“Hawa nafsu adalah penyakit paling jelek yang menodai hati.†– Hasan Al-Bashri |
“Bila pancaran terang sinar anda membuat bintang-bintang kecil disekitar anda pudar dan tidak terlihat cahayanya, pasti anda bukan leader.†– Dwi Pudjiarso |
Hingga pekan pertama bulan Maret ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum menerbitkan rekomendasi Surat Persetujuan Ekspor (SPE) untuk PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Padahal, izin ekspor kedua perusahaan tambang mineral tersebut sudah habis sejak Februari 2019 lalu.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Yunus Saifulhak mengungkapkan alasan mengapa pihaknya belum juga mengeluarkan izin ekspor baru. Untuk PTFI, sambung Yunus, hingga saat ini pihaknya masih menunggu hasil verifikasi progres pembangunan smelter PTFI.”Kalau Freeport kita lagi menunggu hasil verifikasi dari konsultan independen, terserah mereka mau menunjuk Surveyor Indonesia atau Sucofindo, misalnya,” jelas Yunus saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (5/3).
Yunus mengatakan, laporan verifikasi tersebut menjadi salah satu persyaratan supaya izin ekspor itu bisa diterbitkan. Sebab, hal tersebut menjadi dasar bagi Kementerian ESDM untuk menilai kesesuaian antara rencana dan realisasi dari progres pembangunan smelter yang tengah dijalankan.
“Kalau mau meminta rekomendasi SPE, itu wajib (melaporkan). Kalau masih rencana, wajib memverifikasi rencana itu, kalau sudah progres, progresnya diverifikasi konsultan independen,” terang Yunus.
Hanya saja, Yunus menegaskan bahwa pihaknya sama sekali tidak memperlambat penerbitan SPE baru milik PTFI. Sebab, saat ini terbitnya rekomendasi ekspor tersebut tergantung pada seberapa cepat PTFI menyampaikan hasil verifikasinya.
“Kenyataannya begitu. Jadi sangat salah kalau direktorat (minerba) seolah-olah menghambat. Kita nggak menghambat, karena tergantung kecepatan mereka (PTFI) melaporkan verifikasi,” ungkap Yunus.
Yang terpenting, sambung Yunus, sejak masa SPE berakhir pada 15 Februari 2019, maka PTFI tidak melakukan aktivitas ekspor hingga SPE yang baru diterbitkan. “Nanti kalau pada Maret ini mereka menyampaikan, ya seegra keluar (SPE). Sejak itu boleh dilakukan eskpor,” sambungnya.
Namun, ekspor PTFI pada tahun ini PTFI dipastikan tak akan sebanyak ekspor pada tahun lalu. Dengan masa peralihan metode pertambangan dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah, produksi konsentrat tembaga PTFI pada tahun ini diperkirakan hanya sekitar 1,3 juta ton.
Jumlah itu turun signifikan dari produksi pada tahun lalu yang mencapai 2,1 juta ton. Kuota ekspor pada periode sebelumnya mencapai 1,25 juta ton, sedangkan pada tahun ini PTFI diproyeksikan hanya akan mengekspor sekitar 200.000 ton.
Alasannya, dari produksi konsentrat sekitar 1,3 juta ton itu, sebesar 1 juta ton hingga 1,1 juta ton akan dipasok ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur. “Produksi turun, (Kapasitas pasokan) Smelting sama kisarannya, jadi semakin kecil ekspornya,” kata Yunus.
Bisa Terbit Pekan Depan
Berbeda dengan Freeport Indonesia, Yunus menyebutkan bahwa izin ekspor untuk PT Amman Mineral Nusa Tenggara bisa segera diterbitkan pekan depan. Sebab, Yunus bilang bahwa Amman telah melengkapi semua dokumen yang diperlukan, sehingga saat ini tinggal menunggu hasil evaluasi administrasi saja.
“Secara dokumen sudah lengkap, saya kira minggu depan sudah selesai, sekarang lagi evaluasi tim teknis di tempat kita,” ujar Yunus.
Asal tahu saja, izin ekspor Amman Mineral sudah berakhir pada 21 Februari 2019. Adapun, pada periode SPE baru ini, ekspor Amman pun mengalami penurunan, dari kuota ekspor sebelumnya sebesar 450.826 ton, menjadi 336.000 ton sepanjang Februari 2019-Februari 2020.
Penurunan ekspor ini juga sebagai konsekuensi dari menukiknya volume produksi. Sebelumnya, Presiden Direktur Amman Mineral Rachmat Makkasau mengatakan bahwa tambang milik Amman sudah berada pada fase 7 sehingga memerlukan penyesuaian dalam operasional tambang.
“Kita memang ada re-schedule mining. Perencanaan penambanganya kita buat lebih efisien,” tandasnya.
Sumber –Â https://industri.kontan.co.id
Pada tahun 2022, Pemerintah menargetkan ada total 57 pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) yang akan beroperasi. Tapi hingga kini, total baru ada 27 smelter yang sudah beroperasi, sehingga butuh 30 smelter lagi yang beroperasi sepanjang empat tahun ke depan.
Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menilai, perlu upaya ekstra untuk mengakselerasi pembangunan smelter supaya bisa mencapai target tersebut. Sebab, jika menilik data yang ada, sejak diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba), rata-rata hanya ada tiga unit smelter yang bisa beroperasi setiap tahunnya.
Irwandy mencontohkan, pada tahun 2010-2011 hanya tiga smelter yang beroperasi. Rata-rata penambahan dari 2012-2018 adalah tiga smelter per tahun, kecuali pada tahun 2015 yang sebanyak tujuh smelter.
Sehingga, lanjut Irwandy, jika menggunakan angka pertumbuhan smelter tersebut, maka penambahan dalam tiga tahun ke depan hanya 9 smelter. Sehingga, total 27 smelter yang telah beroperasi, ditambah 9 smelter baru, hanya mencapai 36 smelter. “Masih jauh dari target 57 smelter, kecuali ada akselerasi,” kata Irwandy saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (24/2).
Sebelumnya, dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI< Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan menerangkan bahwa hingga tahun 2018 lalu, total ada 27 smelter yang telah beroperasi. Terbanyak berasal dari komoditas Nikel dengan 17 smelter.
Sisanya, dari komoditas tembaga berjumlah 2 smelter, bauksit berjumlah 2 smelter, besi berjumlah 4 smelter, dan komoditas mangan berjumlah 2 smelter. Jumlah itu sudah termasuk penambahan 2 smelter nikel baru yang beroperasi pada tahun lalu.
Sedangkan untuk rencana hingga tahun 2022, Jonan merinci bahwa akan ada tambahan 3 smelter tembaga, 16 smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2 smelter besi dan 4 smelter timbal dan seng.
Lebih lanjut, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa meski smelter-smelter tersebut mayoritas dibangun menggunakan Izin Usaha Pertambangan (IUP), namun ada juga yang memakai Izin Usaha Industri (IUI).
Bambang bilang, setiap smelter memiliki progres yang bervariasi, sesuai dengan rencana (Kurva S) yang diajukan dan dilaporkan kepada Kementerian ESDM. Asal tahu saja, berdasarkan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2018, pengawasan berkala dilakukan setiap enam bulan dan harus mencapai kemajuan paling sedikit 90% dari rencana yang dihitung kumulatif oleh verifikator independen.
Dalam hal ini, Bambang menegaskan bahwa pemerintah telah bertindak tegas terhadap perusahaan yang tidak sesuai dengan ketentuan, termasuk dengan memberi sanksi berupa pencabutan rekomendasi ekspor. “Progresnya masing-masing beda-beda, ada yang 0-10%, ada yang 10%-20%, ada yang 30%-50%, macem-macem. Pokoknya asal sesuai Kurva S, nggak sesuai ita cabut (rekomendasi ekspor),” kata Bambang.
Adapun, hingga hari ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, ada dua perusahaan yang dikenai sanksi pencabutan rekomendasi ekspor tersebut. Yakni perusahaan nikel PT Surya Saga Utama serta perusahaan bauksit PT Lobindo Nusa Persada.
Yunus bilang, pihaknya masih menunggu laporan yang telah diverifikasi oleh verifikator independen dari kedua perusahaan tersebut. Yunus pun mengatakan, kewajiban keduanya untuk mengejar rencana pembangunan enam bulan sebelumnya dan mengajukan rencana pembangunan periode selanjutnya harus tetap dilakukan.
“Ya pokoknya kalau dia mengajukan lagi disertai dokumen-dokumen verifikasi kemajuannya lebih dari 90%, ya jalan lagi (rekomendasi ekspor),” katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (24/2).
Sementara itu, menurut Bambang Gatot, setiap perusahaan memiliki tantangan yang berbeda dalam merealisasikan target pembangunan smelternya. Utamanya adalah kendala investasi yang cukup tinggi. “Ya macem-macem, mungkin susah, mahal investasinya,” ujarnya.
Terkait dengan persoalan investasi atau nilai keekonomian ini, Irwandy Arif menilai bahwa itu tergantung dengan komoditas yang diolah, serta kesiapan rantai pasar dari komoditas dan hasil olahannya. Sebab, jika itu tidak disiapkan, maka margin antara bisnis hilir ini akan lebih kecil dibandingkan dengan bisnis hulunya, mengingat dana besar yang dibutuhkan untuk membangun smelter tidak cepat terganti karena tergolong dalam investasi jangka panjang.
Irwandy mencontohkan, untuk PT Freeport Indonesia dengan konsentrat tembaganya, margin dari bisnis hulunya masih lebih kecil. “Tapi kalau komoditas lain seperti Nikel dari hulu ke hilir sudah proven oleh PT Antam dan PT Vale, juga PT Bintang Delapan. Untuk Bauksit juga ada smelter PT Antam,” terangnya.
Sedangkan selain karena faktor di atas, ada sejumlah kendala lain yang menurut Irwandy membuat pembangunan smelter lambat. Pertama, terkait dengan pasokan energi dan ketersedian infrastruktur jalan, pelabuhan dan akses lainnya yang masih terbatas.
Kedua, mengenai pengenaan tarif rotalty bijih dan hasil pengolahan atau pemurnian. Ketiga, soal perizinan, yakni hambatan perizinan dalam alih fungsi lahan serta masih adanya dua perizinan dari IUP dan IUI.
Keempat, kesulitan pasokan bagi smelter yang tidak memiliki tambang, dan kelima, kebijakan untuk mendorong pembangunan smelter yang masih kurang tegas. “Kalau itu bisa diatasi, bisnis smelter akan lancar,” kata Irwandy.
Adapun, seperti yang pernah diberitakan KONTAN sebelumnya, Kementerian ESDM tengah menyiapkan peraturan untuk menjamin komitmen pembangunan smelter. Beleid yang berbentuk Keputusan Menteri (Kepmen) tersebut rencananya akan mengatur secara detail tentang tata cara pemberian sanksi berupa denda, serta jaminan kesungguhan pembangunan smelter.
Di sisi lain, sebagai informasi, Kementerian ESDM menargetkan setidaknya akan ada dua smelter yang siap beroperasi di tahun 2019 ini. Satu di antaranya adalah smelter feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk yang berlokasi di Halmahera Timur, yang rencanannya akan selesai pada pertengahan tahun ini.
Sumber –Â https://industri.kontan.co.id
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan Indonesia bisa menghemat devisa mencapai US$ 3 miliar atau setara Rp 43,5 triliun (kurs Rp 14.500/dolar AS) di tahun ini. Penghematan tersebut dilakukan dengan mengandalkan program B20.
Hal itu disampaikan saat menyampaikan pidato ‘Optimisme Indonesia Maju’ Konvensi Rakyat, di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Minggu (24/2/2019).
“Tahun ini kita targetkan produksi B20 6,2 juta kilo liter (kl) dengan potensi penghematan devisa US$ 3 miliar,” kata Jokowi.
Program B20 yang diimplementasikan sejak September 2018 itu, lanjut Jokowi telah berhasil menghemat devisa mencapai Rp 28,4 triliun hingga akhir 2018.
“Selama 2018 kita juga telah mampu memproduksi biodiesel melebihi target, 6 juta kl, 4 juta kl untuk B20, sisanya diekspor. Kita juga berhasil hemat devisa Rp 28,4 triliun,” paparnya.
Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 01 itu berjanji ke depannya Indonesia akan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil. Itu dilakukan dengan mendorong pemanfaatan energi hijau.
“Dengan energi alternatif kita dapat kurangi kebutuhan impor minyak kita, dan meningkatkan ketahanan energi yang terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu saya optimis terjangkau, optimis berdaulat,” tambahnya.
Sumber –Â https://finance.detik.com
Saya sangat puas dengan training selama 3 hari ini.
Memberikan banyak manfaat, memberikan banyak contoh
nyata yang ditemani di lapangan. Intraksi dan apresiasi yang
baik membuat saya dan semua peserta merasa terkesan.
Terima kasih untuk ilmunya akan saya aplikasikan dalam
tugas pekerjaan saya
Irma Yesi Wodi
PT Meares Soputan Mining
“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.†– HOS Tjokroaminoto |
“Your employees learn by example. If they don’t see you practicing good safety habits, they won’t think safety is important.” – Electrical Construction & Maintenance |
“People often say that motivation doesn’t last. Well, neither does bathing. That’s why we recommend it daily†– Zig Ziglar |
Wahai anakku, ambillah harta dunia sekedar keperluanmu saja dan nafkahkanlah selebihnya untuk bekal akhiratmu. – Luqman Al-Hakim |