Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Pertama di Indonesia Senin (2/5) Presiden Jokowi meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) I di Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, yang berkapasitas 75 MW. Pengembang energi terbarukan ini, patungan UPC Renewable Asia dan PT Binatek Energi Terbarukan, menanamkan investasi US$ 150 juta. Setelah PLTB Sidrap I, mereka berencana mengembangkan PLTB Sidrap II, Tanah Laut, dan Ciletuh, Sukabumi.foto/KONTAN/Ardian Taufik Gesuri

Realisasi investasi di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) sepanjang semester I-2018 dinilai masih minim. Untuk itu, Kementerian ESDM perlu ekstra kerja keras untuk mendorong realisasi investasi di semester II tahun ini.

Menurut Eva A. Djauhari, pengamat energi dan pertambangan dari Armila & Rako, salah satu sebabnya ialah soal ketidakpastian di sektor pertambangan dan energi. Misalnya saja, perpanjangan kontrak dan perubahan dari sistem Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) atau Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) juga menjadi alasan berinvestasi di sektor pertambangan.

“Banyak ketidakpastian, membuat pelaku usaha ragu-ragu. Kami mengharapkan ada perbaikan kebijakan, kepastian hukum, dan efisiensi. Mengingat industri ini sangat capital intensive, maka mesti ada jaminan bahwa bisnis bisa berjalan dalam jangka waktu ke depan,” kata Eva, Rabu (22/8).

Berdasar data dari Kementerian ESDM, realisasi investasi sektor ESDM semester I-2018 baru mencapai US$ 9,48 miliar. Dengan realisasi sebesar US$ 9,48 miliar, berarti baru mencapai sekitar 25,4% dari nilai yang ditargetkan.

Rincinya, realisasi investasi migas sebesar US$ 5,11 miliar, realisasi investasi kelistrikan US$ 2,83 miliar, realisasi investasi minerba US$ 790 juta, dan realisasi investasi energi baru terbarukan dan konservasi energi US$ 750 juta. Padahal target investasi sektor ESDM pada tahun ini sebesar US$ 37,2 miliar. Angka ini pun lebih rendah dari target awal yang semula dipatok US$ 50,12 miliar.

Target investasi sebesar US$ 37,2 miliar terdiri dari investasi migas US$ 16,8 miliar, investasi ketenagalistrikan sebesar US$ 12,2 miliar, investasi mineral dan batubara (minerba) sebesar US$ 6,2 miliar, dan investasi energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) sebesar US$ 2 miliar.

Eva mengingatkan, investasi di bidang energi khususnya migas tak hanya terus meleset dari target, tapi juga keseluruhan investasi secara year on year juga terus mengalami penurunan sejak 2015. Masih banyaknya keraguan investor terhadap regulasi, lanjut Eva, membuat pembiayaan proyek oleh lembaga-lembaga keuangan semakin tidak menarik.

Tak jauh beda dengan pertambangan, iklim investasi di energi, utamanya kelistrikan juga sulit menarik investasi. Hal ini disebabkan masih banyaknya regulasi yang kurang sesuai namun belum direvisi secara tuntas.

Misalnya, kata Eva, Permen (Peraturan Menteri) No.10 Tahun 2017 tentang pokok-pokok dalam perjanjian jual-beli tenaga listrik (PJBL) yang kemudian diubah dengan Permen Np.49 Tahun 2017. Selain itu ada pula Permen No.48 Tahun 2017 tentang pengawasan pengusahaan sektor energi dan sumber daya mineral. Utamanya, pasal 11 ayat 1 sampai 3 terkait pengalihan saham sebelum commercial operation date. Terakhir ialah Permen No.50 Tahun 2017 tentang pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik.

Sumber – https://industri.kontan.co.id

Berikan Komentar