Perlu disyukuri dalam menjalankan tugas menciptakan tempat kerja yang aman dewasa ini, telah disuguhkan di hadapan kita beraneka ragam perangkat pencegahan kecelakaan yang tinggal dipakai. Baik perangkat pencegahan kecelakaan yang dilakukan saat pra kontak atau sebelum kecelakaan, saat kontak atau ketika terkena kecelakaan, maupun yang harus dijalankan paska kontak atau setelah kecelakaan.Â
Jenisnya pun juga bermacam-macam, mulai dengan yang paling terkenal seperti inspeksi, observasi, investigasi, safety meeting, safety talk, induksi, refresher, prosedur, Job Safety Analysis (JSA), sampai dengan Training Need Analysis (TNA), matrix training, Alat Pelindund Diri (APD), keselamatan bahan kimia, P3K, tanggap darurat, fire protection, audit, kepemimpinan K3, psikologi keselamatan, dan masih banyak sekali macamnya. Ini semua kembali kepada pilihan kita untuk mengkombinasikannya.
Setiap jenis perangkat tersebut memiliki filosofi, fungsi dan peran pencegahan kecelakaan masing-masing yang unik. Sehingga di dalam mengelola program pencegahan kecelakaan di organisasi perusahaan, kita ditantang untuk jeli meramu jenis-jenis perangkat tersebut menjadi sebuah resep yang paling tepat dibutuhkan perusahaan. Selain itu, kita juga dituntut memakai daya kreativitas yang tinggi untuk tidak ragu atau merasa tabu memakai jurus ATM (amati, tiru, modifikasi) untuk mendapatkan khasiat maksimal dari program yang kita desain dan jalankan.
Kali ini penulis akan membahas perangkat pencegahan kecelakaan yang namanya JSA dan prosedur.
Sejak pertama mengenal JSA pada tahun 1984-an, penulis  dijelaskan bahwa salah satu pertimbangan memakai JSA adalah ketika belum ada prosedur. Ditanamkan pengertian bahwa JSA dan prosedur itu perannya saling menggantikan. Saat belum ada prosedur wajib dibuatkan JSA, setelah ada prosedur JSA tidak diperlukan lagi.Â
Dalam perjalanannya, ketika semakin mendalami penerapan keduanya di lapangan, penulis  mulai melihat bahwa JSA dan prosedur masing-masing memiliki peran pencegahan kecelakaan yang berbeda dan  keduanya dibutuhkan. Waktu kita sudah mulai memilah-milah risiko, rendah sekali, rendah, medium, tinggi dan tinggi sekali contohnya, semakin yakin bahwa kita memerlukan keduanya bila ingin program pencegahan kecelakaan kita mujarab.
Yang memprihatinkan, setelah 33 tahun berlalu, pesan normatif bahwa kalau sudah ada prosedur tidak perlu dibuatkan JSA, masih mendarah daging masuk ke dalam pikiran banyak insan K3.Â
Mari kita urai satu persatu perbedaan JSA dan prosedur:
- Prosedur adalah standar kerja aman yang harus diikuti. Tidak mengikuti dianggap sub standard atau pelanggaran. Sedangkan JSA adalah panduan pekerja untuk melakukan suatu tugas (task) yang risikonya tinggi, yang dengan teliti menguraikan tugas menjadi langkah-langkah sederhana, mengenali bahaya di setiap langkahnya, kemudian menetapkan cara mengendalikan setiap bahaya, untuk menyelesaikan suatu tugas dengan selamat.
- Prosedur biasanya disusun berawal dari kebutuhan aturan yang diminta oleh elemen atau sub elemen dari suatu sistem keselamatan yang kita pakai, meskipun bisa juga prosedur lahir karena kebutuhan adanya kepastian hukum di lapangan.  Sedangkan kebutuhan membuat JSA lebih disebabkan karena kebutuhan panduan rinci bagi pekerja untuk bisa mengerjakan suatu tugas yang berisiko tinggi atau sangat tinggi dengan benar dan selamat. Apalagi tidak jarang suatu tugas terpapar beberapa risiko tinggi atau sangat tinggi sekaligus.Â
- Sehingga penulisan prosedur biasanya dimulai dengan mempelajari daftar elemen dan sub elemen sebuah sistem yang harus dibuatkan prosedur, dengan urutan penulisan disesuaikan dengan kebutuhan tahapan penerapan sistem tersebut. Sebaliknya, penyusunan JSA biasanya diawali dengan pendataan tugas yang berisiko tinggi atau sangat tinggi yang dimiliki oleh setiap jabatan, dan prioritas penulisannya dimulai dari tugas yang akan dikerjakan terlebih dahulu.
- Penyusunan prosedur biasanya dilakukan oleh insan K3 dan atau level manajemen, karena berhubungan dengan kewenangan menetapkan standar aman yang tegas, yaitu batas hitam putih antara yang harus dipenuhi dan yang tidak boleh dilanggar. Sedangkan penyusunan JSA harus dilakukan oleh mereka yang menguasai detil cara mengerjakan tugas itu, sehingga mampu menguraikan langkah-langkah tahapan pengerjaan tugas itu dengan benar. Karenanya yang paling tepat membuat JSA adalah pengawas garis depan yang bertanggung jawab pada bidang tugas itu, bahkan sering kali harus dibantu secara intensif oleh pekerja yang sehari-harinya rutin mengerjakan tugas itu.
- Perbedaan posisinya di dalam hirarki kendali dimana posisi JSA berada di bawah prosedur, menyebabkan perbedaan tingkat approvalnya. Approval terhadap JSA bisa dilakukan oleh penjabat yang lebih rendah daripada pejabat yang memberikan approval terhadap prosedur, sehingga waktu yang dipergunakan untuk menyusun dan mendapatkan approval JSA biasanya jauh lebih cepat. Bahkan dalam keadaan mendesak, JSA bisa dibuat dan diapprove dalam semalam.
- Hal yang lain, prosedur tidak mencantumkan potensi bahaya, sedangkan JSA mencantumkan potensi bahaya di setiap langkahnya. Tidak jarang dalam satu langkah mengandung lebih dari satu potensi bahaya.
- Karena sifatnya sebagai standar pemenuhan dan pelanggaran di suatu perusahaan, prosedur yang sama dapat berlaku di semua departemen dan tempat kerja. Setiap tempat kerja cukup mengidentifikasi bagian mana dari prosedur itu yang berlaku untuk areanya, hal ini berbeda dari JSA yang lebih menekankan pada tindakan nyata dan spesifik yang harus dilakukan khusus untuk mengerjakan tugas itu di tempat itu. Bahkan tidak jarang untuk jenis pekerjaan yang sama tetapi dilakukan di tempat yang berbeda, tidak bisa memakai JSA yang sama, karena tempat yang berbeda ada kemungkinan membutuhkan langkah kerja yang berbeda, sehingga potensi bahayanya berbeda, dan cara pengendaliannyapun juga berbeda.
- Secara umum bisa disimpulkan bahwa JSA merupakan perangkat pencegahan kecelakaan yang langsung bisa dipakai oleh pekerja. JSA lebih friendly bagi pekerja. Berbeda dengan prosedur, di mana ada yang berlaku dan ada yang tidak bagi pekerja di tugasnya masing-masing sehingga memerlukan bantuan pengawas untuk memutuskan, JSA wajib diikuti secara penuh oleh pekerja dari awal sampai akhir.
Dari pembahasan di atas, saya menyimpulkan bahwa prosedur dan JSA keduanya sama-sama dibutuhkan. Prosedur wajib dimiliki agar perusahaan memiliki aturan K3 yang pasti untuk seluruh kegiatan operasinya. JSA pun wajib dibuat, untuk setiap tugas yang memiliki potensi bahaya sangat tinggi atau bahkan yang tinggipun, untuk memberikan panduan ketat bagi pekerja mengerjakan tugasnya langkah per langkah dengan benar dan aman. Sesuai hirarki kendalinya yang berada di bawah prosedur, JSA harus ditinjau kembali isinya pada waktu prosedur di atasnya lahir atau direvisi, untuk memastikan tidak ada yang bertentangan.
Bila prosedur dan JSA diimplementasikan secara berdampingan, kepastian di dalam mengendalikan risiko akan lebih besar daripada bila hanya mengandalkan prosedur saja. Manfaat lain dari penerapan JSA adalah kesempatan untuk bisa melibatkan pekerja untuk ikut serta di dalam proses penyusunan salah satu aturan K3 di tempat kerja mereka. Pelibatan (engagement) pekerja di dalam pengelolaan program K3 berkontribusi besar di dalam road map membangun budaya K3 di perusahaan kita, karena pekerja akan lebih mudah menerima aturan K3 yang mereka buat sendiri, dibandingkan sekedar mengikuti prosedur yang dibuatkan untuk mereka.
Saya meyakini bahwa JSA tidak tabu untuk di-ATM asal hal itu dilakukan untuk membuatnya lebih tajam menjadi panduan pekerja melakukan tugas di lapangan, dan tidak keluar dari filosofi dasar dari JSA itu sendiri sebagai salah satu perangkat pencegahan kecelakaan. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan peran perangkat pencegahan kecelakaan yang lain.Â
Kalau begitu, berapa banyak JSA yang harus dibuat di sebuah perusahaan? Jawabannya, ya sebanyak tugas yang terpapar risiko sangat tinggi dan tinggi di perusahaan itu. Membiarkan pekerja menjalankan tugas berisiko sangat tinggi atau tinggi tanpa JSA adalah sama saja kita menjalan program K3 berbasis asumsi. Yaitu mengasumsikan bahwa pekerja sudah mengerti bagian mana dari prosedur yang berlaku untuk mengerjakan tugasnya, mengasumsikan bahwa pekerja sudah otomatis akan melakukan langkah-langkah kerja yang benar, berasumsi bahwa pekerja akan bisa mengenali potensi bahaya sangat tinggi dan tinggi, dan mengasumsi bahwa mereka sudah mengerti cara pengendaliannya. Pakai JSA untuk bisa mengendalikan risiko tinggi dengan pasti.
Nantikan beberapa artikel tentang JSA selanjutnya.
Dimuat dalam majalah KATIGA No. 62/Th.VIII/2016
Achmad Subhan
Dear Yth Bapak
Saya pernah mendapat pengarahan dari atasan bahwa SOP adalah JSA yang sudah Teruji dalam pelaksanaan nya. Jadi menurut beliau apabila sdh ada SOP dan diterapkan dengan benar maka JSA tidak diperlukan lagi agar tidak terjadi tumpang tindih / kebingungan dari pekerja . . . Mohon pencerahannya