Pelatihan dan Workshop KO Pertambangan
untuk Kontraktor Taskforce 2
PT VALE Indonesia
Sorowako, 22-25 April 2019
Pelatihan dan Workshop KO Pertambangan
untuk Kontraktor Taskforce 2
PT VALE Indonesia
Sorowako, 22-25 April 2019
Seminar Kepemimpinan K3 Di Tempat Kerja
Untuk Pengawas Operasional
PT Kaltim Prima Coal
Sangatta, 19 – 20 Maret 2019
Masa transisi implementasi kewajiban penggunaan asuransi nasional untuk ekspor batubara segera berakhir pada 31 Mei 2019. Artinya, per 1 Juni nanti, aturan tersebut mulai berlaku penuh dan seluruh pengiriman ekspor batubara harus sudah menggunakan asuransi nasional. Kendati demikian, menurut Kepala Subdirektorat Sistem Pembiayaan dan Pembayaran Kementerian Perdagangan (Kemdag) Rumaksono, per bulan Maret 2019 pengiriman (shipment) ekspor batubara yang sudah memakai asuransi nasional baru sebesar 9%. Rumaksono menyampaikan, jumlah itu dihitung berdasarkan Laporan Surveyor (LS) dalam aktivitas ekspor batubara yang tercatat sebanyak 1.095 shipment. “Dari jumlah itu baru 103 shipment yang menggunakan asuransi nasional atau sebesar 9%,” ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (20/5). Masa transisi atau pilot project yang masih berlangsung dan akan diberlakukan hingga akhir bulan ini, dinilai Rumaksono sebagai penyebab masih kecilnya shipment ekspor batubara yang menggunakan asuransi nasional. “Masih kecil karena diberi waktu pilot project, diharapkan per 1 Juni akan langsung meningkat karena akan diberlakukan penuh,” jelas Rumaksono. Sementara itu, hingga saat ini sebanyak 18 asuransi, yang meliputi 15 perusahaan dan tiga konsorsium sudah terdaftar dan mendapatkan persetujuan dalam implementasi kebijakan wajib asuransi. Rumaksono bilang, jumlah asuransi itu masih bisa bertambah meski periode transisi kebijakan ini sudah selesai. “Kalau perusahaan asuransi tidak ditutup, terus dibuka. Selama memenuhi syarat akan diberikan persetujuan,” tuturnya. Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai wajar capaian tersebut karena saat ini masih ada dalam masa pilot project. Hendra yakin, jika nanti peraturan ini sudah berlaku penuh, maka shipment ekspor batubara pun akan menggunakan asuransi nasional. Menurut Hendra, secara umum perusahaan tidak akan mengambil resiko yang bisa mengakibatkan terhambatnya ekspor batubara. “Kalau tidak (menyesuaikan) ekspornya terhambat, jadi mau nggak mau harus comply,” kata Hendra. Sebelumnya, Ketua Asoasiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir mengemukakan, pada umumnya dalam tiga bulan terakhir para pelaku usaha batubara sudah melakukan penjajakan penggunaan asuransi nasional. “Dari banyak anggota merasa selama harga sama, nggak ada cost yang berbeda, oke saja untuk asuransi nasional,” kata Pandu. Kendati demikian, sambung Pandu, diperlukan penyesuaian bagi pelaku usaha karena selama ini kegiatan ekspor batubara pada umumnya memakai skema jual lepas di atas kapal atau Free on Board (FOB). Dengan skema tersebut, batubara yang telah diserahkan ke titik jual akan menjadi tanggung jawab pihak importir (pembeli), dan mereka lah yang menyiapkan keperluan asuransi hingga angkutan laut. Pandu bilang, kontrak dengan skema FoB sudah digunakan cukup lama, yang terkait juga dengan tingkat kenyamanan dan kepercayaan dari pelaku usaha. Sehingga, Pandu menilai kebijakan wajib asuransi nasional ini mesti juga dimaknai sebagai momentum untuk mendorong asuransi nasional agar bisa lebih kompetitif dalam biaya maupun layanan di perdagangan internasional. “Jadi itu yang juga seharusnya dipacu, coba harga dan service nya sama atau lebih kompetitif,” imbuhnya. Alhasil, saat ini sebagian pelaku usaha batubara masih menggunakan asuransi ganda. Yakni dengan asuransi nasional, namun dengan tidak melepaskan skema FOB. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe, perasuransian nasional sudah siap untuk melayani perdangan batubara secara internasional. Dody bilang, sejauh ini pelaku asuransi sudah memberlakukan tarif premi yang sesuai dengan profil risiko dengan mengacu kepada market. “Tarif premi tidak bisa terlalu tinggi karena akan merugikan Tertanggung, dan juga tidak boleh terlalu rendah karena akan merugikan Penanggung,” jelasnya. Dody pun yakin, setelah masa transisi berakhir, asuransi nasional sudah bisa melayani shipment ekspor batubara. “Jadi diharapkan industri asuransi memanfaatkan masa ini untuk memperkenalkan diri ke eksportir agar pembeli dapat menggunakan asuransi nasional,” ungkapnya.
Sumber – https://industri.kontan.co.id |
PT United Tractors Tbk meningkatkan target volume produksi batubara pada tahun ini. Sekretaris United Tractors, Sara K. Loebis menyampaikan dari 3 konsesi milik emiten berkode saham UNTR ini, dua di antaranya memproduksi thermal coal dengan kalori tinggi, dan satu produksi coking coal. “Penjualan tahun lalu sekitar 5.5 juta ton, target tahun ini sekitar 7 juta ton belum termasuk offtakes,” tuturnya pada Kontan, Minggu (19/5). Sampai kuartal pertama tahun ini, mereka sudah memproduksi thermal coal sebanyak 2,24 juta ton. Sementara untuk produksi batubara kokas 325.000 ton. Beberapa anak usaha UNTR yang bergerak di bisnis pertambangan antara lain PT Tuah Turangga Agung (TTA), operasional tambang dijalankan di bawah manajemen PT Asmin Bara Baronang (ABB), PT Telen Orbit Prima (TOP) dan PT Suprabari Mapanindo Mineral (SMM). Sumber – https://industri.kontan.co.id |
Surat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno kembali menjadi pembahasan hangat. Setelah sempat heboh dengan suratnya untuk Pertamina, kini suratnya perihal revisi PP 23 Tahun 2010 tentang mineral dan batu bara tengah jadi sorotan. 1. Surat Revisi PP 23 Tahun 2010 Rini menujukan surat ini sebagai masukan ke Menteri Sekretaris Negara, Pratikno. Isi suratnya menekankan bahwa revisi harus sesuai dengan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 baik tentang luas wilayah dan juga penguatan peran BUMN. Kehadiran surat ini menimbulkan berbagai reaksi baik dari pemangku kepentingan hingga pengusaha. Apalagi surat ini muncul ketika para taipan batu bara sedang bernegosiasi dengan pemerintah terkait ketentuan pembahasan masa perpanjangan. Pengusaha menilai terbitnya surat itu seakan-akan menafikan peran mereka yang telah membangun industri komoditas ini bertahun-tahun lamanya. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, mengakui memang negara berhak untuk meminta lahan. Namun, jangan serta-merta langsung minta diprioritaskan, sebab perusahaan PKP2B sudah investasi di lahan tambang tersebut puluhan tahun, membangun jalan, infrastruktur, koneksi dengan pemda dan masyarakat setempat, dan sebagainya. “Sudah seperti itu, masa tiba-tiba ada orang lain yang masuk, wajar dong kalau kami minta prioritas? Apalagi kalau batu bara sudah punya nasional, punya anak bangsa sendiri. Sama-sama pengusaha nasional juga kan, bukan asing kan? Masa Freeport dikasih, kita tidak? Dan apakah ada jaminan kalau kami lepas ke BUMN, bisa dikelola juga dengan baik? Tidak ada jaminan,” tutur Hendra. Bukan cuma pengusaha, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun ikut tertarik dengan revisi ini setelah hadirnya surat tersebut. Komisi tengah mempelajari mana yang lebih menguntungkan untuk perpanjangan tambang batu bara ke depan, ke tangan swasta atau di tangan BUMN. Sumber – www.cnbcindonesia.com |
Pengusaha batubara kembali meminta supaya revisi keenam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara bisa segera diterbitkan. Revisi PP tersebut akan dibarengi dengan terbitnya PP tentang perpajakan dan penerimaan negara dari bidang usaha batubara. Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir mengatakan, paket regulasi tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat investasi di bidang usaha emas hitam ini. Tak hanya itu, revisi PP 23/2010 juga terkait dengan kepastian hukum dalam kelangsungan sejumlah pelaku usaha raksasa yang tergolong dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama. Sebab, salah satu pokok dalam revisi PP 23/2010 adalah tentang perpanjang izin dan peralihan status dari PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebelumnya, Pemerintah bahkan sempat menargetkan paket kebijakan tentang batubara ini bisa terbit akhir tahun 2018 atau awal 2019. “Ini krusial sekali. Urusan Pemilu sudah selesai, bola balik lagi ke pemerintah, semuanya ingin kepastian,” kata Pandu beberapa hari lalu. Pandu juga menekankan, di tengah tekanan harga dan pasar batubara global, ketidakpastian hukum ini bisa berdampak negatif terhadap investasi di sektor batubara. “Yang terjadi sekarang investasi stuck, lagi pusing gara-gara ini diambangin,” imbuhnya. Ia pun mengatakan, regulasi tentang kejelasan status perizinan ini diperlukan mengingat sudah ada satu pemegang PKP2B yang masa kontraknya sudah berakhir. serta, satu PKP2B lainnya akan segera mengakhir kontrak pada tahun depan. “Nah itu bagaimana? ini nggak bagus, jadi memang harus diperjelas,” tegasnya. Seperti diketahui, ada tujuh PKP2B yang kontaknya akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan. Yakni PT Arutmin Indonesia (1 November 2020), PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025). Sedangkan satu PKP2B, yakni PT Tanito Harum kontraknya sudah berakhir pada 14 Januari 2019 lalu. Luas Wilayah: PKP2B vs BUMNMenurut Pandu, pada paket regulasi tersebut, pelaku usaha tidak lagi mempersoalkan substansi dalam draft PP perpajakan dan penerimaan negara. “Soal pajak aku rasa udah clear, baik buat negara dari sisi pendapatan. Member juga nggak masalah,” akunya. Namun, ada satu persoalan yang mengganjal dalam revisi PP 23/2010. Yakni soal luas wilayah dan penguasaan negara dalam pengelolaan lahan tambang milik PKP2B. Sebagaimana yang pernah Kontan.co.id beritakan sebelumnya, Kementerian BUMN meminta supaya revisi PP tersebut bisa mengakomodasi penguatan peran BUMN. Serta, luas wilayah tambang PKP2B yang memperoleh perpanjangan tidak melebihi 15.000 hektare (ha). “Kan polemiknya jelas, jadi poinnya is it better of private sector or the hand of the state?” ungkap Pandu. Dalam hal ini, Pandu menilai pengelolaan oleh sektor swasta bisa lebih efisien. Sebab, pengelolaan oleh BUMN mesti memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan operasional yang dimiliki untuk tetap menjaga tingkat produksi. Lebih lanjut, Pandu pun membuat perbandingan dengan sejumlah blok migas terminasi yang pengelolaannya diberikan kepada Pertamina. “Kita belajar juga soal pengalihan dari sisi oil and gas, jadi perlu objective,” katanya. Pandu mengingatkan, selain untuk ketersediaan pasokan energi, menjaga tingkat produksi juga perlu karena akan berdampak terhadap kelangsungan ekonomi dan penerimaan negara. “Kalau produksi menurun, royalty menurun, kita lihat economy benefit-nya. Misalnya punya 100% dari 10 atau 40% dari 1.000, pilih mana?” ungkap Pandu. Mengenai luas wilayah dan pengelolaan lahan tambang PKP2B ini, sebelumnya KONTAN juga telah memberitakan keinginan serupa dari tiga bos tambang batubara raksasa. Yakni Chief Executive Officer PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Mochamad Kurnia Ariawan, dan Direktur Utama Adaro Energy Garibaldi Thohir. Ketiganya kompak, berharap supaya setelah ada perpanjangan izin dan perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK, luas lahan tambang yang dikelola bisa sama seperti yang ada saat ini. “Ya keinginan kita bisa perpanjangan eksisting,” kata Ido Hutabarat. Menurut Pandu, saat ini semuanya berpulang pada political will pemerintah. Hanya saja, Pandu meminta kepada Kementerian ESDM sebagai leading sector, bisa menunjukkan sikap yang jelas terhadap revisi PP 23/2010 tersebut. “Ini lebih ke political will saja, mana yang terbaik buat negara. Tapi dari sisi (Kementerian) ESDM harus tegas, rekomendasi dan posisinya,” tandas Pandu. Sumber – https://industri.kontan.co.id |
“Karyawan baru ibarat selembar kertas putih bersih, pastikan program induksi anda mampu menggoreskan komitmen K3 dihati mereka sejak hari pertama bekerja.” – Dwi Pudjiarso |
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mengejar target hilirisasi mineral melalui pembangunan pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter). Seiring dengan berakhirnya masa relaksasi ekspor komoditas mineral mentah, ditargetkan akan ada 57 smelter yang sudah beroperasi pada tahun 2022.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, 57 smelter yang ditargetkan tersebut adalah yang berlisensi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM. “Harusnya 60 ya, 57 khusus dari ESDM, 3 izin IUI (Izin Usaha Industri dari Kementerian Perindustrian),” kata Yunus kepada Kontan.co.id, Jum’at (10/5).
Namun, hingga tahun 2018, smelter yang sudah bisa beroperasi baru separuh dari target tersebut. Sampai dengan tahun lalu, baru ada 27 smelter yang sudah bisa beroperasi.
Sehingga, direncanakan ada tambahan 30 smelter dalam empat tahun ke depan. Rincinya, ditargetkan akan ada tambahan 3 smelter tembaga, 16 smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2 smelter besi dan 4 smelter timbal dan seng.
Sementara itu, Yunus mengungkapkan akan ada tiga smelter yang ditargetkan bisa beroperasi pada tahun ini. Yakni smelter nikel PT Aneka Tambang di Tanjung Buli-Halmera, smelter timbal PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah, dan smelter nikel PT Wanatiara Persada di Obi, Halmahera.
Hingga Kuartal I-2019, Yunus mengklaim bahwa secara umum target pembangunan smelter masih sesuai target. “Sementara ini secara umum tercapai. Ketika ada perusahaan yang bandel, ya segera ekspornya dilarang, itu sebagai bentuk pembinaan kita,” kata Yunus.
Meski demikian, tercatat ada enam perusahaan yang progres pembangunan smelternya tidak sesuai target. Lima diantaranya dikenai sanksi penghentian sementara izin ekspor, yakni PT Surya Saga Utama (Nikel), PT Genba Multi Mineral (Nikel), PT Modern Cahaya Makmur (Nikel), PT Integra Mining Nusantara (Nikel) dan PT Lobindo Nusa Persada (Bauksit).
Sementara, satu perusahaan lainnya dikenai sanksi pencabutan izin ekspor, yaitu PT Gunung Bintan Abadi (Bauksit). Yunus bilang, pihaknya akan terus mengevaluasi dan menindak tegas perusahaan yang tidak patuh terhadap ketentuan pembangunan smelter.
Langkah itu, sambung Yunus, justru dimaksudkan untuk menunjukkan komitmen dalam pembangunan smelter dan hilirisasi mineral. “Jadi mana saja perusahaan yang betul serius membangun smelter, mana yang tidak. Intinya kita akan tegas, harus dimengerti kewajiban membangun smelter jalan terus” tegas Yunus.
Karenanya, Yunus yakin sekalipun target 57 smelter pada tahun 2022 tidak seluruhnya tercapai, roadmap hilirisasi dan penghentian ekspor mineral mentah tidak akan terganggu. Sebab, kewajiban membangun smelter tetap akan terus berlanjut.
Terlebih, kata Yunus, dari sisi keekonomian perusahaan akan tetap menyelesaikan pembangunan smelter yang memakan biaya investasi tinggi. “Kewajiban membangun (smelter) jalan terus, lagi pula kan sudah hampir jadi pasti tanggung kalau nggak selesai. Kan sayang investasinya,” terangnya.
Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menegaskan, pihaknya akan mencabut izin ekspor dari perusahaan yang belum menyelesaikan pembangunan smelter pada tahun 2022. “Jadi kalau nggak tercapai ya dia (perusahaan) nggak bakal bisa ekspor,” kata Bambang saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Kamis (9/5) malam.
Sulit Tercapai
Dalam hal ini, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arief menilai perlu upaya ekstra untuk mengakselerasi pembangunan smelter supaya bisa mencapai target tersebut. Sebab, jika menilik data yang ada, sejak diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU Minerba), rata-rata hanya ada tiga unit smelter yang bisa beroperasi setiap tahunnya.
Irwandy mencontohkan, pada tahun 2010-2011 hanya tiga smelter yang beroperasi. Rata-rata penambahan dari 2012-2018 adalah tiga smelter per tahun, kecuali pada tahun 2015 yang sebanyak tujuh smelter.
Alhasil, lanjut Irwandy, jika menggunakan angka pertumbuhan smelter tersebut, maka penambahan dalam tiga tahun ke depan hanya 9 smelter. Sehingga, total 27 smelter yang telah beroperasi, ditambah 9 smelter baru, hanya mencapai 36 smelter. “Masih jauh dari target 57 smelter, kecuali ada akselerasi,” kata Irwandy.
Lebih jauh, Irwandy mengatakan bahwa program hilirisasi mineral akan lebih kompleks lagi. Sebab, hal ini terkait dengan keselarasan perizinan dan kesiapan dari sektor hulu mineral, pengolahan setengah jadi, hingga serapan pasar dari produk hasil pengolahan tersebut.
Oleh sebab itu, perlu ada konsistensi dan sinergi antar kementerian dan lembaga terkait. “Masalahnya tidak sederhana kebijakan dari Kementerian ESDM dan Perindustrian akan sangat menentukan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan & Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handoyo meminta supaya pembangunan smelter tersebut bisa segera direalisasikan. Sejalan dengan itu, Jonatan pun menekankan pentingnya untuk menutup relaksasi izin ekspor mineral mentah atau ore.
Sebab, sambung Jonatan, kebijakan tersebut merugikan pengusaha yang sudah susah payah membangun smelter dengan investasi yang mahal. “Jadi harus stop ekspor dalam bentuk ore, karena cepat atau lambat smelter yang sudah dibangun akan kesulitan bahan baku, saat ini sudah mulai terjadi. Itu jelas sangat sangat merugikan investor yang sudah bangun smelter,” ujar Jonatan.
Sumber – https://industri.kontan.co.id
WhatsApp us