Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak lagi bergeming. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) bakal merevisi nilai Kompensasi Data Informasi (KDI) dalam lelang blok tambang.
Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM Muhammad Wafid Agung mengatakan, revisi nilai KDI tersebut berdasarkan masukan dari stakeholders terkait. Revisi itu menyangkut KDI untuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan WIUP Khusus (WIUPK).
“Banyak masukan terkait harga KDI. Pada dasarnya seluruh KDI yang sudah di Kepmen-kan akan direvisi,” kata dia kepada Kontan.co.id, Rabu (8/1). Lebih lanjut Wafid bilang, revisi tersebut akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM.Â
Sayangnya, Wafid masih enggan memberikan penjelasan yang lebih detail terkait dengan revisi nilai KDI di dalam Kepmen ESDM yang dimaksud.
Asal tahu saja, sejumlah kalangan mengkritisi harga KDI yang dinilai terlalu mahal. Alhasil, proses lelang tambang pun menjadi tidak menarik secara keekonomian.
Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno berpendapat, nilai KDI memang mesti direvisi. Menurut dia, selain untuk membuat lelang tambang menjadi menarik, mahalnya harga KDI juga menimbulkan ketidakpastian dalam penguasaan wilayah usaha pertambangan.
Sebab, karena blok tambang yang ditawarkan masih dalam tahap eksplorasi, maka perusahaan yang bersangkutan masih harus melalui tahapan studi dan evaluasi hingga nantinya bisa mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Jika izin tidak diberikan, berarti investasi perusahaan untuk KDI bisa menjadi sia-sia.
Apalagi, jamak ditemui bahwa wilayah tambang yang dilelang masih terganjal masalah administrasi atau tersandung kasus hukum, khususnya terkait tumpang tindih wilayah. Sehingga, Djoko menekankan bahwa KDI ini juga terkait dengan kepastian hukum dan investasi.
“Kalau izin tidak diberikan, berarti sudah kehilangan uang untuk pembayaran KDI. Sehingga perlu ada perbaikan peraturannya agar ada kepastian hukum dan jaminan atas investasi,” kata Djoko.
Sementara itu, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sukmandaru Prihatmoko bilang, KDI yang ada saat ini terlalu mahal, mengingat wilayah tambang yang ditawarkan baru pada tahap eksplorasi. “KDI belum reasonable, nilainya tinggi,” kata dia.
Menurut Sukmandaru, KDI harus dikaji ulang agar bisa kompetitif dan menarik bagi investor. Ia berpandangan, hasil dari penawaran prioritas dan lelang tambang yang tidak memuaskan terjadi lantaran KDI yang terlalu mahal.
“Apalagi untuk blok eksplorasi yang notabene peluang gagalnya masih tinggi sekali,” lanjut Sukmandaru.
Saat ini, basis harga KDI bisa mengacu ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2019 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM. “Tarif-tarif yang disebutkan (dalam PP) bisa dipakai untuk basis perhitungan KDI,” sambungnya.
Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif juga sepakat bahwa nilai KDI sudah seharusnya dievaluasi. Menurut dia, nilai KDI seharusnya tidak mahal, namun dapat menyeleksi dan memilih investor yg kompeten secara teknis dan finansial.
“Sehingga mampu menarik investor untuk berinvestasi. Sebaiknya ada evaluasi (KDI),” sebutnya.
Sebagai informasi, untuk kewenangan pemerintah pusat dalam WIUPK, saat ini masih ada empat WIUPK yang menunggu untuk dilelang secara terbuka. Keempat WIUPK tersebut merupakan hasil penetapan Kementerian ESDM pada tahun 2018.
Empat WIUPK tersebut adalah WIUPK Suasua (nikel/KDI: Rp 984,85 miliar), WIUPK Latao (nikel/KDI: Rp 414,8 miliar). WIUPK Kolonodale (nikel/KDI: Rp 209 miliar), dan WIUPK Rantau Pandan (batubara/KDI: Rp 352,6 miliar).
KDI dari keempat WIUPK tersebut diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1805.K/30/MEM/2018 tentang Harga KDI dan informasi penggunaan lahan WIUP dan WIUPK periode tahun 2018.
Sementara itu, ada juga tiga WIUPK baru yang ditetapkan pada tahun 2019. Ketiga WIUPK tersebut masih harus melalui proses penawaran prioritas terlebih dulu kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Ketiga WIUPK itu adalah tambang nikel yang terletak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Yakni WIUPK Pongkeru (nilai KDI: Rp 485,2 miliar), WIUPK Lingke Utara (KDI: Rp 78,86 miliar), serta WIUPK Bulubalang (KDI: Rp 143,3 miliar). Pengaturan tersebut berada dalam Kepmen ESDM Nomor 181 K/30/MEM/2019 tentang WIUP dan WIUPK periode tahun 2019.
Pada tahun 2019 lalu, tidak ada satu pun blok tambang WIUPK yang berhasil dilelang. Wafid mengatakan, hal itu terjadi lantaran lelang terganjal masalah administrasi dan kasus hukum, khususnya terkait tumpang tindih wilayah dan perizinan.
“Pada tahun 2019 tidak ada WIUPK yang dilelang dikarenakan terdapat permasalahan hukum yang masih harus diselesaikan terlebih dulu,” tandas Wafid
Sumber –Â https://industri.kontan.co.id/