Revisi keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) masih menggantung. Kabar yang sampai kepada Kontan.co.id, regulasi yang pada pokoknya mengatur tentang perizinan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) itu masih tertahan sehingga tidak segera diteken Presiden Joko Widodo.
Hal itu lantaran ada permintaan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno supaya BUMN diberikan porsi terhadap lahan pertambangan dari PKP2B dan perusahaan minerba yang akan habis kontrak. Dalam surat resmi yang didapatkan Kontan.co.id, pada 1 Maret 2019, Menteri Rini menyampaikan permintaan tersebut kepada Menteri Sekretaris Negara.
Dalam surat tersebut, Rini menuliskan sehubungan dengan surat Saudara Menteri Nomor B-01/M.Sesneg/D-1`/HK.02.02/01/2019 tanggal 2 Januari 2019 hal Permintaan Paraf pada Naskah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (RPP Minerba), kami sampaikan bahwa sebagaimana dimaklumi kekayaan sumber daya alam, termasuk mineral dan batubara merupakan kekayaan negara yang penguasahaannya harus dilakukan secara optimal untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
“Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangan tangan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam” tulis Rini dalam suratnya.
Dapat kami informasikan, tulis Rini, bahwa saat ini pemerintah melalui Kementerian BUMN telah menugaskan BUMN di bidang Pertambangan untuk melakukan hilirisasi/benefisiasi batubara dalam rangka meningkatkan nilai tambah yang pada akhirnya dapat meningkatkan/menghemat devisa negara sehingga membutuhkan kebijakan-kebijakan yang mendukung program tersebut.
“Memperhatikan hal-hal tersebut di atas dan setelah kami kaji kembali, RPP Minerba dimaksud perlu kiranya dilakukan penyempurnaan terkait hal-hal sebagai berikut,” jelas Rini di surat yang sama.
Hasil kajian yang dijadikan permintaan oleh Rini dalam RPP Minerba tersebut adalah:
1. Perlu penyelarasan pada Pasal 112 draft RPP Minerba dimaksud dengan Pasal 62 dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), mengingat dengan pengaturan Pasal 112 draft RPP dimaksud akan mengakibatkan luasan wilayahh Izin Usaha Pertambangan (IUP) pemegang PKP2B yang memperoleh perpanjangan akan melebihi 15.000 hektar, melebihi batas yang diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 83 UU Minerba.
2. Perlu pengaturan tambahan dalam RPP Minerba untuk penguatan peran BUMN, sebagai berikut:
a) Hak prioritas BUMN atau yang dipersamakan dengan BUMN dalam mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) atau Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) bagi Kontrak Karya (KK) atau PKP2B yang sudah berakhir.
b) Penegasan mengenai kewenangan dalam penerbitan IUP dan IUPK bagi BUMN atau yang dipersamakan dengan BUMN oleh Menteri ESDM tanpa kewajiban memperoleh rekomendasi terlebih dahulu dari Pemerintah Daerah.
c) Akuisisi saham oleh BUMN atau yang dipersamakan dengan BUMN dalam rangka divestasi saham.
“Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, terlampir bersma ini kami sampaikan kembali draft RPP dimaksud untuk kiranya dapat mengakomodasi usulan/masukan sebagaimana angka 1 dan 2 tersebut di atas,” tandas Menteri Rini dalam surat yang dicap dan ditandatangani tersebut.
Seperti diketahui, revisi PP Nomor 23 tahun 2010 ini pada pokoknya mengatur mengenai perizinan dan perubahan status PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Adapun, diluar PT Tanito Harum yang sudah habis kontrak pada 14 Januari 2019 lalu, ada tujuh PKP2B yang dalam beberapa tahun ke depan akan mengakhiri kontraknya.
Ketujuh PKP2B tersebut adalah perusahaan-perusahaan raksasa. Yakni PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Sumber –Â https://industri.kontan.co.id