Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada pembahasan terkait perubahan kebijakan wajib pasok batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO). Alhasil, kebijakan DMO 25% dari total produksi dan juga harga patokan untuk kelistrikan US$ 70 per ton masih berlaku hingga akhir tahun ini.
Hal itu ditegaskan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono. Bahkan sekali pun nantinya bakal ada perubahan kebijakan, kata Bambang, pembahasan akan dilakukan menunggu Menteri ESDM terpilih dalam Kabinet baru bentukan Presiden Joko Widodo di periode kedua ini.
“Belum ada (pembahasan), tetap sampai Desember. Mungkin nanti pemerintahan baru,” katanya di Kantor Kementerian ESDM, Senin (19/8).
Di sisi lain, Bambang pun belum bisa memastikan berapa jumlah volume produksi batubara nasional hingga akhir tahun nanti. Pasalnya, hingga saat ini Kementerian ESDM belum memutuskan seberapa besar jumlah penambahan kuota produksi yang akan disetujui dalam revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
“Belum jelas berapa tambahannya,” sambung Bambang.
Adapun, hingga 19 Agustus 2019 ini realisasi produksi batubara nasional sudah lebih dari separuh target produksi tahunan. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, produksi batubara tercatat sudah mencapai 278,42 juta ton atau setara dengan 56,8% dari target produksi tahun ini yang berada di angka 489,13 juta ton.
Dari jumlah tersebut, realisasi pasokan DMO baru mencapai 35,22 juta ton. Jumlah itu baru setara dengan 27,5% dari rencana DMO tahun ini sebesar 128,04 juta ton.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengungkapkan usulan kontroversial soal pencabutan kebijakan DMO. Airlangga berkilah, penghapusan DMO bisa mengakselerasi hilirisasi batubara, khususnya untuk meningkatkan skala keekonomian dalam proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME).
Namun, menurut Ketua Indonesia Mining and Energy Forum Singgih Widagdo, usulan pencabutan DMO untuk menggenjot hilirisasi sangat tidak relevan. Singgih menilai, kebijakan DMO tidak harus dihapus, melainkan diperbaiki formulasi mekanismenya agar tidak merugikan industri pertambangan.
Terlebih, sambung Singgih, dengan proyeksi pelemahan ekonomi global dan melemahnya harga komoditas pertambangan, maka langkah strategis yang harus dilakukan justru dengan memperbesar serapan batubara di pasar dalam negeri.
Adapun, untuk mengembangkan hilirisasi batubara, termasuk DME, lebih diperlukan insentif fiskal yang jelas, lantaran hilirisasi membutuhkan modal yang besar.
“Namun demikian tidak selalu DME menjadi cocok bagi seluruh perusahaan tambang. Dari sisi skala produksi tambang, lokasi, persediaan air, besarnya investasi, menjadi parameter pengembangam DME. Dan ini tidak terkait dengan DMO Batubara,” kata Singgih.
Masih mengenai hilirisasi batubara, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif sependapat bahwa hilirisasi batubara masih menemui sejumlah kendala, utamanya teknologi dan keekonomian yang belum terbukti secara komersial.
“Jadi kendala ada di keekonomian. Sudah banyak yang melakukan tapi belum ada yang economic proven,” ungkapnya.
Terlepas dari kendala tersebut, kata Irwandy, dalam mendorong hilirisasi batubara, pemerintah perlu menyiapkan kerangka kebijakan yang konsisten. Termasuk dengan memberi insentif fiskal.
“Keringanan pajak dan royalti misalnya, masih hanya di hulu. Konservasi batubara untuk jangka panjang juga harus diperhatikan,” tandas Irwandy.
Adapun, untuk mengembangkan hilirisasi batubara, termasuk DME, lebih diperlukan insentif fiskal yang jelas, lantaran hilirisasi membutuhkan modal yang besar.
“Namun demikian tidak selalu DME menjadi cocok bagi seluruh perusahaan tambang. Dari sisi skala produksi tambang, lokasi, persediaan air, besarnya investasi, menjadi parameter pengembangam DME. Dan ini tidak terkait dengan DMO Batubara,” kata Singgih.
Masih mengenai hilirisasi batubara, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif sependapat bahwa hilirisasi batubara masih menemui sejumlah kendala, utamanya teknologi dan keekonomian yang belum terbukti secara komersial.
“Jadi kendala ada di keekonomian. Sudah banyak yang melakukan tapi belum ada yang economic proven,” ungkapnya.
Terlepas dari kendala tersebut, kata Irwandy, dalam mendorong hilirisasi batubara, pemerintah perlu menyiapkan kerangka kebijakan yang konsisten. Termasuk dengan memberi insentif fiskal.
“Keringanan pajak dan royalti misalnya, masih hanya di hulu. Konservasi batubara untuk jangka panjang juga harus diperhatikan,” tandas Irwandy.
Sumber –Â https://www.kontan.co.id