitar area tambang sekaligus mengatur daerah tangkapan hujan.

Selain itu, perusahaan melakukan penguatan kondisi jalan tambang untuk mendukung kelancaran operasional agar target produksi batubara tetap bisa tercapai.

ADRO belum mengumumkan proyeksi produksi batubara di tahun 2020. Sedangkan hingga kuartal tiga tahun lalu, emiten ini sudah memproduksi batubara sebanyak 44,13 juta ton.

Sementara itu, PT ABM Investama Tbk (ABMM) akan tetap mengoperasikan tambang batubaranya selama 24 jam kendati musim hujan tiba. Perusahaan ini sudah memiliki prosedur tersendiri untuk menangkal risiko kegiatan produksi batubara manakala hujan terus menerus terjadi.

Salah satu upaya ABMM adakah menyediakan banyak pompa air di wilayah operasional tambang. Kemudian, pemeliharaan stockpile atau tempat penampungan batubara saat musim hujan juga ditingkatkan.

“Kami juga menyiapkan penambahan lapisan pada jalan tambang untuk meminimalisir dampak hujan,” terang Direktur ABMM Adrian Erlangga, Selasa (31/12).

PT United Tractor Tbk (UNTR) yang memiliki lini bisnis pertambangan dan kontraktor tambang batubara memilih untuk menghentikan produksi untuk sementara waktu ketika curah hujan tinggi.

Hal ini mengingat kondisi jalan tergolong licin dan area tambang rawan banjir serta longsor. “Produksi akan dioptimalkan saat cuaca kering,” ujar Sekretaris Perusahaan UNTR Sara K. Loebis kepada Kontan, kemarin.

Walau demikian, UNTR sebenarnya memiliki jalur khusus tambang yang menggunakan konsep all weather road sejak lama, sehingga jalan tersebut memungkinkan untuk dapat dilintasi di segala kondisi cuaca.

Sebelumnya, kontraktor tambang batubara lainnya yakni PT Samindo Resources Tbk (MYOH) juga telah menyiapkan strategi untuk menjaga performa ketika memasuki musim hujan.

Kepala Hubungan Investor MYOH Ahmad Zaki Natsir mengatakan, secara historis semester pertama di tiap tahun curah hujan relatif tinggi. Karenanya, MYOH akan memaksimalkan jadwal pemeliharaan alat-alat tambang di paruh pertama tahun 2020.

“Harapannya, di semester kedua alat-alat tambang perusahaan dapat beroperasi dengan maksimal,” terang dia saat dihubungi Kontan, 12 Desember lalu.

Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli

Sumber – https://industri.kontan.co.id/

Larangan Keras Pengamat Safety Riding Naik Motor Saat Hujan Pakai Sandal Jepit, Kenapa?

Larangan Keras Pengamat Safety Riding Naik Motor Saat Hujan Pakai Sandal Jepit

Belakangan ini sudah mulai memasuki musim hujan.

Bikers atau pemotor wajib mempersiapkan jas hujan dan sepatu anti air.

Dijalan masih banyak ditemui, bikers menggunakan sandal, bukan sepatu, tak sesuai standar keselamatan.

Padahal, risiko terjadinya cidera lebih besar ketimbang memakai sepatu, karena kaki tidak semuanya tertutup.

Secara aturannya, kata Edo Rusyanto selaku pakar keselamatan berkendara (safety riding), tidak ada yang melarang.

Namun, dia ingin menekankan bahwa kesadaran pengguna motor dalam hal keselamatan dan keamanan berkendara harus lebih ditingkatkan.

“Tidak ada aturan yang mewajibkan pemakaian sepatu, tetapi juga tidak ada larangan pakai sandal. Hanya soal kesadaran untuk meminimalisir risiko saja,” ujar Edo.

Edo juga pernah mengatakan, berkendara motor pakai sepatu atau alas yang menutupi hingga mata kaki akan lebih aman jika terjadi kecelakaan.

Lebih tepatnya, kata dia luka atau cidera bisa lebih berkurang, ketimbang menggunakan sandal.

“Apalagi kalau hujan, banyak yang menyimpan sepatunya dan mengganti pakai sandal, jelas itu salah.

Seharusnya selalu pakai sepatu ketika naik motor,” kata Edo

 

Sumber – https://www.motorplus-online.com/

Awas, ini denda bagi perusahaan batubara yang tak memenuhi DMO di tahun depan

Awas ini denda bagi perusahaan batubara yang tak memenuhi DMO di tahun depanPemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merevisi sanksi terkait wajib pasokan batubara dalam negeri alias domestic market obligation (DMO).

Sehingga pada tahun 2020 nanti, sanksi yang dikenakan tidak lagi berupa pemotongan kuota produksi.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko menyampaikan, pihaknya tengah memfinalisasi skema sanksi yang baru.

Bentuknya, kata Sujatmiko, berupa denda atau kompensasi yang dibayarkan oleh pelaku usaha yang tidak memenuhi DMO.

Sujatmiko bilang, detail skema sedang disiapkan. Kementerian ESDM pun tengah membuat mekanisme denda agar bisa sesuai dengan tingkat kalori batubara yang dimiliki perusahaan.

“Untuk kompensasi yang sesuai dengan tingkat kalorinya masing-masing, sedang kita kaji di level teknis,” kata Sujatmiko saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (29/12).

Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengungkapkan, skema sanksi kali ini dibuat lebih detail lantaran akan tercantum dalam payung hukum khusus berupa Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM.

“(Kepmen besaran DMO) itu terpisah dengan sanksi. Karena itu masih ada waktu untuk membahasnya. Kesimpulannya seperti apa, tunggu tanggal mainnya nanti” kata Bambang.

Sebab, Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan bahwa pihaknya sudah menyiapkan Kepmen terkait besaran DMO dan juga kelanjutan harga patokan batubara untuk kelistrikan di tahun depan.

Dalam Kepmen tersebut, kata Arifin, persentase DMO dipatok stabil, yakni 25% dari produksi. Sedangkan harga patokan batubara yang seharusnya berakhir di tahun 2019 ini, akan berlanjut dengan harga US$ 70 per ton.

“Sudah ada (Peraturan menteri untuk memperpanjang harga patokan). Tetap lanjut, untuk dalam negeri (DMO batubara) sama seperti biasa, (Harganya) stabil,” kata Arifin saat ditemui di Kantornya, Jum’at (29/12).

Bambang Gatot sebelumnya menjelaskan bahwa pihaknya mengaku kesulitan untuk menerapkan sanksi DMO batubara yang berlaku saat ini. Seperti diketahui, sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi 25% DMO batubara ialah pemotongan kuota produksi di tahun berikutnya.

Hal itu sesuai dengan yang diatur dalam Kepmen ESDM Nomor 78 K/30/MEM/2019 tentang penetapan persentase minimal penjualan batubara untuk kepentingan dalam negeri tahun 2019.

Dalam beleid tersebut, persentase minimal DMO ditetapkan sebesar 25%, dan bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban tersebut akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di tahun berikutnya.

Namun, Bambang mengakui bahwa penerapan sanksi pemotongan produksi adalah hal yang sulit dilakukan. Sebab, dalam pemotongan produksi ada pertimbangan terhadap dampak sosial, pengurangan tenaga kerja, pendapatan daerah hingga penerimaan negara.

“Dalam faktanya itu nggak bisa, sulit diterapkan. Kami cari formula baru,” ujar Bambang.

Pada tahun 2018 lalu, ada 34 perusahaan batubara yang tidak memenuhi kewajiban DMO tersebut. Para produsen batubara itu berasal dari pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) maupun Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi (OP).

Kendati begitu, Sujatmiko menegaskan bahwa sanksi berupa pemotongan kuota produksi masih akan tetap berlaku di tahun 2019 ini. “Untuk tahun ini, ketentuan itu masih tetap berlaku, belum berubah,” tegasnya.

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi

Sumber: https://industri.kontan.co.id/

 Face Shield_Viva

Faceshield  Viva

Bahan cap : plastik , bahan kaca : polycarbonate dengan list dari stainless steel
Warna : Kuning
Ukuran : 8″ x 15 1/2” x 1.0 mm2.
Standart : ANSI Z87.1

General Specification :
Strap menggunakan fastrack untuk mengencangkan

Contact Form